44. Teo : Jangan jadikan aku panutan

8 3 0
                                    

Sekelebat bayangan melintasi pintu, asap-asap putih berhembus masuk ke dalam ruang ini. Sangat gelap, hanya ada lampu yang menyorotiku dari atas dan lampu dari luar ruangan yang masuk lewat pintu.

Hanya ada sebah kursi di ruangan ini yang sekarang aku duduki. Duduk sndirian di ruangan yang punya lampu temaram.

Asap putih semakin mendekat. Menyentuh tubuhku dengan lembut. Dingin seperti uap air hujan. Aku merasakannya, ia menyentuh relung leherku, membalut dengan lembut, lalu mengelilingi lampu di atasku. Seperti awan mendung.

Tak lama, asap itu pindah di belakangku saat terdengar derap langkah mampir di telingaku. Arahnya dari belakang.

Aku menoleh, namun tak ada orang.

"Teo."

Siapa itu? astaga, itu Hana. Ya, saat aku mendengar ada yang memanggil namaku tepat di depanku, aku terlonjak. Namun, kagetnya tidak begitu tampak.

Lihat Hana, bajunya putih bersih. Dia bukan anak kecil lagi, dia menjadi gadis kuat dengan gaya lembut. Pakaiannya putih, ngatung di bawah lutut.

Mataku terpejam.

"Hana,"

"Hana,"

"Hana,"

Tet-tet-tet!

Bunyi alarm di atas nakas membangunkanku. Aku bangun dari mimpi indah barusan. Duduk di kasur sambil mengingat-ingat mimpiku barusan. Apa benar tadi Hana?

Aku keluar kamar. Di ruang keluarga ada Ayah, Ibu dan Yasir. Tumben mereka belum juga berangkat. Lebih baik aku tak usah tanya-tanya.

"Bu, makan," pintaku pada Mama yang sedang ... ah, sudahlah, aku sudah cukup menonton sinetron itu.

"Ada di dapur. Sana ambil sendiri."

Aku mendengkus. Kerupuk, nasi goreng, telor mata sapi untuk sarapan hari ini. Aku mengambil piring dari lemari, lalu merauk nasi goreng satu piring penuh.

"Yo? kamu nggak sekolah?" tanya Ibu dari ruang terlevisi. Aku menoleh. Ia memasukan satu suap nasi goreng ke dalam mulutnya.

"Iya, nanti. Ibu nggak ngajar?" Ah, akhirnya aku malah bertanya padanya.

"Iya, nanti. Kalau pagi-pagi hujan deras seperti ini pasti sekolah akan dimundurkan satu jam dari waktu normal masuk. Lagi pula hari ini, kan, hari pertama masuk sekolah setelah libur panjang semester satu. Satu tahun loh kita liburnya."

"Wih emang iya, Ma." Yasir ikut menyahut.

Kemudian Ibu membalas dengan jawaban bohongnya. Bla bla bla pada Yasir. Aku tak peduli dengan percakapan mereka.

Tak ingin berlama-lama duduk di depan televisi sambil menghabiskan sarapan, aku langsung melesat mengganti seragam sekolah. Mandi? Ah, tak usah. 24 jam aku tak mengeluarkan keringat.

Kalau hujan seperti ini. Enaknya diantar atau naik sepedah, ya? mumpung Ayah nganggur, belum berangkat kerja. Atau bolos saja?

"Yo, mau naik sepedah atau Ayah anter?" tanyanya. Tepat sekali, mungkin naik mobil lebih enak.

"Anter aja lah," jawabku saat berada di ambang pintu sambil memakai sepatu. Pura-puranya sepatuku sulit masuk ke kaki. Alih-alih pasti menimbulkan pertanyaan. Dan lagi, Ayah, yang sedari tadi duduk di depan televisi lirik-lirik anaknya ini. Itu kode keras dariku.

"Tapi tunggu Yasir selesai makan, ya," ujarnya dalam posisi sama. Membelakangiku. Aku melirik Yasir yang nguyahnya lima menit per satu suapan.

Aku menggaruk kepala. Sekarang kedua kakiku sudah pakai sepatu. Aku berdiri. Lalu menarik kenop pintu.

"Aku berangkat sendiri aja," kataku sambil membanting pintu.

Sebelum berangkat, mula-mula aku memakai jas hujan. Aku menggayuh sepedaku yang diparkir di emperan. Perlahan aku menurunkan sepeda itu dari anak tangga. Aku menggayuh sepedaku dengan santai. Ternyata hujan ini tak begitu lebat.

Rasanya seru kalau hujan-hujanan. Berada di kota hujan, sebuah kesyukruan tiada tara. Allah, mendatangkan hawa tentram yang selalu menyelimuti kota ini. Sepanjang jalan, tetanggaku yang biasanya mondar-mandir menyapu halaman rumahnya tak kunjung terlihat juga. Bahkan jalan ini berasa milikku seorang. Pasti hujan kendalanya. Apalagi kalau di musim hujan seperti ini. Tak segan-segan awan mengaduh kesakitan, memacarkan kilat dahsyat yang akan menyambar sebagian pohon di hutan atas bukit.

Ada anak-anak kecil berlarian menerobos hujan di perapatan.Tawa mereka mengembang manis di pipinya. Senang rasanya kalau masih jadi anak kecil. Mau hujan-hujanan pun tak ada yang perlu meraka khawatirkan. Salah satu dari mereka ada yang mengundang perhatianku. Gadis rambut cokelat, payung merah juga baju putihnya. Percis mirip Hana. Iya, senyumnya pun sama.

Apa Hana sudah ada di sekolah? Ya. Hana anak rajin yang ingin meraih prestasi, bukan seperti aku. Pokoknya aku tak cocok dijadikan panutan orang lain.

☆ ☆ ☆

Senin, 20 Mei 2019. 23 : 09 WIB
Bulan Ramadhan malam ke-16

Jan lupa votmen, ya

Oath Petrichor #GrasindoStoryIncTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang