Post---jembatan yang membentang dari tepi sungai ketepi lainnya. Tersusun atas papan-papan kayu, dan di lengan jembatan, sederet tanaman rambat memenuhi.
Pria kecil itu berjalan bersamaku di bawah deras hujan. Wajahnya berseri-seri. Ia berhasil menangkap seekor kodok di atas daun talas ditepi sungai post. Kodok hijau yang sempet dimasukan ke dalam saku baju.
Aku mengamatinya di atas jembatan post. Itu Menjijikan. Menyentuhnya saja aku geli.
Angin semakin kencang. Tetapi tidak menggetarkan ketakutan dua bocah ini. Sebuah tantangan hebat saat kami hendak melangkah pergi. Payung merah yang menaungi kami terbawa angin. Pontang-panting kami berusaha menahan agar batang payung tetap dalam gengaman. Otot-otot pria kecil itu membengkek, mengerahkan semua tenaga.
Ternyata dia belum cukup kuat untuk menjadi pria sungguhan. Angin berhasil menerbangkan payung itu, mendarat di air sungai yang mengalir deras.
Aku menatap kepergian payung merahku, tampaknya angin dan air bersekongkol untuk membuang payung itu jauh-jauh.
Pria kecil di sampingku memejam mata. Tak lama ia mengusap tetesan hujan di wajah. Senyum sumrigah terukir di wajah imutnya.Ia mengatakan, "Aku suka hujan."
Aku terlonjak dari kasurku. Membuka mata lebar-lebar untuk bangun dari tidur. Ah, aku mengusap wajah lalu melirik kalender di samping jendela. Baru ingat, hari ini minggu. Kembali aku mengusap wajah. Sinar surya menyorot dari jendela, menyinari bilik kecil ini beserta penghuninya yang acak-acakan. Rambutku pasti awut-awutan sebab tidur dalam mode jam berputar, bukan waktu yang aku maksud, tapi gerakan dari jarum jam, bukankah jarum jam selalu berputar kesegala arah, ya, sama seperti tidurku.
Aku menurunkan kaki ke dasar lantai. Dari jendela kamar tampaklah pohon mangga besar yang tumbuh di sisi rumah, dahan dan daunnya sama basah. Hujan sukses meninggalkan bercak tanda syukurnya pada bumi, menyatu dengan embun keperakakan di minggu pagi.
Kedua kakiku mulai melangkah menyisir setiap ruangan rumah. Aku menuruni anak tangga dari kamar di lantai atas. Ada gudang di bawah tangga, di samping gudang terdapat dapur.
Tepat di lantai bawah aku mengecek keadaan ruang tamu yang terbentang hingga ruang keluarga, tidak ada tembok yang menghalang.
Sinar mentari masuk lewat jendela saat aku membuka beberapa hordeng di tiap ruangan.
Tibalah di ambang pintu kamar Mama. Satu kecupan mendarat tepat pada keningnya. Ia masih tidur nyenyak.
Aku meghela nafas. Bagaimana jadinya bila hidup tanpa Mama? jasanya akan selalu melekat dalam ingatan, dan pada lubuk hati yang paling dalam.
Kadang aku berfikir betapa teganya Papa meninggalkan Mama. Aku mengusap kening Mama sambil mengingat-ingat Ayah. Aku tidak pernah melihatnya lagi seperti apa dia sejak kami pindah kembali ke kota Bogor. Setelah sekian lamanya menyandang sebagai orang mampir di kota lain---Jakarta. Aku tidak pernah berbicara dengannya lagi setelah ia memutuskan untuk bercerai dengan Mama. Ia tidak pernah menampakan diri, maksudku, tiap kali Ayah datang ke rumah ini, aku langsung melesat cepat ke kamar dan menutup pintu rapat-rapat. Kadang ia berusaha ingin bicara denganku di depan pintu kamar merah maron---pintu kamarku. Kadang-kadang ia manggil-manggil namaku sambil mengetuk pintu kamar. Aku bosan mendengar rengekan minta maafnya, apapun yang Ayah katakan, tak usah dipercaya. Pria tua itu lebih memilih wanita lain ketibang Mama. Sebegitu, ah! benci padanya. Apalagi saat aroma vodka mengisi seantero rumah. Sungguh! Aku benci aroma minuman yang Ayah bawa masuk ke dalam rumah ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Oath Petrichor #GrasindoStoryInc
Teen FictionFiksi Remaja Danau di gurun pasir hanyalah bagian dari fatamorgana. Daratan di laut lepas hanyalah bagian dari cerita dongeng. Hati yang bimbang akan menyesatkan perasaan seseorang layaknya ilusi semata. Orang bilang 'cinta itu buta tidak dapat dili...