45. Hana : Aku tak mau melihatnya terluka

4 2 0
                                    

"Dingin banget." Maya mengumpatkan dirinya di balik jaket.

Aku, Mia dan Maya tengah duduk di bangku kantin. Sementara itu, Yudi membantu kami memesan sesuatu untuk cemilan. Aslinya Yudi tak mau datang ke kantin bersama kami karena dia satu-satunya cowok. Ya, Teo tak kunjung datang juga. Padahal sekarang sudah jam 07 : 56, namun jam pelajaran tak kunjung mulai. Tidak ada yang tahu, seberapa hujan akan terus turun. Aku mengatup kedua tanganku sambil meniupnya. Lumayan, agak hangat. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Bila musim hujan tiba, tubuhku lebih sering dibalut oleh jaket kalau hendak berangkat sekolah. Di jakarta, jauh berbeda. Di sana gersang, macet, banyak asap. Tak cocok untuk orang kampung sepertiku.

Sebelum berangkat sekolah, Mama bilang bahwa dia iingin berbaring di kasur sampai aku pulang sekolah. Sudah aku siapkan segalanya yang ia butuhkan di samping ranjangnya. Jadi, kalau mau apa-apa, Mama tinggal menulurkan tangan saja untuk meraih apa yang diinginkan.

"Ini." Yudi menjulurkan teh hangat pada Maya. Maya segera mengambilnya dengan kedua tangan.

Yudi meletakan dua gelas di meja. Satu untukku dan satunya untuk Mia. "Sudah jam segini belum juga masuk, ya?" pikir Yudi sambil mendaratkan bokongnya di bangku.

Saat aku hendak minum, tiba-tiba lenganku disenggol oleh seseorang dari belakang. Sontak aku menjerit kaget dan hampir saja teh ini tumpah.

"Dingin, ya?"

Aku menatap orang yang menyenggol lenganku. Kukira Teo, ternyata salah satu anak Osis yang kurang ajar itu. Mereka paling senang mengganggu orang, membuat kekacawan, dan membuat ulah-ulah lainnya.

Yang rambutnya keriting mendekati Mia. "Nanti malem mau abang ajak ke rumah, boleh?" ujarnya menggoda.

Mataku menyipit saat melihat ada seseorang yang menerjang gerimis menuju kantin. Siapa lagi kalau bukan Teo. Ia langsung lari menuju meja ini. Saat tiba ia hanya berdiri sambil mengacak-acak rambutnya yang telah ditimpa air hujan.

"Nanti malem sibuk engga? temenin aku ke kafe Cup, Mau?" Godanya lagi padaku.

"Heh, paan lu?" ujar Teo. Sepertinya ia sudah tahu ada yang tak beres di sini.

Cowok yang menggodaku melirik pada Teo. Hanya melirik, lalu kembali fokus padaku. "Gimana? Mau engga?" ujarnya lagi sambil mengelus rambutku. Aku menelan ludah karena takut. Baru kali ini salah satu dari mereka menyentuhku seperti ini.

Tiba-tiba Teo langsung menggertak "WOY!" dengan volume suara keras. Teo langsung menarik kerah baju cowok itu dan mengangkatnya, "Gua tadi lagi nanya sama elu. Punya etika engga!" Gertak Teo hingga membuat semua penghuni kantin diam seketika. Mata semua orang mengarah pada kami.

Tak lama Teo melepaskan cengkramannya pada kerah cowok itu. Sesekali cowok itu memperbaiki kerahnya, lalu pergi begitu saja tanpa sepatah kata.

Teo duduk di bangku bersama kami. Tangannya gusar, tak bisa diam. Rahangnya pun masih mengeras. Untuk pertama kalinya aku melihat Teo marah. Dia ... menyeramkan. Apa semua cowok kalau marah memang begitu? untung saja tak ada baku hantam.

Aku tak ingin melihat Teo marah seperti ini. Aku pun tak mau melihat dirinya sebagai jagoan. Aku tak menginginkan itu, sebab ... aku tak mau melihatnya terluka sebab tak bisa mengontrol emosinya sendiri.

☆ ☆ ☆

Teo kambuh :V

Oath Petrichor #GrasindoStoryIncTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang