36. Hana dan Teo

6 1 0
                                    

Aku berdiri di tengah jalan yang ramai.

Berpakaian dres putih, dengan payung merah yang melindungi diriku dari kebasahan. Aku bisa merasakan bulir-bulir hujan menimpanya sejak lima menit yang lalu.

Tak lama terdengar derap langkah. Derap langkah yang paling kencang dari ribuan orang berlalu-lalang.

Itu Teo. Pakaiannya serba hitam, kecuali payungnya yang putih transparan.

Aku menunggu langkahnya mendekat. Ia tampak senyum semringah melihat kehadiranku.

Tak lama kerumunan orang menghadangnya.

Ia terselip di punggung orang-orang.

Aku berjinjit, meremas syal di leher. di manakah dia? mataku menyipit. Aku menurunkan lenganku saat jalanan benar-benar sesak.Teo sudah hilang ditelan kerumunan orang.

Atau ... oh, itu hanya imajinasiku saja.

Dia tidak akan datang, sampai kapan pun juga.

Samar-samar telingaku menangkap suara dari alarm di atas nakas. Aku membuka mata perlahan. Tampak kipas angin menggantung di langit kamar, yang baling-balingnya berputar pelan. Ya, seperti biasanya.

Aku mengedarkan pandangan ke penjuru kamar. Sangat berantakan sekali kamarku ini. Dengan cepat aku melesat keluar kamar lalu, mengamati setiap penjuru rumah.

Ya, Mama yang menyuruhku melakukan ini. Mama bilang, kalau pagi-pagi cobalah untuk mengamati sekitar. Jaga-jaga, takut ada perampok yang masuk ke rumah dan menggalkan jejak-jejaknya. Namanya juga perempuan, jadi wajar-wajar saja takut. Di rumah ini hanya ada dua perempuan. Tak ada pendekar yang siap melindungi kami.

Dari halaman depan rumah, aku mendengar lonceng bergemerincing. Bahkan semakin kencang.

"Hana?!" Suara yang begitu kukenal. Aku mengambil langkah menunju pintu depan. Pelan-pelan aku ngintip dari balik birai jendela. Dan benar saja dugaanku.

Diam-diam Teo adalah orang yang paling pertama aku amati. Ya, dia sedang ngobrol dengan Yudi. Sedangkan Maya dan Mia berteriak-teriak memanggil namaku.

Setelah kejadian kemarin sore. Rasanya semakin aneh, kalau aku bisa berbicara tak canggung pada Teo. Coba pikirkan, bahkan sebelum kejadian sore kemarin saja, di hari-hari sebelummnya aku kikuk kalau ngobrol denganya. Aku takut jadi beku pagi ini. Aku takut dilontarkan kata-kata yang lebih menyakitkan lebih dari sore kemarin.

*****

"Lu udah bilang ke Hana belum, kalo pagi ini kita mau ke rumahnya?" tanya Yudi padaku.

Aku mengangkat bahu. "Engga," jawabku singkat.

Entah kenapa telingaku sibuk mendengar pintu rumah Hana yang diketuk berkali-kali oleh Maya. Benar-benar gila. Gadis itu bagaikan ingin menggerebek.

"Elu udah minta maaf belum sama Hana?" tanya Yudi lagi.

Kami masih mematung di halaman rumah Hana sambil menggenggam stang sepeda kami.

"Minta maaf?" Aku menaikan sebelah alis.

"Iya, secara nggak sadar, elu udah nyakitin perasaan Hana. Walaupun itu jujur, tapi rasanya pasti sakit," ujarnya dengan sungguh-sungguh.
"Nggak perlu. Nanti juga sembuh sendiri."

Oath Petrichor #GrasindoStoryIncTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang