"Ya, gitu, May. Aku sama Teo udah kenal dari kecil, waktu masih pupuk bawang," jawabku.
Aku merebahkan tubuh di kasur. Di luar, hujan turun lagi. Saat ini aku, Maya, Mia dan Yudi tengah bertatap wajah melalui ponsel.
"Oh, kenapa Teo nggak beri tahu gua? bocah itu emang aneh. Nganggep gua sahabatnya, tapi nggak pernah cerita tetang elu, Han." Yudi ikut angkat bicara. Sahabatnya saja tidak pernah tahu, apa lagi pacar sahabatnya---Maya.
"itu karena elu mulutnya ember, Yud." Maya menyanggah sambil tertawa lebar. Giginya yang putih dan rambtunya yang dibalut oleh handuk di kepala, menandakan bahwa dia habis mandi. Padahal sekarang sudah jam sembilan malam.
Aku lihat senyum Mia. Ia ikut tertawa, wajahnya tidak lagi kaku seperti biasanya.
"Ternyata kalian berdua cepet banget akrab sama kita," kata Maya sambil merebahkan tubuhnya di kasur.
"Sebenarnya gua sama Mia itu orangnya terbuka. Cuma, anak-anak yang lain malah ngejauh," jawabku.
"Ya gitulah. Namanya juga hidup." Mia menjawab santai.
"Mia tuh senasib sama gua," ujar Maya. Ia kembali menegakan tubuhnya, tepat di belakang meja belajar yang tertimbun buku sekolah.
"Sama-sama nggak punya temen. Aduh ... jadi sedih," tambah Mia. Aku cekikikan. Begitupun juga mereka. Terlebih lagi Maya.
Di saat seperti ini, senang rasanya mempunyai banyak teman. Untuk pertama kalinya, aku bisa menenukan teman-teman yang satu tujuan, maksudku, ya, sama-sama memiliki keterbelakangan yang hampir sama. Sama-sama sulit dalam bergaul.
"Hana?" panggil seseorang. Aku bangkit. Lalu meletakan ponselku terbalik di kasur.
Ternyata itu Mama. Ia berhenti di ambang pintu kamarku dengan kursi rodanya. Tidak biasanya aku memegang ponsel berlama-lama. Pasti Mama curiga. Biasanya jam segini aku sudah duduk di meja belajar. Mama mendekatiku. Derit kursi rodanya sama sekali tidak terdengar, sebab hujan yang deras. Mama memutar kursi rodonya, masih menatapku dengan senyum manis.
"Hayo, lagi nelfon siapa?" tanyanya seperti menggoda. Ah, Mama ada-ada saja.
Aku menaikan dua pundak. "Engga kok, cuma temen."
"Oh ya?" Mama menghentikan kursi rodanya tepat di depanku.
Aku mendekat. Menurunkan kedua kakiku dari kasur, menggelayut. Jari-jemariku menyentuh lantai yang dingin.
"Mia?" tanyanya lagi.
Aku menggeleng, sambil merem. Eh ... benar sih yang aku telfon adalah Mia. Aku menggangguk.
"Lah, gimana sih? Mia apa bukan?" ia menaikan satu alisnya.
"Ada Mia, juga ada teman-teman Hana yang lain."
Mama menambah senyum. "Oh ya? Siapa?"
Aku meraih ponselku. Yang sedari tadi berbunyi renyek tertimpa selimut. Aku mendekatkan ponselku pada Mama. Tepat seluruh wajahnya tampak di depan layar kamera.
"Siapa itu? Hana jangan masang hantu di hape lu," ucap Maya.
Seketika aku dan Mama saling tatap. Tak lama Mama tertawa. Aku menarik ponsel itu dari wajah Mama.
"Itu Ibuku," ujarku di layar ponsel. Senyumku menghias wajah. Bisa-bisanya Maya berpikir demikian. Mama yang secanti ini dibilang hantu. Sekarang Maya menutup mulut. Ia mengatup kedua tangan mohon ampun atas ucapannya barusan.
Aku tertawa.
"Lihat." Aku menampakan wajahku dan wajah Mama di layar ponsel. "Mirip, kan?"
Mia tertawa kecil, sepertinya ia masih memikirkan ucapan Maya barusan.
Wajah Yudi renyek. Sepertinya sinyal adalah kendala. Hujan-hujan begini, pasti sinyal buruk.
"Maaf tente." Maya salah tingkah. Ia masih mengatup tangannya, meminta maaf.
Mama tertawa melihat Maya seperti itu. "Udah, udah, nggak papa."
"Yang pake handuk namanya siapa?" tanya Mama pada Maya.
"Saya Maya, Tan." Maya masih malu-malu.
"Yang ini kok nggak kelihatan mukanya?" Mama bertanya padaku.
"Itu Yudi, Ma. Temennya Teo."
Mama membulatkan bibir.
Tak lama wajah Yudi mulai tampak di layar. Walau agak samar.
"Kok nggak ada Teo?" tanya Mama. Ia masih menatapku.
Aku menggaruk tengkuk. "Enggak ada Teo, enggak masalah, kan?" jawabku.
Mama tidak menimpal dengan pertanyaan lain. Ia malah tersenyum, senyum baginya adalah sesuatu yang sangat murah tapi lebih berharga dari kepingan berlian.
Hujan masih mengguyur seluruh tanah. Obrolan kami di telpon lebih menyenangkan saat Mama ikut nimbrung bersama kami.
Apa yang aku yakini benar, mama aku menyakiniku juga benar. Saat aku memilih Mia pertama kali sebagai satu-satunya teman di sekolah. Mama manut-manut saja. Ia tidak pernah melarang apa yang aku mau. Toh, aku tidak pernah berbuat yang aneh-aneh.
Adu lemar tanya jawab ditelpon semakin seru. Terlebih lagi saat Mama menggoda Yudi, sebab dia adalah satu-satunya cowok dalam obrolan ini. Lihat, Yudi tersipu. Jadi salah tingkah. Aku senang saat Mama mengukir senyumnya setiap melihatku. Setiap apa yang aku lakukan. Aku senang, ia masih mau bertahan hidup demi anaknya. Menjagaku dengan kasih sayang.
Tersimpan ribuan moto dalam hidup Mama untuk bisa tetap bertahan hidup. Sakit seperti itu bukan sakit yang ringan, walaupun Mama tidak pernah mengatakannya padaku. Aku tidak pernah mendengar ia mengeluh. Yang sering aku dengar adalah, ia suka bermimpi, bermimpi, bermimpi ia dapat meninggalkan kursi rodanya suatu hari nanti.
☆ ☆ ☆
Engga kuad kalo udah ngomingin tentang ibu :'(
KAMU SEDANG MEMBACA
Oath Petrichor #GrasindoStoryInc
Teen FictionFiksi Remaja Danau di gurun pasir hanyalah bagian dari fatamorgana. Daratan di laut lepas hanyalah bagian dari cerita dongeng. Hati yang bimbang akan menyesatkan perasaan seseorang layaknya ilusi semata. Orang bilang 'cinta itu buta tidak dapat dili...