Selama ulangan tengah semester di bulan Desember, hujan turun setiap.
Hari pertama UAS semester 1, diberi soal ulangan plus kertas untuk menjawab, lalu pulang. Mau ngajak keempat temanku ke kafe Cup, mereka tak mau, katanya fokus UAS dulu.
Hari kedua pasca ulangan, sama seperti hari pertama.
Hari ke tiga pasca ulangan, sama seperti hari ke dua.
Hari keempat pasca ulangan, seperi hari ke tiga.
Hari ke lima pasca ulangan, seperti hari ke empat.
Hari ke enam pasca ulangan, seperti hari ke lima.
Saat menerima nilai, kulihat nilai satu persatu dengan raut muka datar. Satu, dua, tiga. Aku membalik kertas-kertas itu. Hasil nilai ulanganku a b c, kecuali nilai matematika yang mendekati angka sempurna '95'.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, teman-teman sekelas melirik hasil ulangan matematikaku. Pastinya untuk membandingkan, takutnya ada salah dalam pemeriksaan nilai. Bosan mendapat nilai matimatika bagus. Sampai dijuluki anaknya ellbert enstein di kelas.
Saat pulang bareng Yudi, Hana, Mia dan Maya beberapa hari yang lalu, bawaannya mau cepat-cepat sampai rumah. Habis, yang mereka bicarakan tentang ujian yang baru dilaksanakan. Ya, apalagi saat Mia bilang pelajaran bahasa inggris sangat mudah. Padahal aku paling benci pelajaran itu. Pokoknya susah dicerna otak. Saat TK pun aku tidak bisa menghapal lima kosa kata bahasa inggris. Kalau pun hafal, pasti cepat lupa. Langsung hilang begitu saja. Yang aku tahu hanya yes no yes no saja. Untung Ayah dan Ibu tidak pernah mengajak pergi ke luar negara, bisa dikira bisu aku di sana.
"Pasti kena remidial ini, ahh nilai gua jelek, padahal udah belajar, padahal udah sedia contekan di tangan, tapi kok tetep salah."
Apa yang bisa dikeluhkan para pelajar keluar begitu saja. Masa bodo, kalau memang bodoh jangan sok-sok-an bikin contekan, udah tau bodoh, malah melakukan hal lebih bodoh---membuat contekan di kertas selembar. Tidak denganku, walapun nilaiku jelek aku merasa puas. Toh, itu hasil pekerjaan yang jujur.
Maya langsung merobek salah satu dari kertas-kertasnya. Rahangnya mengeras, ia membuang sembarang. Yudi sibuk membandingkan nilainya dengan pelajar lain di kelas. Seantero kelas dipenuhi kegelisahan saat ini. Suara mereka mengisi langit-langit kelas hingga mau roboh.
Aku memasukan kertasku ke dalam tas. Kalau dilihat terlalu lama, malah ingin segera membakarnya. Tampaknya, hanya aku satu-satunya siswa yang bersedekap di kursi. Duduk sambil celingak-celinguk melihat orang-orang yang sama kebingungan.
Sore tiba, sepanjang jam pelajaran tidak ada guru yang masuk. Mungkin mereka mempersiapkan tugas tambahan bagi siswa-siswi yang kena remidial.
"Yo, gimana nih, pasti gua kena remid matematika." Aku mengangkat alis saat Yudi mengatakan itu padaku.
Aku tidak menjawab. Kepalaku langsung menyentuh meja, lama-lama memperhatikan orang-orang yang sama kebingungan, membuat mata mengantuk.
Tiba-tiba Yudi menggebrak meja. "Gua lagi ngomong sama elu."
"Apa?!" Jawabku agak ngegas tapi tetap memasang wajah lesu pada Yudi.
Ohya, aku belom sarapan. Jadi saat aku menyentak Yudi, perutku juga ikut menyentak lapar. Habisnya Ibu tumben-tumbenan tidak memasak sarapan.
Yudi meremas rambutnya.
Ohya, aku baru ingat tadi Yudi bertanya. Aku menjawab, "Ya, belajar, Yud. Kalau pengin nilainya bagus, enggak usah pacaran."
"Gua minta bantuan lu, oke," pintanya. Melihat senyum itu, aku semakin jijik ingin membantu.
"Ayolah." Ia mendekatkan wajahnya padaku. Kami masih saling pandang. Lihat, senyumnya semakin lebar.
"Iya," jawabku singkat. Terpaksa sudah pasti.
Aku yakin, pasti dia bilang 'yipi'sebentar lagi.
"Yipiii." Ternyata dugaanku benar. Maya yang mengajarinya.
"Tos dulu dong biar deal." Ia mengulurkan tangannya padaku.
Kami berjabat tangan. Oke, misi selesai. Bahkan aku belum tahu tugasnya remidialnya apa. Yang penting Yudi sudah tidak senyum-senyum di depanku lagi.
"Gua kena remidnya banyak banget." Maya menggaruk rambutnya. Lalu mengelus rambutnya hingga pucuk rambutnya yang dikuncir.
"Dibawa santai aja, May." Mia berargumen. Lihat, ia tampak baik-baik saja. Padahal hampir sempurna nilainya nol. Aku baru tahu, kukira Mia itu orang yang pintar dan penuh Teori. Aku membaca dari cara bicaranya. Tapi nyatanya perkiraan itu salah. Mia adalah gadis bodo amat-an. Dia sama sepertku, hampir sama. Hanya bisa menguasai satu materi dengan baik, yaitu bahasa Inggris. Ya, kebalikan dariku yang benci pelajaran itu. Lebih mencintai dengan segenap hati pelajaran Matematika.
"Alhamdullilah nilai gua baik-baik aja." gadisku ikut bicara. Kedua tangannya masih terkepal di meja kantin, tempat kami duduk sekarang di jam istirahat.
Dari jam pertama sampai sekarang tidak ada guru yang mengajar, atau guru yang lalu-lalang di kantin ikut beli makan; bisa dibilang cemilan bagi Ibu-Ibu guru yang badannya berisi.
"Nilai lu berapa emang, Han?" tanya Maya. Ia meletakan kertasnya di meja. Mengambil tangan sedekap.
"Cuma Matematika yang kena remidial," jawab Hana. "Gua emang nggak ahli hitung-hitungan, suka kesel kalo belajar Matematika." Lalu terkekeh.
Aku baru tahu Hana lemah dalam hitung-menghitung. Dengar-dengar, Hana termasuk dalam 10 orang pintar di kelas. Ternyata benar, gadisku memang pintar.
"Nih sama Teo, diajarin." Yudi menepuk-nepuk pundakku.
"Apaan, sih." Aku agak sinis. Yudi terlalu sering menggodaku.
"Cie pipi Teo merah." Baru juga dibipang, Maya sudah mulai lagi.
Entah wajahku merah betulan atau hanya omong kosong Mia. Tapi tetap saja aku tidak memanerkan senyumku yang mengembang. Ini seperti tahan tawa. Mau tertawa takutnya makin aneh, jadi kikuk. Aku mengedarkan pandangan ke sisi yang lain. Pura-pura tidak mendengar obrolan mereka.
Aku memang suka Hana. Tapi, aku telanjur menyakiti hati Hana. Tapi, aku yakin Hana gadis yang kuat. Pokoknya kalau waktu bisa diputar ulang, aku pasti akan menarik ucapan itu. Sejujurnya aku tak terima diriku saat bilang kalimat saat sore itu pada Hana. Aku terlanjur kebablasan.
Sejauh ini, banyak gadis yang aku suka padaku, seperti Raisa, Isyana, Chelsi Islan. Bukan, bukan. Kalau daftar wanita-wanita di atas memang bukan tandingan gadis-gadis yang di sekolahku. Tapi aku menganggap Hana setara dengan ketiga wanita cantik di atas. Hana itu imut mirip Chelsi Islan. Matanya bundar, seperti Isyana, cantiknya seperti Raisa; cantik orang Indonesia.
Mungkin suatu hari nanti, Hana bakal menggantikan posisi daftar wanita-wanita sukses tersebut.
Juga, sukses membuatku mabuk cinta.
☆ ☆ ☆
Itu nama-nama artisnya bener enggak?
Isyana tuh matanya bulet engga, ya?Tau dah wkwk
Lanjut baca aja, ya.
See you next part.Salam miawwwww
KAMU SEDANG MEMBACA
Oath Petrichor #GrasindoStoryInc
Teen FictionFiksi Remaja Danau di gurun pasir hanyalah bagian dari fatamorgana. Daratan di laut lepas hanyalah bagian dari cerita dongeng. Hati yang bimbang akan menyesatkan perasaan seseorang layaknya ilusi semata. Orang bilang 'cinta itu buta tidak dapat dili...