Hana Sriwahyuni

92 24 4
                                    

Hai, aku Hana. Ya, itu nama panggilanku. Aku bukan orang yang serba ada. Maksudku orang kaya raya. Aku hidup hanya dengan Ibu. Ayah? entahlah. Kalau memikirkanya malam jadi malas bernafas.

Umurku 17 tahun. Kemarin aku baru merayakan ulang tahunku. Tidak ada yang aku undang sih. Hanya ada Mama dan Mia---sahabat paling berpengaruh dalam hidupku.

Hujan turun sangat deras. Sampai-sampai pohon di samping rumahku pengin tumbang. Buah mangga-nya berserakan di rumput liar.

Aku menegakan tubuhku sedari tadi tidur-tiduran di kasur. Membuka jendela kamarku. Tanpa sinar mentari yang berusaha masuk ke dalam kamar. Sekarang masih jam delapan pagi. Tapi langit hampir serupa jam delapan malam.

Aku menaikan kakiku di atas frame jendela kamar. Duduk meringkuk menikmati derasnya hujan.

Pasti kalau kebanyakan melamun malah jadi ingat masa lalu. Dulu aku punya teman. Teman tiada batas sampai rintik hujan berakhir. Aku selalu memikirkannya. Bocah berambut mangkuk itu. Bocah yang berteman dengan anak perempuan---aku. Bermain hujan bersama dihalaman depan rumahnya, itu sangat mengasyikan. Sampai saat ini, aku masih bisa melihatnya berlari bersamaku kesana kemari dalam belenggu kenangan masa lalu.

Ah, sial. Aku harus pindah rumah waktu itu. Aku ingat ketika terakhir kali kami hujan-hujanan. Dia memakai celana coklat pendek, memakai jas hujan kuning dengan pelengkap payung bening. Sahabat lamaku, aku yakin ia baik-baik saja saat ini.

Terakhir kalinya, aku bisa melihat wajah imutnya. Pipinya kenyal seperti agar. Berbentuk pakpau tapi tidak berwarna hijau.

Itu menjadi moment paling ... ah, perih rasanya. Ayah dan Mama tidak pernah bilang akan pindah rumah hari itu. Saat senyum kami merekah di bawah awan mendung. Di situlah petir datang, dengan cepat menyambar.

Aku ingat raut wajahnya saat aku meninggalkan dia seorang. Berdiri tegap di halaman rumahnya dengan beribu air mata menyamar sebagai air hujan.

Saat roda-roda mobil papa berjalan. Ia tidak mengejarku. Ia berdiri tegak, tak lama payungnya terjatuh dari genggamannya. Di situlah air mataku menetes. Untuk pertama kalinya, aku menangis untuk seseorang.

Hari itu adalah, hari sebelum aku lulus TK. Aku tidak sempat ikut serta potret lulusan angkatan. Aku tidak begitu peduli waktu itu. Namanya juga anak kecil.

Kami tidak pernah berhubungan dalam chat maupun surat menyurat dengan pria kecil berambut batok itu. Buat apa? dulu pun kita hanya sebatas teman saja.

Sembilan tahun wajahnya tak pernah tampak di hadapanku. Aku sudah hampir lupa, bagaimana lekuk wajahnya saat aku menolak di bonceng naik sepedah dulu. Sungguh itu konyol. Masa anak 4 tahun ingin menaiki sepeda ontel yang besar---milik Ayahnya.

Hingga suatu hari, aku dipertemukan kembali dengan sepeda itu juga pemiliknya. Sepedanya tidak pernah berubah sama seperti pemiliknya.

Aku terjebak dalam kepingan masa lalu. Tak masalah, boleh kan mengungkit-ungkitnya.

Waktu itu aku berhenti tepat di depan gerbang sekolah SMA, sekolah baruku.

Warna cokelat kayu dari sepeda ontel itu mengingatkanku pada seseorang. Perlahan aku mendekatinya, hingga jarakku dan pemilik sepeda itu hanya satu langkah lagi. Aku bersiul memanggilnya. Sama seperti saat kami panggil-memanggil dulu.

Ia menoleh padaku. Tampaklah pria dengan wajah yang santai, lembut dan menenangkan. Rambutnya tidak di cukur batok lagi, mungkin bosan. Ia menatapku balik, Memperhatikanku dengan detail, dari ujung ke ujung. Dan ... pergi begitu saja. Tanpa menyapaku.

Apa aku salah orang? jelas tidak.

Bagaikan tanah yang kering, aku hanya angin yang membawa debu berpasir, bukan membawa benih bunga.

☆☆☆

Tidak memaksa kehendak bagi readers untuk membaca cerita ini.

So, kasih aku bintang kalau kalian suka. Coment di bawah kalau menurut kalian cerita ini membosankan.

Terima kasih :)

Oath Petrichor #GrasindoStoryIncTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang