25. Hana : Kapan terakhir kalinya kami bertatapan seperti ini?

5 1 0
                                    

Setiap malam ia mendatangiku, masuk lewat mimpi, seperti arwah orang yang meninggal. Dia terus-menerus mengajakku ke suatu tempat. Seandainya Mia penafsir mimpi, pasti mimpi-mimpi itu akan aku ceritakan pada Mia daripada di umpat sendiri.

Pertanyaan besar selama dua setengah tahun ini; kenapa sih Teo? Apa ia benar-benar lupa padaku. Aku sudah puas menjadi parasit untuknya. Memang takdir seorang perempuan itu untuk dikejar bukan mengejar. Seharusnya aku mendengarkan Mia dari dulu.

"Udahlah, Han. Jangan dipikirin terus." Mia mengelus-elus kedua pundakku. Entah mengapa setiap kali pundakku dielus oleh Mia karena Mia perhatian, rasanya jadi lebih baikan.

Kami tengah menyusuri koridor menuju kantin yang sudah dapat diperkirakan bakal ramai. Ya, sekarang jam istirahat.

Aku menarik napas lalu mengembusnya. Mengapa Teo dan aku punya jarak yang lebih jauh dari pada ketika aku ke Jakarta, padahal sekarang kami satu sekolah.

Mia menurunkan tangannya dari pundakku. "Kalau masih yakin sama Teo, jangan patah semangat dong, Han, baru di gituin udah KO."

Aku menggaruk tengkuk. "Bukannya gua nyerah, gua cuman udah cape aja, karena waktu itu hati gua bener-bener sakit banget, Mi." Aku berkata jujur, menurut hati yang paling dalam. "Elu pernah ngerasain saat lu kenal banget sama orang dulu dan dia adalah temen kecil elu, tapi sekarang dia bilang kalau dia udah engga kenal sama elu? Gimana rasanya?"

Mia bungkam. Ia menaikan kedua bahu.

Kami menuruni anak tangga. Kalau kutanya Mia pernah mutusin orang atau tidak, jawabannya pasti tidak. Mia pernah cerita kalau dia yang malah lebih sering mutusin cowok. Jadi Mia tak akan pernah tahu sakitnya jadi diriku.

banyak yang berlalu lalang di koridor bawah. Mia bercerita tentang kisah asmaranya di negara sana. Entah apa ceritanya, aku terlalu fokus melihat cowok-cowok atletis di lapangan basket. Tubuh mereka kekar, tinggi dan punya langkah besar saat berlari. Selama yang aku perhatikan, sepatu mereka berdecit tajam di lapangan.

Apa Teo bisa main basket? Entahlah

"Iya, kan, Han?"

Pikiranku masih teralihkan oleh para pemain basket dari pada ucapannya Mia. Aku suka menonton acara basket di televisi, tapi tak sekalipun datang langsung ke stadion untuk menyaksikan.

"Han?"

"Oh ya, apa?" Seketika pandanganku melebar, menatap tiga orang yang berjalan melawan arah. Aku terperangah.

"Muter balik, Mi," perintahku panik pada Mia.

Langkahku berayun ingin berlari memutar arah, namun Mia langsung menarik lenganku dengan cepat. "Kenapa?"

Aku menelan ludah. Beberap detik lagi Teo akan berpas-pas-an dengan aku dan Mia.

Mia juga menatap ketiga orang itu setelah kutunjuk dengan main mata. Mia masing menahan lengaku dengan erat, hingga lenganku merah.

Teo ... dia menatapku.

"Lets do it. Lakukan sekali lagi, Han," katanya. Ia langsung menyeretku untuk berjalan melewati Teo. Tepatnya, Mia ingin aku berpas-pas-an dengan Teo.

Sesekali aku meronta, tapi genggaman Mia benar-benar kuat. Aku langsung menunduk saat semakin dekat dengan Teo dan kedua temannya.

"Jangan nunduk, Han."

Aku menggeleng.

"Han!"

Aku menarik napas dalam-dalam. Lalu mengembus napas sambil bilang dalam hati 'buktikan sekali lagi, kalau Teo satu-satunya milikku.

Aku semakin dekat. Kini wajahnya mulai terlihat jelas. Ia menatapku dengan rambut gondrongnya. Tampaknya ia baru saja dari kantin.

Tinggal beberapa langkah lagi sebelum berpas-pas-an dengan Teo.

Dia menatapku, iris mata yang tajam. Wajahnya tetap cool. Dia keren walaupun menenteng sterofom Mie.

Detik terakhir.

Ia masih menatapku. Tinggal tiga langkah jarak kami akan bersebelahan.

Tibalah dilangkah terakhir. Kami saling tatap, tiap inci aku perhatikan dengan detail wajahnya, hidung yang mancung juga terdapat jerawat di pipinya.

Kami tengah adu tatap.

"Hana bukan?" Teo berhenti melangkah. Tepat berdiri di sampingku.

Astaga! Ah ... benar-benar mustahil.

Pipiku mengembang, warna pink menyelimuti pipi. Aku menyeringai kaku. Sulit untuk mengucapkan sepatah kata pun.

Tanpa babibu aku langsung berlari sambil teriak-teriak mengejar Mia yang berjalan sudah cukup jauh. Aku memang belum l menjawab pernyanyaan Teo. Yang penting, Teo sudah menjawab pertanyaanku; apakah Teo masih ingat denganku.

Kapan terakhir kalinya kami bertatapan seperti ini? dulu-dulu sekali, saat kami kecil. Aku tidak dapat membaca apa yang ia pikirkan saat ia melontarkan pertanyaan barusan. Yang jelas, aku sangat senang ia tak amnesia.

☆ ☆ ☆
Makasih banyak untuk teman-teman yang sempet-sempetin mampir diceritanya Teo sama Hana. Makasih banyak.

Dan ... aku mau minta bantuan ke teman-temen, kalau misalkan liat ada plagiator yang ngecopas cerita ini, kasi tau aku ya. Saya takut sama plagiator :(

Oath Petrichor #GrasindoStoryIncTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang