41. Hana dan Teo

4 1 0
                                    

Di jalan yang tertimpa rintik hujan tiap detiknya, aku duduk di depan rumah, menunggu seseorang yang keluar dari rumah sebelah.

Gadis kecil itu. Yang senyumnya manis seperti buah apel yang tengah aku tunggu.

Aku mengusap dahi. Merapihkan poni rambut batokku.

Tak lama terdengar deru mesin mobil box yang menghampiri rumah di gadis kecil itu.
Empat orang dewasa turun dari mobil, lalu masuk ke rumah itu sambil memanggul barang-barang masuk ke dalam mobilnya.

Pintu itu kembali di tutup rapat oleh mereka sebelum pergi.

Lagi-lagi poniku menghalangi mata. Aku mengucek-ucek. Lalu terus menatap mobil itu yang hilang ditelan tikungan.

Mau di bawa ke mana semua barang-barangnya itu?

Aku bangun di hari senin yang punya gerimis. Aku duduk di depan televisi sepanjang hari. Itu pun, males-malesan nonton. Habisnya, Mama nonton sinetron. Kalau liburan seperti ini, televisi selalu menyala sepanjang hari. Ayah tidak punya rencana apa pun untuk liburan akhir tahun ini. Begitupun juga dengan Ibu. Apalagi aku.

Oh ya, aku baru ingat punya janji mengunjungi Hana sore ini. Aku memilih sore hari untuk menghindari keramaian kafe. Ada perlu bicara dengannya. Aku mengambil jaketku dan lekas sesegera keluar rumah. Aku sengaja datang sendirian, sebab kalau mengajak Yudi dan Maya mereka uka menggoda sampai aku kikuk.

"Teo, Teo ...," panggil Ibu. Aku mendesah dan ngedumel sendiri. Apa yang Ibu ingin aku lakukan lagi? aku sudah cuci piring.

"Ini, nih." Ia menjinjing kunci, lalu memberikannya padaku.

Ia berjalan menuju pintu depan. Lalu mengambil sandal dan mengatakan, "Anter Ibu ke pasar. Cepetan!"

Aku berdecak. "Tapi, Bu. Aku udah punya janji sama orang lain," sergahku.

"Jangan ngelawan orang tua. Cepetan! Ibu kutuk, nih."

Ia keluar rumah dan menggebrak pintu dengan kencang.

Aku mendengkus. Ibu memang merepotkan. Entah waktunya cukup atau tidak untuk mengunjungi Hana habis mengantar Ibu.

Ibu sialan.

*****

Sudah jam 16 : 35 sekarant. Teo bilang habis shalat ashar ingin ke sini. Di meja no empat belas masih ada satu keluarga dengan anak usia lima tahunan yang punya cukuran rambut batok mirip dengan Teo saat kecil dulu.

Saat keluarga itu keluar kafe, para karyawan mulai membersihkan tiap sudut kafe Cup. Begitupun juga denganku. Semakin sepi semakin hening tempat ini, dan hujan semakin terdengar jelas di atap kafe. Namun, orang yang aku tunggu tak kunjung tiba juga. Semua pelanggan sudah pergi. Tempat ini sudah di lap hingga mengkilap. Sudah saatnya kafe Cup akan tutup.

Tapi belum saatnya aku pulang, masih ada yang aku tunggu. Tertera di suratnya dengan jelas bahwa lokasi pertemuannya di kafe ini. Entah Teo atau Ibu-nya Teo yang ingin bertemu denganku. Di surat ini nama pengirimnya 'Dari Ibu Teo'.

Kalau yang datang memang Ibunya Teo---Ibu Tiara, tak masalah. Tapi sebenarnya, aku juga berharap bahwa hanya Teo yang datang kemari, walaupun aku akan mati kutu di hadapannya.

Kutatap hujan sedang dari balik jendela besar kafe Cup, menatap hujan seperti ini membuat penantianku sangat berarti. Aku yakin, ini pertemuan penting.

"Lagi nunggu siapa?" Mia menghampiriku. Lalu duduk di sampingku, ikut menatap hujan dari balik jendela besar.

Aku tidak menoleh. Aku merogoh saku karyawanku di dada kiri. Mia mengambil amplop itu yang aku julurkan padanya.

"Dari Teo," kataku.

"Oh, dia ngajak ketemuan?"

Aku menggangguk. 

Untuk pertama kalinya ada cowok yang ngajak aku ketemuan.

"Bentar lagi kafe-nya mau tutup. Yakin masih mau nunggu," tanya Mia.

Aku memalingkan wajahku, kembali menatap hujan yang semakin deras turunnua.

Apa surat itu hanya candaan yang Teo berikan padaku. Atau ia ingin berikan surat itu pada orang lain.

"Lu tau nggak,  Mi." Aku menatap Mia yang sedari tadi menatap hujan dari jendela besar kafe Cup bersamaku.

"Apa?" Ia tersenyum.

Aku menarik napas dalam-dalam. "Gua masih mau nunggin Teo ... sampai kapan pun."

☆ ☆ ☆

Hana setia banget, ya. Hana setia banged, tapi kasian juga sering banget dikecewain sama Teo.
Kadang author juga engga tega liat Hana disiksa sama perasaan

Oath Petrichor #GrasindoStoryIncTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang