Waktu sore tiba. Aku menggayuh sepeda bersama keempat temanku yang sudah resmi dilantik tadi pagi. Perlu tenaga ekstra untuk menggayuh sepeda ditanjakan seperti ini.
Lempar tanya jawab tentang ini, tentang itu, yang menurutku tidak penting, mengisi perjalanan pulang sekolah. Aku adalah pendengar yang baik. Tak ada sergahan dariku saat mereka berempat bercerita di depanku.
Maya melempar tanya. Hana tersenyum. Aku memperhatikannya. Melihat senyumnya, membuat aku ikut tersenyum. Aku senang Hana mudah dekat dengan Yudi dan Maya. Beruntungnya diriku karena dapat bertemu dengannya lagi.
Suara bel sepeda berbunyi sesekali, mengikuti tawa keempatnya. Sedangkan ban sepeda kami ikut berputar dan bercerita.
"Memang kenapa?" tanya Yudi.
Miamenarik napas. "Semua orang juga tahu kalau gua pernah ngituin orang. Ya, itu bukan rahasia lagi. Gua tetep terima aja."
Yudi membulatkan bibirnya. Sepertinya ada yang salah bertanya. Ia memalingkan wajahnya ke bagian lain, di mana ia membuang muka dari rasa bersalahnya.
"Itu, kan, cerita bohong. Jangan peduli." Maya ikut berargumentasi.
Seperti sebelumnya. Aku membungkan mulut. Apalagi pembahasan yang seperti ini. Aku tak mau angkat bicara.
"Gua juga gitu, kok, Mi. Gua cewek tomboy. Semua orang nggak ada yang mau berteman sama gua. Lebih tepatnya, ya, gua sih yang ngehindar. Gua nggak suka main sama cewek-cewek yang pecicilan di kelas." Maya mengisyaratkan 'Ew' dengan sebelah tangannya.
Semakin panjang obrolannya semakin lama perjalanan, juga semakin menyenangkan. Yudi memperlambat sepedanya. Menghampir di sebelahku yang sedari tadi berada di belakang mereka. "Tuh, Yo, pepet sebelum dipepet sama orang lain," bisik Yudi yang kini tak lagi berjejer dengan ketiga gadis di sepan.
Aku berdecak. Malas untuk digoda. Tahu apa Yudi dengan perasaanku? lebih baik tidak dijawab. Dari pada semakin panas. Yudi bisa langung akbar dengan Hana. Padahal ia baru kenal Hana barusan, tetapi bagai sudah kenal lama. Padahal aku yang kenal dengan Hana sejak kecil.
Perempatan sudah tampak di depan mata. Mia sudah hilang di telan gerbang rumahnya sedari tadi. Sempat ia meningalkan sapa salam jumpa kepada kami. Perempatan itu memisahkan Yudi dan Maya. Meraka sama-sama bertolak jalur. Yang satu ke kiri dan satunya ke kanan.
Kini tinggal aku dan Hana yang sama-sama nenggayuh pedal sepeda dengan lambat. Perjalanan kami tidak lagi menempuh tanjakan. Kalau lurus lagi, ada pasar di bukit, yang pastinya butuh tenaga ekstra bila ditempuh dengan sepeda.
Sesekali aku melirik Hana, ia menatap pohon rindang di sepanjang jalan di sebelah kanannya.
Tiba-tiba Hana menoleh padaku. Cepat-cepat aku menarik pandangan.
Aku kembali menatap lurus. Jarak pandang mata memang tidak bisa di bohongi. Walaupun aku melihat kedepan, seperti orang fokus berkendara. Tapi sebab tubuhku yang tinggi, aku dapat melirik Hana lewat ekor mataku.
Ia ingin membuka mulut. Lalu mengatupnya lagi. Padahal aku sudah bersiap-siap membuka telinga lebar-lebar. Sampai akhirnya ia membungkam mulutnya lagi.
Senja menyaksikan kami. Dua remaja yang saling membungkam mulut di jalan beraspal.
Rumahku sudah terlihat jelas dari sini. Rumah yang sepi dengan halaman hijau yang luas.
"Duluan Ya!" ujar Hana. Lalu menggayuh sepedanya dengan kencang.
Seharusnya aku yang mengatakan itu padanya. Belum sempat aku menjawabnya, ia sudah melesat cepat. Aku mengehentikan sepedaku, berdiri di depan rumah. Menatap gadis itu yang semakin ditelan ujung jalan.
Aku membenarkan dasiku, lalu memukul stang sepeda. Cepat-cepat aku menggeletakan sepedaku di halaman rumah. Karena kesal dengan kejadian barusan, aku menendang-nendang sepedaku. Kenapa aku gugup begini saat berduaan denganya tadi.
Tiba-tiba teringat Ibu. Waktu itu dia mamarahiku sebab meletakan sepeda sembarangan. Aku mendirikan sepedaku lagi, lalu menyandarkannya di tubuh pohon halaman rumahku. Kuhentak kakiku saat menaiki anak tangga sebelum menginjak teras sambil mengacak-acak rambut. Dua kata untuk kejadian sepanjang perjalanan tadi.
Aku bodoh.
☆ ☆ ☆
Next ajah
KAMU SEDANG MEMBACA
Oath Petrichor #GrasindoStoryInc
Teen FictionFiksi Remaja Danau di gurun pasir hanyalah bagian dari fatamorgana. Daratan di laut lepas hanyalah bagian dari cerita dongeng. Hati yang bimbang akan menyesatkan perasaan seseorang layaknya ilusi semata. Orang bilang 'cinta itu buta tidak dapat dili...