30. Hana dan Teo : Bagaimana kabar suratnya?

10 1 0
                                    

Mama sudah terlelap. Mungkin perutnya kenyang sebab terlalu banyak makan bersama Ibu Siti seharian. Sepanjang malam, aku duduk di kursi, diterangi lampu belajar. Di luar, hujan turun dengan stabil. Suaranya terdengar seiras.

Aku membolak-balikkan amplop yang Teo kembalikan padaku. Kalau Teo memang masih ingat padaku, berarti Teo hanya pura-pura tidak mengenal aku. Dia ingin menyelamatkan aku agar tidak disekap di ruang BK waktu itu.

Oh ya, bukannya waktu itu aku juga pernah mengirimkan surat padanya? surat yang aku berikan pada adiknya Teo. Ya, yang rambutnya dicukur batok itu. Apa suratnya sudah sampai di tangan Teo? atau dibaca sendiri olehnya?

Jangan berpikir yang macam-macam, Hana. Bocah polos sepertinya mana mungkin bisa membaca. Eh, dia kelas berapa, ya? positif thingking saja. Mungkin suratnya sampai. Semoga.

Tapi kalau suratnya itu sudah sampai di tangan Teo, tapi mengapa Teo malah mengirim balik surat yang ini padaku. Mengapa tidak membalikkan surat yang aku beri padanya terakhir kali.

Senjenak aku menerawang amplop itu. Aduh, jangan dipikiran. Nanti malah pusing sendiri.

*****

Sambil guling-guling di kasur, aku tertawa cekikikan melihat live stream di instagram temanku. Sekitar dua puluh menit menonton seorang banci yang tengah diwawancarai itu. Aku duduk sila di kasur. Mataku masih tetap menatap pada layar ponsel.

"Teo! Teo! Teo!"

Aku memukul pahak dengan keras dan hahangku pun ikut mengeras. "Apaan!?"

"Sini!" apa yang Ibu inginkan. Perasaan, aku sudah cuci piring.

"Yo! sini!"

Aku tak mendatangi Ibu. Biarkan Ibu yang kemari. Siapa yang butuh? Ya, kan?

Gendang telingaku menangkap suara derap langkah yang cepat. Suaranya semakin mendekat. Tinggal beberapa langkah lagi tiba di depan kamarku.

"Teo!" panggil si serigala.

Aku melempar ponselku di kasur. "Apaan, Bu?"  Mataku menatap malas. Ya, bosan di teriakinya tiap menit. Belum ini, belum itu.

Ibu menggebrak pintu kamarku. Ia berdiri si sana sambil berkacak pinggang. Di sela kedua kakinya, muncul seseorang yang nyelip di antara dua kaki Ibu yang gendut.

Itu si Yasir. Ia melangkahkan kaki mungilnya, lalu duduk di sampingku. Wajahnya agak memelas juga tak mengucapkan kata sedikit pun. Apa Yasir habis kena marah? sudah tahu aku dan Yasir anak cowok, masa dituntut setiap hari mencuci piring.

Selang kurang dari dua menit Yasir duduk dengan nyaman. Ibu merogoh kantung celananya. Ia menyandarkan tubuhnya di frame pintu. Tangannya mengacungkan sebuah amplop. "Liat nih." Dengan sangarnya ia menggetarkan amplop itu.

Kedua alisku mengangkat. Banyak aura gelap yang tengah bersembayam di tubuhnya. Ibu melempar surat itu padaku, tapo berhasil ditangkap.

"Adik kamu udah berani pacaran. Lihat tuh, gara-gara kamu, Teo."

Aku membungkuk untuk mengambil amplop itu di lantai, namun gerakanku berhenti kaku. "Aku?" Sontak langsung menegakkan tubuh.

"Kamu urus adik kamu tuh!" sentak Ibu sambil membanting pintu.

Aku menatap Yasir sejenak. Wajahnya memelas. Ah, masa Yasir pacaran. Aku memungut surat itu di lantai.

"Yas ... Yas ... masih kecil kok pacaran.

Aku membolak-balik amplopnya. Ada stiker love di amplop itu. Seperti amplop-amplop sebelumnya yang sering Hana kirim padaku.

Ya ampun!

"Yas, dapet surat ini dari siapa?"

Yasir menatapku. Wajahnya tidak murung. "Dari orang lah. Pacar aku," ujarnya menyeringai.

Hah? pacar? sejak kapan Yasir menikungku?

"Enggak percaya?" Sombongnya.

Ini semua gara-gara Ibu. Yasir terlalu sering menonton serial drama bersamanya di televisi setiap malam. Aku membolak-balikan lagi surat itu lagi, meyakinkan bahwa suart ini dari Hana. Aku berdiri, lalu mendekati rak buku yang sangat jarang aku buka-buka. Aku menepuk dagu dengan jari telunjuk, mengingat-ngingat di mana letaknya kamus bahasa inggris. Di dalam kamus itulah semua surat-surat yang sebelumnya Hana kirim aku simpan. Aku membuka kamus itu pada halaman tengah. Setumpuk surat tanpa nama berhasil membuat kamus itu terlihat semakin besar. Aku membandingkan tumpukan surat itu dan surat yang kata Yasir surat dari pacarnya.

Dugaanku benar. Ini dari Hana. Aku kembali duduk di samping Yasir. Kamus itu aku geletakan di kasur.

"Yas, jangan mau di kasih surat sama orang ini, em ... pacar kamu."

Yasir menatapku heran.

"Dia itu ... " Aku berfikir sejenak. "Dia itu tante-tante," ancamku.

"Tante-tante?"

Aku berfikir sejenak. "Em ... tante-tante itu em ... " Wajahku mendekat Yasir, sedangkan dia semakin mundur. "Dia adalah penjahat." Tanganku maju nundur seperti hantu sambil melolong ala hantu.

Yasir menatapku linglung.

"Pencuri, penjahat, pencopet, emm ... dan emm ... Pencabul."

"Pencabul!" Kedua tangannya menepuk pipinya. Ia sangat ketakutan saat kata yang terakhir aku sebut. Aku baru tahu bahwa Yasir tahu 'pencabul'.

"Dasar orang jahat." Ia mengepalkan tangan kirinya, lalu menonjok-nonjok tangan kanannya.

"Jangan bilang ke Ibu, ya, Yasir. Nanti kamu kena marah lagi. Oke." Aku mengacungkan jempol.

"Oke."

Yasir angkat kaki dari kamarku. Ia keluar kamar. untunglah, Yasir gampang ditipu. Aku membolak-balikan surat itu lagi. Pintu kamarku langsung kukunci agar tak ada yang tahu bahwa aku membuka surat itu dan membacanya sendirian.

☆ ☆ ☆

Secara ga langsung Teo bilang Hana pencabul wkwkw parahhh hahah

Oath Petrichor #GrasindoStoryIncTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang