Hana berbaring lemas di kasur di kamar. Kulitnya masih dingin, tetapi pucat di wajahnya agak mendingan. Aku berdiri di ambang pintu kamar, Ibu Diana dan Mia tampak khawatir melihat keadaan Hana saat ini.
Dengan sedikit susah payah kursi roda Ibu Diana mendekatiku. "Terima kasih sudah menolong anakku, Teo," ucapnya dengan tersenyum manis. Itu adalah senyuman paling manis yang pernah aku lihat. Jauh berbeda dengan Ibuku yang suka mengerutkan wajahnya.
Aku tersenyum malu-malu. Tidak biasanya aku dipuji seperti ini. "Iya," jawabku singkat. Diriku memang tak bisa diajak tanya jawab yang asik dan seru.
Senyum itu masih terukir di wajahnya. "Teo beda banget pas waktu kecil sama sekarang." Ibu diana terkekeh. "Rambut kamu kok nggak batok lagi?" Ia tertawa.
Aku tersipu malu sambil terkekeh. Pipiku mengembang dan merah. Apa lagi yang bisa di buka-buka oleh Ibu Diana tentangku? Saat ini ia berhasil membuatku malu-malu di hadapan temannya Hana. Dan dia pun malah ikut tertawa.
Aku meremas rambut menggunakan handuk. Ada pertanyaan yang paling penting tentang Ibu Diana; mengapa sekarang ia memakai kursi roda? Itu bukan pertanyaan yang bagus untuk dilontarkan. Lebih baik aku tak tahu.
"Teo se-kelas bareng Hana?" tanyanya lagi.
Aku menjawab, "Engga, Bu. Hana kelas 12-IPS 4 kalo saya kelas 12-IPS 2."
Ibu Diana membulatkan bibirnya hingga kulit wajahnya mengerut, terlipat oleh kulit wajahnya yang sudah tua. Aku memasukan lengan ke dalam saku celana. Lalu bersandar miring di pintu. Aku meletakan handuk di pergelangan leher. Menunggu pertanyaan selanjutnya dari Ibu Diana yang bisa aku jawab.
"Mama-Papa punya anak lagi engga?" tanyanya sambil melipat tangan di pahanya.
"Iya, Bu."
"Teo kaku banget," kritik Ibu Diana sambil agak menyengir.
Dan lagi, hanya kekeh yang aku lontarkan. Aku menggaruk leherku yang sama sekali tak terasa gatal. Kalau di bilang kaku, memang aku seperti itu. Aku jarang berbincang-bincang seperti ini, apalagi dengan Ibu Diana. Kalau diingat-ingat Ibu Diana itu bagaikan elang di mata jendela kamarnya. Ia suka menjahit waktu itu, duduk di ujung bibir ranjang, mangamati aku dengan Hana yang sedang hujan-hujanan. Di dalam kamarnya, bersinar lampu yang remang berwarna orange. Lampu itu masih segar diingatanku. Aku ingin melihatnya merajut lagi, selalu dengan senyum yang menghangatkan jiwa pemandang.
"Teo rumahnya pindah nggak?" tanyanya penasaran.
Aku tersenyum. Lalu membenarkan posisi berdiriku, tegak. "Engga, Bu, masih sama."
"Bagaimana kabar rumah di sebelahmu, Nak?" Ia terkekeh. "Rumahku maksudnya."
"Masih bagus kok. Cuma kurang di rawat aja."
Sontak Ibu Diana tertawa. "Udah punya rumah baru, yang lama lupain aja." Ibu Diana tertawa.
Tawanya begitu menyenangkan untuk didengar.
Seandainya rumah Ibu Diana tak pindah. Mungkin tak akan ada kejadian-kejadian yang membabi buta aku dan Hana dua tahun kebelakang ini.
Mungkin setelah hari ini, tak akan ada lagi yang namanya penguntit lagi.
Sudah hampir satu jam aku berada di rumah Hana. Rasanya sudah cukup. Aku rasa misiku sudah selesai. Menunggu Hana membuka kedua matanya adalah bukan tujuanku, tujuanku hanya mengantarnya. Itu saja.
Aku menarik napas panjang. "Bu." Ibu Diana menoleh padaku. Aku menghampirinya lebih dekat, dekat dengan ranjangi di mana ada putri yang membeku tengah tertidur. Ada lampu tidur di sisi kenannya, di atas nakas.
"Izin pamit, ya, Bu," ujarku sambil mencium punggung telapak tangannya.
"Iya, nggak enakan sama Mama kamu. Pasti nyariin."
Tiba-tiba terbelesit ingatan dipikiran. Aku terkekeh, Mana ada Ibu mengkhawatirkan aku.
"Salam Buat Hana kalau sudah bangun, ya, Bu."
Ibu Diana tersenyum simpul. "Salam untuk orang tuamu juga, kapan-kapan mainlah ke sini, ya."
Aku tersenyum lagi. Seandainya aku memiliki Ibu yang hatinya mulia seperti Ibu Diana. Ah ... Ibuku saja tidak pernah mencium keningku. Apalagi Ayah.
Aku beranjak pergi meninggalkan kamar itu. Berjalan menuju pintu depan.
"Shut!" panggil seseorang.
Aku menoleh. Oh ... itu si gadis kribo.
"Thanks udah nganter Hana." Entah ia sedang berterima kasih atau tidak. Raut wajahnya mirip dengan Maya. Tak suka senyum.
Aku mengangguk padanya. Lalu keluar dari rumah Hana.
Pintu rumah kututup perlahan, menyuruhku agar segera pulang. Aku menatap sendu, di kamar atas tepatnya kamar Hana bersinarlah lampu remang berwarna kuning. Ibu Diana tersenyum manis dari sana.
Aku balas tersenyum lalu menggayuh sepeda. Hujan sudah tak lagi turun, namun langit gelap sudah membungkus kota di malam ini. Aku sangat rindu kau, Hana. Aku rindu pada masa kecil kita yang menyenangkan. Beruntungnya aku tinggal di kota ini, sebab setiap kali hujan turun, rasanya semua kenangan yang pernah terlewat terasa nyata terulang diingatan.
☆ ☆ ☆
Siapa yang pengin punya pacar kayak Teo?
(Krik-krik-krik-krik-krik-krik)
Jan lupa votman ya :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Oath Petrichor #GrasindoStoryInc
Teen FictionFiksi Remaja Danau di gurun pasir hanyalah bagian dari fatamorgana. Daratan di laut lepas hanyalah bagian dari cerita dongeng. Hati yang bimbang akan menyesatkan perasaan seseorang layaknya ilusi semata. Orang bilang 'cinta itu buta tidak dapat dili...