5. Teo : Peka itu bukan dilihat tapi dipahami

28 9 2
                                    

Aku menumpu dagu di meja. Mengapa pagi ini hujan tak kembali turun seperti kemarin? padahal enak juga bila di bawa santai di sekolah. Terlebih lagi untuk tidur.

"PR udah belum?" tanya Yudi.

Sepertinya Yudi ingin menghinaku. Harusnya dia hapal kalau aku ditanya sudah mengerjakan PR pasti aku menjawab belum. Desas-sesus para pelajar memenuhi seisi ruang kelas. Tampaknya, tugas bahasa inggris yang mereka kerjakan.

Aku menegakan kepala.

"Belum."

"Mana buku lu?"

"Ada di tas, bantu isiin Yud," pintaku memelas.

Yudi tak menimpal balik permintaanku sebab aku tahu Yudi pasti akan melakukan permintaan itu. Sering kali ia membantuku menuntaskan tugas sekolah. Bantuannya sangat penting, walaupun baik di saat ada maunya. 

Cara menyontek mereka tidak keren. Aku bukanlah tipe orang yang suka menyontek. Kecuali, ada yang membantuku menuliskannnya, seperti sahabatku itu.

Yudi terlalu baik jadi manusia, sampai suka di manfaatkan pelajar lain. Yudi cukup terkenal di sekolah ini. Terlebih lagi ia anak futsal. Gayanya yang lumayan. Ia sering menggonta-ganti topi. Anehnya cowo se-keren dia, mau-maunya berpacaran dengan cewek tomboy. Sangat aneh, bukan?

"Nih, udah." Yudi melempar buku tepat di depanku, di meja.

Aku tersadar sebelum lamunanku akan hanyut berlarut-larut. "Cepet banget?" Aku menegakan punggungku.

"Entar abis pulang sekolah anter gua CODan ya." Paksanya ambil menaikan alisnya naik turun.

"Iya, gua juga udah tau sebelum lu ngomong."

Penjualan kaos-kaosnya laku laris di toko online. Tapi aku tidak membantunya mengepak pakaian-pakaian yang akan di kirim kepada pembeli tercinta. Pembeli tercinta. ya, ia mengatakan demikian. Pembeli adalah raja. Lah? Kalau raja beneran yang beli, apa bisa di bilang 'raja adalah pembeli?' Begitulah sedikit perdebatan kami dua hari yang lalu saat mengantarnya menemui reseler. Tugasku hanya membantunya mengantar.

"Iklas nggak nih?" Yudi memancing ketulusan hatiku.

"Iyak." Jawabku sambil menumpu dagu. Aku benar-benar lelah. Semalam pertandingan Laliga sangat seru. Aku menontonya dari komentaror bicara bla bla bla sampai akar-akar acara pertandingan bola tadi malam.

"Kok pake k?"

"Emang kenapa?" Yudi menghancurkan pagiku.

"Kayak nggak iklas." Yudi menatap wajahku tajam.

"Nih bocah sebenernya mau di bantu nggak!? kalo enggak mau yaudah, pergi sendiri sana," celetukku cukup sadis.

"Ya engga." Yudi menyelipkan tanggannya di saku celana. "Mau pastiin aja kalo lu bener-bener iklas. Beda di mulut beda di hati. Susah ngebedain mana yang ... "

"Berisik!" tegasku. Dasar kakek gambreng. "Urusin cewe lu tuh, dari tadi mainin hp mulu." Aku mengidahkan topik yang berkepanjangan ini.

Maya duduk dipojok sana, sepertinya sedang membalas pesan-pesan diponsel. Tapi mana mungkin, yang kutahu ia tak memiliki teman selain kami. Ia sering menghilangkan keberadaan saat para pelajar gadis melintasinya. Ia bilang, bahwa dia tidak suka bila berada dekat dengan gadis-gadis sombong dan membentuk kelompok bermain mereka masing-masing. Jadi ia putuskan agar dirinya tetap konsisten bersama kami.

"May? sini!" panggil Yudi.

Aku dapat mendengar derap  sepatu Maya menghampiri kami. Aku tak melihat ketika ia berjalan aku menelungkup kepalaku di atas meja.

Terdengar suara bangku bergeser, sepertinya ia hendak duduk disampingku.

"Yo?"

Apa yang di inginkan gadis tomboy ini.

"Teo?" panggilnya lagi.

Aku menggerang.

"Sorry, kemaren gua kebawa emosi."

Aku menegakkan kepala. "Yaelah cuman disiram begituan."

"Maaf ya, Teo."

"Ya nggak papa, gua juga tau lu lagi PMS kemaren."

Mata Maya berdelik cepat. ia berdiri. "Kok lu tau?" Kini wajahnya memerah.

"Cuman nebak," jawabku apa adanya. "Emang bener ya?"

"Oke gua mau jelasin ke elu Teo," Maya menarik nafas panjang. Lalu menghembuskannya. "Oke ulangi." Ia kembali menarik nafasnya. Apa yang salah dengan tarikan nafas yang pertama tadi?

"Seorang pria sejati nggak seharusnya bertanya kepada kaum hawa tetang keprivasiannya. Seorang perempuan pasti akan malu untuk menjawabnya, jujur gua sebagai wanita. Merasa terlecehkan apalagi sok-sok-an nebak kalau gua lagi ehem." Maya mengepal sebelah tangan. Tiba-tiba kalimatnya terpotong. Maksudku, aku sedang tidak benar-benar mendengar apa yang Maya sampaikan.

"Dan yang pasti, gua nggak suka ditanyain beginian lagi, ngerti?" lanjutnya.

Oke! Aku benar-benar sedang mendengar khutbah pagi ini.

"Paham!" Jelas padat singkat.

"Tingkat kepekaannya Teo itu dibawah rata-rata, terlalu polos untuk nanya kayak gitu," ujar Yudi sambil menepuk pundakku.

Kata siapa? sejujurnya aku mudah peka. Aku hanya bosan mendengar kode-kode yang sumbernya tidak jelas. Kenapa tidak bilang langsung niatanya apa, mau ngapain, dan alasannya apa. Jangan kasih kode. Aku benci.

"Baca reverensi buku tentang ke-pekaan sana biar lo paham peka itu bukan diliat tapi dipahami," tambah Maya.

Aku menguap. "Kalo ada waktu gua bakal keperpus."

"Jangan janji-janji mulu, elu suka ingkar sama kita," sindir Yudi. Sejujurnya aku jarang menggingkari janji. Aku pikir jikalau sebuah permintaan di tanyakan padaku, acap kali aku sering menyetujuinya. jika aku tak meng-iya-kannya, pasti kehendaknya selalu di paksakan dan memohon-mohon. Akhirnya aku pun sering tidak menepatinya. Ya itu sama saja dengan ingkar.

"Iya, gua janji!"

☆☆☆

Tinggalkan votmen :)

Oath Petrichor #GrasindoStoryIncTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang