Hari demi hari berlalu. Hari ini hari Ujian Nasional terakhir. Aku ambil pelajaran sosiologi, sebab pelajaran itu yang menurutku mudah dicerna. Mia juga pilih sosiologi. Kami sepakat untuk mengambil pelajaran itu sebab biar bisa belajar bareng pas malamnya. Dan, ya, malam tadi Mia ke rumahku untuk belajar bareng.
Yudi, Teo, dan Maya pun ambil sosiologi. Tapi mereka tak ikut belajar bareng ke rumahku. Sebab tadi malam hujan. Dan hanya Mia paling niat. Demi diriku, Mia menyempat-nyempatkan datang.
"Han, kayaknya gua enggak kuliah deh," kata Mia.
Kami sedang di kamar mandi untuk menunggu giliran masuk kelas.
"Ah, elu mah labil mulu," jawabku ketika tengah bercermin memperbaiki rambut.
Mia mengembus napas. "Susah, ya, jadi manusia."
Aku menatapnya. "Kenapa harus susah?"
"Entahlah." Ia mengenggelamkan kepalanya di telapak tangan.
"Kayaknya kamar mandi ini berpengaruh sama pikiran lu deh, Mi. Keluar aja, yuk," ajakku.
Aku menarik sebelah lengannya. Mia berjalan gontai.
Suara kekesalan menyambut kami saat baru saja keluar dari kamar mandi.
Aku melongok menatap orang itu. Itu adalah suara Yudi. Apa yang tengah mereka pertengkarkan?
"Semua baik-baik aja?" Mia menarik alisnya.
"Ya, ya. Everything is fine." Yudi mengangguk-angguk. Ia melangkah mundur setelah menyudutkan Teo.
Yang kulihat, Maya memegangi jemarinya. Apa Teo dan Yudi habis bertengkar?
Bel berbunyi. Membuyarkan pertanyaan yang menggatung di pikiranku. Kami semua terpaku diam. Entah apa yang sebenarnya mereka sembunyikan.
"Ayo, Han, ke kelas." Mia menarik lenganku. Aku menurutinya. Namun, aku terus menengok kebelakang menatap ke-3 temanku itu.
Aku melapas genggaman tangan Mia.
"Kenapa?" tanyanya.
Mengapa aku pergi begitu saja dari mereka? Seolah, aku bukan temannya. Semua baik-baik aja, Han. Batinku.
Tapi, semua tampak kurang baik. Aku langsung lari ke teras kamar mandi untuk menemui ketiga temanku yang tampak sempat bertengkar di sana.
Namun, nihil. Sudah tak ada siapa-siapa lagi di sana.
Mia menepuk pundakku. Matanya mengatakan untuk segera cepat masuk kelas, sebab UN akan dimulai.
Moodku kurang baik ketika tengah mengerjakan soal-soal UN. Pertanyaan yang terpampang di komputer seakan buyar berlarian. Aku tak fokus. Batinku meronta-ronta untuk memastikan semua baik-baik saja.
"Hana!"
Aku tersadar. Mia memanggilku.
Sedikit aku menoleh ke belakang. Pelafalan mulutnya bergerak everything it's okay. Sambil mengisyatakan dengan kedua tangannya slow down.
Aku menarik napas dalam-dalam, lalu memejam mata. Semua akan baik-baik saja, Hana. Tenanglah.
Aku mulai fokus mengerjakan.
Bel berdering. Aku bangun dari duduk, lalu langsung keluar ruangan. Cepat-cepat ke kelas sebelah untuk mengintip kabar Teo, Maya, dan Yudi. Namun, kelas sudah kosong.
Aku langsung menuju parkiran. Mia membuntutiku tanpa bicara sedikit pun.
Napasku terengah-engah setelah berjalan cepat ke sana ke sini. Ternyata Teo sudah tiba di parkiran.
Tatapannya normal, maksudku seperti tidak ada masalah.
"Ayo, Han. Pulang," ajaknya sambil tersenyum.
Sepanjang perjalanan pulang, Teo dan Mia asik bertukar cerita. Namun, tidak denganku. Aku terlihat seperti Teo waktu dulu. Lebih suka terkekeh di saat mendengar cerita yang lucu, dan diam saat ada yang bercerita.
Aku menyeka rambut ke belakang telinga. Melihat Teo seperti ini, tampaknya tak perlu ada yang dikhawatirkan.
"Bye." Mia meninggalkan kami berdua.
Teo tak bergeming. Begitu pun denganku. Aku memilih untuk menatap senja yang mulai turun untuk menyerbu langit sore.
"Han?"
"Hem?" Aku tak menoleh padanya.
"Gampang enggak ngerjain Sosiloginya?"
Aku menggigit bibir bahwaku. "Lumayan." Aku masih tak berani menatapnya. Beberapa mobil melintas.
"Sory, ya, enggak dateng untuk belajar bareng tadi malam."
Aku menggangguk.
"Han. Gua ...." Ia menjeda kalimatnya. "Mau pindah ke Amerika."
Seketika lenggang. Angin menyapu rambutku. Dedaunan saling berbisik. Mengapa baru bilang sekarang, Teo?
Aku menatapnya.
"Owh."
Dia mengangguk.
"Kapan?"
Ia menatapku lama sebelum menjawab pertanyaanku. "Besok."
Aku melongok, lalu kembali melempar pandangan ke jalan. Memalingkah wajah dari Teo, untuk menyembunyikan raut wajah suramku.
Semua akan baik-baik saja, Hana. Aku menarik napas dalam-dalam, lalu memberanikan diri untuk kembali menatapnya.
Di depan, rumah Teo sudah terlihat.
"Sorry, baru bilang, Han."
Aku memanyunkan bibir sambil menggelang sambil bilang. "Semua akan baik-baik saja."
Seketika Teo mengernyitkan alis.
Aku terkekeh untuk menyembunyikan rasa sakit dihatiku. "Lupakan. Bye, duluan, Teo." Aku melambai padanya, lalu menggayuh sepeda dengan kencang.
Sesekali kuupas air mataku dengan lengan kemejaku saat mulai menghilang dari pandangan Teo. Aku terisak kecil. Menunduk, menyembunyikan wajahku dari orang yang lalu-lalang.
Kemudian menatap lurus ke depan.
Berarti, Yudi dan Teo tidak bertengkar di sekolah, melainkan Yudi hanya kecewa.
Aku menarik napas dalam-dalam lagi. Jangan nangis, Hana. Kau tak malu dilihat tetangga apa? Aku mengembuskannya perlahan.
Kutatap langit sore yang semakin gelap. Everything is okey, Hana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Oath Petrichor #GrasindoStoryInc
Teen FictionFiksi Remaja Danau di gurun pasir hanyalah bagian dari fatamorgana. Daratan di laut lepas hanyalah bagian dari cerita dongeng. Hati yang bimbang akan menyesatkan perasaan seseorang layaknya ilusi semata. Orang bilang 'cinta itu buta tidak dapat dili...