"Yud? Yud? Bangun!" Aku menggoyangkan kakinya. Sejujurnya, Yudi tampak seperti orang yang tengah sekarat. Aku iba padanya.
Tiba-tiba Maya mencubit lenganku. "Ish! Dibilang jangan ganggu tidurnya."
Sempat aku mengadu kesakitan. Panas berkat cubitan Maya terus menetap dan tak mau hilang. Saat kugulung lengan seragamku, keajaiban ditemukan; Maya membuat kulitku mengelupas dan berwarna merah.
Ingin marah padanya, tapi itu bukan cara yang baik untuk menghadapi seorang perempuan. Hana dan Mia menatap setiap penjuru kamar ini. Sedangkan Maya mengotak-atik ponsel.
"Bentar, ya. Gua disuruh ngambil camilan di dapur." Maya langsung melesat keluar kamar.
Calon mantu yang baik.
"Yud? Yud!" Aku menepuk pipinya berkali-kali.
"Eh, Yo. Jangan," larang Hana.
Hana berdiri, lalu berdiri di sampingku sambil menatap manusia yang tengah sekarat itu.
Tak terpikir olehku bahwa Hana akan mengecek dahi Yudi. Ah, mengapa aku jadi iri begini? Tenang saja, Hana tak akan berani macam-macam.
"Panas," katanya.
Hana mundur, gantian aku yang akan mengeceknya. Sedari tadi, aku hanya sibuk membangunkan Yudi, bukan mengkhawatirkan suhu tubuhnya.
Kutempel telapak tangaku pada dahi Yudi. Saat kutepuk sekali, tiba-tiba matanya langsung terbuka lebar.
Yudi mengernyitkan alis. "Apaan si lu, Yo." Ia mengusir tanganku dari dahinya dengan kasar.
Yudi bangun dari tidurnya, lalu duduk dikasur sambil menyandarkan punggungnya di tembok. Matanya tampak tak suka melihat kedatangan kami. Bibirnya yang kering, sepertinya mudah dikelupas begitu saja.
"Udah tidur lagi aja, Yud." Maya mendekati Yudi.
Yudi mengucek matanya. Sesekali ia bersin, seolah kami adalah bakteri yang ingin menyerang sistem imunnya.
"Sejak kapan kalian ada di kamar gua?"
"Baru, kok," jawab Hana. Ia berdiri di samping Maya.
"Siapa yang bukain pintu depan untuk kalian?" tanyanya lagi.
"Ibu elu," jawabku. "Muka lu sinis banget, kayak enggak suka dibesuk aja."
Yudi ngedumel. Entah dia tengah menyindir siapa. Tak lama dirinya kembali berbaring dan membungkus tubuhnya dengan selimut. Ia membelakangi kami. Sesekali bersin lagi.
"Oh ya." Dia bangkit dari tidurnya. "Maya mana?" Tatapannya mengarah padaku.
"Oh, dia ... juga sakit, Yud. Makannya elu cepet sembuh, ya," sergahku.
Ia membelalakkan matanya. "Masa, sih?"
Ternyata membohongi Yudi lumayan menyenangkan. Akan kubuat lebih menegangkan.
Lalu kujawab lagi, "Iya, dia kecelakaan."
Tiba-tiba Mia memukul pundakku. Aku mengadu kesakitan.
"Engga, bohong. Maya ada lagi ke bawah."
Yudi melototiku. Tendanganya tepat menepuk alat kemaluanku. Rasa sakit yang tiada tara itu, kini akan bersemayam terlebih dahulu. Seandainya Yudi tak sedang sekarat, mungkin aku akan membalasnya dengan tendangan yang lebih keras.
"Dasar lu," pekik Yudi.
Aku langsung mendaratkan bokongku di bangku. Tak mungkin sekarang aku berteriak dan membalas Yudi. Bersabar dan menahan adalah satu-satunya jalan keluar.
Maya kembali ke kamar sambik membawa minuman dan aneka kue kering yang berwadah toples-toples kecil.
Aku mencoba memakan kue nastar. Padahal belum lebaran, tapi sudah ada nastar di rumah Yudi. Hana dan Mia tampaknya sangat menikmati kue-kue nya, sedangkan Maya tengah memegang telapak tangan Yudi yang tengah berbaring sambil bertukar cerita.
Apa mereka memang se-alay itu?
Tampaknya hanya aku yang tak punya teman bicara. Apa perlu kutambah anggota klub ini agar di genapkan?
☆ ☆ ☆
Next
KAMU SEDANG MEMBACA
Oath Petrichor #GrasindoStoryInc
Teen FictionFiksi Remaja Danau di gurun pasir hanyalah bagian dari fatamorgana. Daratan di laut lepas hanyalah bagian dari cerita dongeng. Hati yang bimbang akan menyesatkan perasaan seseorang layaknya ilusi semata. Orang bilang 'cinta itu buta tidak dapat dili...