3. Teo dan Hana

59 10 6
                                    

Wajahnya bulat. Rambutnya berponi, sama seperti poniku. Ujung rambutnya hanya sampai menyentuh pundak. Matanya hitam legam, berbeda denganku---coklat muda.

Ban-ban sepada menuntun kami sepanjang jalan setapak. Dengan pelengkap langit cerah di pagi hari.

Angin datang membawa benih bunga-bunga. Sesekali poniku bergeser ke kanan ke kiri. Menari di depan dahi.

Ia turun dari sepedahnya, begitu pun dengan aku. Ia menunduk, menimbun benih-benih bunga di telapak tangan. Setumpuk benih di tangannya aku amati.

Aku tersenyum, senang melihat temanku melakukan hal yang tidak aku mengerti.

Aku ikut memungut benih-benih bunga. Akan aku cari yang paling sempurna. Mungkin bisa aku dapatkan benih-benih ini sampai satu keranjang.

Tak lama telapak tangan mungilku sudah penuh oleh benih-benih itu. Saat aku mengangkat kepala ...

Angin membawa dia pergi

Tet-Tet-Tet!

Alarm jam beker di atas nakas membangunkanku.

"Aku berangkat," pamitku sambil menutup pintu depan.

Garasi mobil sudah terbuka pagi ini. Ya, seperti biasanya. Ayahku selalu berangkat kerja naik mobil saat fajar tiba. Di mana rerumputan masih basah tertimpa embun malam. Ayah bekerja sebagai manager, kalau tidak salah manager pemasaran. Waktu hidupnya, hampir ia habiskan berlama-lama di ruangan ber-AC. Aku tidak tahu pasti apa yang ayah lakukan di sana. Jelasnya, ia bekerja.

Tiap anggota keluarga di rumahku, masing-masing dapat satu kunci duplikat untuk membuka pintu rumah, Itu idenya Ayah. Kedua orang tuaku punya waktu yang padat di luar. Sampai-sampai kedua anaknya terbengkalai. Asalkan aku dan Yasir tidak melakukan hal aneh saat Ayah dan Ibu pergi, kami berdua bakal selamat dari amukan mulut harimau Ibu.

Sesegera mungkin aku mengambil sepedaku. Dan bergegas, menginjak pedal sepeda. Astaga! Aku sangat terkejut. Aku melihat penampakan hantu pagi di garasi.

"Yasir? Ngapain di sini, kamu engga sekolah?" tanyaku. Ya, Yasir adalah hantunya

Kaos yang dikenakan lusuh. Kedua tangannya kotor, berlumuran oli. Saat ia menengok padaku, wajah mungilnya cemong, ada satu garis oli yang melintang dari ujung telinganya ke yang satunya.

"Libur, Kak," jawabnya polos. Lalu kembali merogoh-rogoh box perkakas si depannya.

Aku membulatkan bibirku.

Yasir adalah adik bungsuku. Tepatnya, dia adik satu-satunya yang aku punya. Jikalau diingat-ingat, rambut Yasir percis denganku saat TK dulu. Berbentuk mangkuk bubur ayam. Ibu yang usul begitu pada Ayah untuk mencukurnya berbentuk mangkuk.

"Kakak berangkat."

Tandas, tancap dan gas.

Pagi ini hujan tidak kembali turun, sama seperti kemarin pagi. Entah sore ini hujan akan turun atau tidak. Pohon rindang dengan daun-daun hijau yang menaungi benih-benih kecil di bawahnya, tampak senang, ia menari bersama angin.

Sesekali aku melewati genangan air. Percikannya menyebar kesegala arah. Melewati perempatan yang sepi dari motor dan mobil. Ya, di daerah sini, hampir semua penduduknya punya sepedah. Mereka lebih senang hidup sehat.

Apalagi tanah di kota Bogor selalu di timpa air hujan, Membuatku betah berada di kota ini.

Sinar mentari tengah hangat-hangatnya. Jarang, kota ini mendapat sinar secerah sorot lampu malam. Walaupun terang, tapi tidak menyengat.

Oath Petrichor #GrasindoStoryIncTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang