23. Teo : Pojok kanan nomor dua jangan sampe lolos

9 1 0
                                    

Aku berdiri di depan pintu rumah. Menatap rumah sebelah.

Dia berada di teras. Aku terus memperhatikan. Telapak tangannya dijulurkan di bawah rintik hujan.

Ya, dia juga menatapku.

Aku memanggilnya. Kemarilah ...

Apa? aku tidak bisa mendengarmu, teriaknya.

Aku membuat goa menggunakan telapak tangan.

Kemari ... cepat ...

Ia menuruni anak tangga lalu berlari menerjang hujan dengan kupluk coklat muda di kepalanya.

Ia terus melangkah.

Mendekatiku.

Tawanya terdengar di telingaku.

Ia terus melangkah.

Terus melangkah.

Terus melangkah.

Tapi ...

Tak pernah sampai. 

Di pagi hari minggu ini, aku bangun lebih awal; biasanya aku bangun jam enam pagi. Sudah kucek ke setiap kamar, kedua orang tuaku masih tidur nyenyak. Begitupun juga dengan Yasir, dia seperti anak kucing yang berselimut di kasur.

Jam dinding menunjukan pukul setengah enam, aku lekas beribadah sebelum mentari semakin naik. Ketika selesai, kudengar pintu kulkas dibuka oleh seseorang di dapur. Lambat-lambat aku mendekat. Awalnya agak takut, pikiranku sudah melayang memikirkan benda tajam yang dibawa oleh perampok itu. Rupanya, dia hanyalah perampok kecil yang tengah duduk di meja dapur sambil mengamati buah melon.

"Yas ... lagi ngapain?"

Matanya melirik kesana-kemari mencari sesuatu. Aku rasa ia mencari peso untuk memotong melon itu.

"Peso ada di kulkas,Yas." Tadi malam Ibu memotong ayam. Mungkin agar nanti pagi tak repot. Kemudian ia memasukan ayam itu beserta pisau di kulkas. Aku meliriknya saat mengambil air minum.

"Siapa yang nyari peso, aku nyari jeruk, malem-malem aku naro jeruk di sini," ujarnya sambil menunjuk tempat keberadaan benda itu yang dianggapnya hilang.

"Seharusnya ada di sini, aku 'kan tadi malem di sini." Ia turun dari kursinya, menjauhi meja dan berjalan perlahan menuju meja kembali.

"Terus aku taro di sini." Ia menujuk. "Tapi kok nggak ada, pasti ada yang ngambil. Kamu yang ngambil, ya?" tuduhnya padaku.

"Ngapain aku ngambil, Yas. 'Kan aku enggak suka buah jeruk."

"Mama!" Ia berteriak. "Mama mama?" tanyanya padaku.

Aku tak menjawab. Aku melipat kedua tangan di depan dada. Masa bodo dengan Yasir.

Yasir mendekati kulkas lalu mengambil pisau. Ia memutar melon itu terlebih dahulu, kemudian menancapkan pisau pada melon. Tetapi bukan memotongnya, melainkan menusuk-nusuk melon dengan kepuasan tenaganya sendiri. Tusukannya lebih terlihat bagaikan tengah menyiksa seseorang.

"Sini," Aku mengambil pisau itu. Lalu menyayat melon perlahan.

"lama tau motongnya, sini sama aku aja," sindirnya padaku. Sesungguhnya ini adalah cara yang benar dalam memotong buah. Yasir bilang aku lama, sebab adikku yang sok tahu ini tak tahu apa itu potong-memotong.

"Engga usah, entar malah kena tangan kamu," bantahku padanya.

Aku menjinjing sepotong melon tepat di mukanya, "ini makan!" titahku.

"Ah. Aku tuh mau bijinya, bukan dagingnya. Makannya jangan sok tau." 

Memang seharusnya dari awal aku tak perlu membantu. Tadinya aku pikir ia lapar dan segera mencari makan ke kulkas dan yang didapat hanya melon hijau yang bundar. Tapi dugaan itu salah. Sekarang Yasir sedang menanam biji melon di halaman belakang.

Jarang-jarang aku tahu apa yang Yasir inginkan. Dia suka buat hal aneh. Terpikir olehku begini tetapi ia bilang begitu. Tebakanku terlalu sering meleset. Apa semua itu karena Ibu suka membawanya ke sekolah SLB dan ia berteman dengan anak-anak di sana hingga membuat pola pikirnya berubah?

Aku memakan sepotong melon sambil berjalan menuju kamar. Kalau saja orang tuaku sudah bangun dan membuat sarapan, sudah dipastikan aku akan duduk di kursi dapur bukan di kursi yang menghadap laptop di kamarku.

Saat ini aku sedang duduk di kursi menatap layar laptop tanpa menghidupkannya. Terdapat aku di layar monitor yang sedang memakan melon.

Kulirik jendela kamar sambil menikmati gigitan melon. Di tepi jalan ada orang yang tengah lari pagi sambil mengenakan headset.

Awan gelap membungkus langit, tampaknya hujan akan mengguyur kota kembali.

Oh ya, teringat ponsel yang aku temukan di sekolah beberapa hari yang lalu. Kalau tak salah, kusimpan di atas lemari.

Ponsel itu tak kunjung menyala walau ditekan tomboh on-off-nya beberapa kali. Aku mencoba mencopot baterainya, lalu memasangnya lagi.

Berhasil. Sudah menyala.

Wallpaper pada layar ponsel itu berwarna hitam lekat. Tidak berpola dan tidak bersandi. Benar kata kedua temanku, lumayan juga kalau dijual bisa untung besar.

Aku menggeser menu pada layar.  Satu-satunya cara agar aku tahu siapa pemilik ponsel ini adalah membuka galeri.

Menyesal aku mencari tahu, ternyata ponsel ini milik salah satu si penguntit. Si kribo pasti geger mencari ponselnya.

Aku terus menggeser foto demi foto. Entah mengapa aku jadi penasaran dengan mereka. Salah satu foto menampilakan keduanya tengah duduk di bawah pohon. Si kribo sedang memegang pundak si gadis berambut panjang. Dia tampak seperti tetanggaku yang dulu. Tetangga yang periangan, berlesung pipit, dan lebih dari kata 'cantik'.

Aku mencoba menyalakan data selulernya. Notif pesan Whastapp langsung muncul banyak. Iseng-iseng kubuka aplikasi Instagram.

Mia scott nama akunnya. Entah nama panjangnya atau bukan.

Kuscrol beranda, foto-foto orang berkulit putih khas barat menghiasi akunnya. Apa Mia bukan asli orang Indonesia?

Kucoba scrol lagi dan berhenti di nama akun @hanasriwahyuni. Kueja lagi, "Hana Sriwahyuni". Namanya mirip tetangga kecilku. Oh, ini akun temannya si kribo. Mereka begitu akrab difoto itu. Karena penasaran, kucek akunnya untuk mencari tahu. Benar, dia mirip dengan tetangga kecilku.

Terdapat 45 foto di profilnya. Di tengah-tengah aku sempat berhenti karena melihat foto bersejarah. Terdapat anak-anak kecil yang tengah duduk menghadap kamera. Seragamnya rapi-rapi, mirip dengan seragam TK-ku dulu.

Aku menekannya. Tepat sekali Ini foto ketika perpisahan di sekolahku. Aku mengelus dagu lalu senyum-senyum sendiri. Bodohnya aku, Hana yang aku cari adalah orang yang selalu menguntitiku. Aku masih menatap foto itu sambil cengengesan. Mengapa kau tak langsung bilang dari awal masuk SMA kalau kau itu Hana. Kukira, kau adalah seorang penguntit sungguhan.

Kubaca caption dari foto itu.

"Pojok kanan nomor dua jangan sampe lolos hahaha"

Aku tertawa. Itu aku.

☆ ☆ ☆

Bayangin aja 9 tahun engga pernah ketemu, dari bocah sampe SMA. Mukanya pasti berubah ye kan?

Author turut senang liat Teo engga amnesia wkwk.

Oath Petrichor #GrasindoStoryIncTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang