24. Hana : Siapa pelakunya?

8 1 0
                                    

Aku sering berangan-angan seandainya keluargaku masih utuh. Ayah dan Ibu masih bersama, berusaha menjaga anaknya ini dengan penuh cinta.

Aku mengaduk bubur di mangkuk. Pagi ini Ibu harus sarapan, aku yang menyuapinya. Diam-diam, aku masih mengharapkan Ayah yang dulu. Seorang pria gagah dengan penuh tanggung jawab kepada anak gadisnya ini. Ibu bilang bahwa Ayah masih menyayangi kita walaupun berkunjung dalam keadaan mabuk.

Aku duduk di kasur di sisi Ibu yang tengah berbaring dengan kepalanya ditinggikan oleh tumpukan bantal.

"Ibu, tadi malem Ayah dateng ke sini?" tanyaku sambil menyuapi bubur padanya.

Ia menelan sesuap bubur. "Iya, Ayah datengnya malem banget. Ibu pikir Hana sudah tidur."

"Oh."

"Kok kamu tau tadi malem Ayah dateng?"

Aku mengaduk-aduk bubur di mangkuk dengan sendok. "Aku belum tidur."

Sejujurnya aku benci, sekaligus rindu pada pada Ayah.

"Kenapa nggak keluar kamar? coba tengok Ayahmu lagi."

Aku mengembuskan nafas. "Males ketemu Ayah, "desahku.

"Kamu 'kan bukan anak kecil lagi. Jangan ngambek terus dong. Itu Ayah kamu. Dia yang ngasi kita uang buat makan, bayar biaya sekolah kamu juga, Hana."

Aku menatap Ibu, "Ibu benci gak sih sama Ayah?"

Ia malah tertawa. "Ya enggak lah, toh sebenci-bencinya kita sama orang, jangan sampe di bawa ke hati, tapi letakan di pikiran. Coba pikir lebih dulu. Mengapa patut ia dibenci? kalau pun kita membencinya, untuk apa? Apa bencinya kita akan mempengaruhi hidupnya?"

Aku masih mengaduk-aduk bubur.

"Udah jangan di pikirin. Ayah itu orangnya baik, memang seberat apa Ayah nyakitin kamu. Ibu loh biasa-biasa aja."

"Aku nggak benci sih, Bu. Cuman ... kadang kadang." Aku menatap pohon rindang di balik jendela. "Aku benci Ayah karena ninggalin Ibu."

Ibu bungkam. Seberapa beratkah tanggungan Ibu. Jujur, aku tidak pernah tahu apa yang Ibu obrolkan ketiak Ayah datang. Bukannya aku tak bisa mendengar, hanya saja aku tak mau mengendus bau minum-minuman. Kadang juga kukunci kamar agar Ayah tidak bisa mendekat. Aku tak mau ia menyentuhku lagi.

Ibu memalingkan wajahnya dariku. Kalau memang Ayah baik, tidak seharusnya ia meninggalkan aku dan Ibu seperti ini. Aku tahu, sekarang aku bukan anak kecil yang suka menangis di sudut kamar. Tapi, mengertilah Ayah, renggangnya hubungan anak dan seorang Ayah adalah hal yang menyakitkan, terutama aku, anak gadis yang ditinggal bersama Ibunya.

"Hidup ini memang sulit, Hana. Seburuk apapun tujuan Ayahmu, Ibu tetap mencintainya. Ia pernah bilang pada Ibu bahwa seorang pria selalu punya cara yang sulit untuk kita mengerti, percayalah gadisku, Ayah menyayangi kita," ucapnya panjang lebar. Ia menurunkan lengannya setelah telapak tangannya menyentuh pipiku sedari tadi.

Aku kembali menyuapinya.

Sebesar apakah cinta Ibu pada Ayah? Sampai ia mengumpatkan rasa benci dan tak mau melupakan Ayah?

Kring-kring-kring!

Aku pamit. Mama tersenyum menatapku dari pintu depan dengan kursi rodanya. Pagi ini aku akan ke rumah Mia, lalu pergi ke Kafe Cup. Dengar-dengar Kafe Cup lagi nambah daftar list coklat, pasti luar biasa nikmatnya.

Sesampainya di depan gerbang rumah Mia, diriku langsung dikagetkan oleh suara yang cukup keras. Asal suaranya dari bagasi mobil. Aku menuntun sepedaku, ingin masuk ke halaman rumah. Perlahan aku membuka gerbangnya, bunyi derit dari besi berkarat membangunkan seseorang yang tengah tiduran di bawah mobil sedan di garasi.

Oath Petrichor #GrasindoStoryIncTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang