9. Teo : Magic of sapu Pak Mugi

23 8 0
                                    

Sempat-sempatnya ada yang mengintip dari luar pada jendela bundar di pintu. Aku tidak menggubris, namun ia sudah pergi duluan. Tidak jelas wajah siapa itu. Mengapa tidak masuk saja?

Sudah hampir dua jam aku duduk di sini. Rasanya ingin lompat-lompat untuk menghilangkan kesemutan di kaki kanan.

Janji mereka satu jam setengah, tapi ini sudah lewat dua puluh lima menit, tetap saja pembimbing kelas musik tidak memperbolehkan mereka pulang sebelum selesai ekstrakulikuler.

Sang pembimbing mondar-mandir memantau dan menuntun paduan suara untuk menemukan nada yang pas. Aku geram terus-menerus mendengar darap sepatunya itu. Tidak lama ia bertepuk tangan. Mengatakan "good jop" (yang aku dengar seperti itu) tepuk tangannya mengema seantero ruangan.

Para peserta eskul menuruni anak tangga, mendekati tas masing-masing. Tapi Yudi dan Maya tengah adu cakap dengan sang pembimbing. Benar-benar menyita waktu.

Hujan masih turun deras. Jadi atau tidak mampir ke kafe Cup? pasti tidak. Hanya wacana saja. Kami sanggup menerjang hujan, tapi apa pelayan kafe mau menerima pelanggan anak SMA dengan pakaian basah kuyup?

Kami sering berkunjung ke cafe Cup. Terutama di jam pelajaran geografi. Acap kali kosong pelajaran. Daripada diam di kelas, nyimak pembicaraan orang lain, mendengar gosip sana-sini, lebih baik kami ke kafe Cup. Jaraknya cukup dekat dari sekolah kami. Jadi, tidak ada yang perlu dikahwatirkan.

"Langsung pulang atau ke kafe dulu?" tanya Maya sambil memasang tas di punggung.

Sudahkah ia cukup puas menyita waktu berlama-lama hingga aku berlumut di bangku penonton?

"Hujan. Yakin mau ke sana?" Kebiasaan Yudi saat bicara, ia mengupil.

"Engga usah, langsung pulang aja," jawabku sambil memakai sepatu di kursi penonton. Kukira hal ini dapat mengurangi daya sengat kesemuatan, nyatanya, itu hanya teori bodohku saja.

"Bulan depan olimpiade terakhir aku sama Yudi, kita pelajar kiriman yang bakal tanding di kota, Lho, " kata Maya sambil mendorong pintu untuk keluar ruangan ini.

Mau sombong?

"Terus?" tanyaku.

Maya menghela nafas.

Aku harus jawab apa?

"Ohya, May? semangat ya!" kata Yudi sambil mengepal tangannya isyarat berjuang. "Si Maya tuh minta di semangatin."

Aku membulatkan bibir.

Pertanyaan tidak penting!

"Yo, seenggaknya lu jangan jadi orang yang bodo amat kek," ujar Maya dengan kutip dua menggunakan jari. "Susah ngomong sama orang yang nggak punya kepekaan."

Aku menaikkan sebelah alis, menatap Maya bingung. Sedangkan Maya menggigit bibir bawahnya, mungkin geram melihat ekspresi wajahku.

"Seenggaknya peka dikit, Yo. Dikit aja. Kalau nanti elu punya pacar ..."

"Teo nggak akan pacaran. Dia jelek!" sergah Maya dengan hinaan. Tampak senyum puas yang terukir di wajah iblisnya itu.

Ingin sesekali menonjok wajah Maya. Ah, seandainya dia cowok. Bisa saja ia babak belur olehku.

"Jangan gitu, May. Emang bener sih," tambah Yudi membuli.

Susah punya temen seperti mereka. Otaknya sama-sama sengklek.

Hujan menemani setiap langkah yang kami---lebih tepatnya hanya aku---di lorong. Yudi dan Maya saling tukar obrolan. Sedangkan aku, ya, diam.

Aku menginjak anak tangga untuk turun ke gedung lantai dua. Hujan menyamarkan obrolan kedua setan di depanku.
Gedung benar-benar sepi, tidak ada pelajar lain yang berlalu-lalang. Sepertinya kelas musik tadi adalah satu-satunya ekstrakulikuler yang selesai terakhir.

Oath Petrichor #GrasindoStoryIncTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang