39. Teo : Tentang kertas puisi semalam

6 1 0
                                    

"Silakan." Aku membuka pintu untuk mereka. Siapa lagi kalau bukan ke-4 temanku. Hana yang pertama masuk ke dalam rumahku dengan seyumnya yang manis. Senyum sapa di pagi hari. Yang kedua Mia, ia mengucap selamat pagi padaku dengan suara khasnya. Maya melewatiku seperti tak melihat ada orang di depannya. Dan dia membawa tas hitam di punggungnya. Aku tidak ingin setelah Maya pulang ada barang-barang di rumah yang hilang. Yudi menjabat tanganku dengan erat. Dia tampak bahagia pagi ini. Aku menutup pintu setelah mereka semua masuk. Sempat aku melirik kalender yang di gantung di dinding. Minggu, 17 Desember 2018. Mumpung libur tengah semester, kami mengusulkan untuk kumpul di rumahku. Mia akan membuatkan pancake untuk kami. Katanya, kalau lebih ramai orang pasti menyenangkan membuat pancake ini. Mia menaruh belanjaannya di meja ruang tengah. Ia Mengecek barang belanjaannya, siapa tau ada yang lupa dibeli.

"Jadi ...." Hana berjalan pelan menuju foto-foto yang memenuhi dinding  "Orang tua lu jadi pergi, Yo?" Ia menoleh padaku.

Aku mengangguk.

"Clear. Ayo masak," ajak Mia. "Dapurnya di mana, Yo?"

"Itu." Aku menunjuknya dengan jari jempol sebuah ruang tanpa pintu.

"Ada oven, kan?"

Aku mengangguk. "Ada."

Hana dan Mia langsung melesat ke dapur. Sementara itu, ada dua monyet yang lagi duduk leha-leha di sofa sambil ngotak-ngatik ponselnya. Meraka berdua ketawa. Se-seru apa yang meraka kerjakan, hingga lupa bahwa meraka adalah tamu.

"Boleh minta bantuan?" Kepala Hana muncul dari balik ruang tak berpintu itu---dapur.

Selang waktu beberapa menit, kami semua sibuk di dapur. Ternyata membuat pancake tidak semudah yang aku bayangkan. Harus begini-begitu. Pokoknya bingung. Apalagi aku bukan orang yang pandai memasak.

Yudi dan Maya sibuk membuat es buah di kursi. Aku, Hana dan Maya sibuk membuat adoan. Aku melirik Hana, dahinya keringat. Tak ada kipas di sini.

"Aduh panas," desah Maya sambil mengibas-ibaskan tangannya seperti kipas. Mereka menertawaiku. Sepertinya sedari tadi mereka memperhatikanku menatap Hana.

Aku dan Hana saling diam saat Mia pergi mengecek oven. Tugas Maya dan Yudi sudah selesai. Sekarang mereka ketawa-katawa tukar cerita. Semantara aku. Hanya diam saja dengan Hana.

Siapa yang sangka aku akan bertemu dengan kamu lagi, Hana. Aku menadanginya ia sibuk membuat adonan. Sejauh ini perasaanku padanya hanya menjadi misteri bagi Hana, tepatnya, aku tak pernah bilang pada siapa pun bahwa aku juga suka padanya. Sudah lama Hana tak lagi mengirim surat padaku. Kalau aku tunjukan surat-surat darinya yang selama ini aku timbun, pasti ia kaget.

Tiba-tiba pintu depan di gebrak seseorang.

Maya dan Yudi menghentikan tawanya. Hana dan aku saling tatap. Terdengar langkah seseorang yang masuk ke dalam rumah. Entah mengapa suasana jadi tegang begini.

Tiba-tiba terdengar suara vas bunga pecah. Pasti vas di meja dekat meja lorong.

Aku memanggil pelan Maya dan Yudi  yang mukanya tegang. Aku ajak mereka duduk di bawah. Sebab kalau duduk di sini, seseorang tidak langsung melihat kami mengumpat  dibalik lemari makan.

Mia langsung menghampiri kami, duduk berlima di lantai dapur. Wajahnya tegang sekali, sampai meremas kerah bajunya. Apa benar orang di sana adalah perampok.

Aku berdiri mengambil pisau saat mendengar laci di kamar orang tuaku digeledah. Aku mengajak Yudi untuk keluar dari dapur dan menghampiri sumber suara. Yudi langsung meraih pisau buah yang tergeletak di meja dapur. Aku mengacungkan jari telunjuk tepat di bibirku. Mengisyaratkan diam untuk ke tiga gadis yang duduk tegang di lantai dapur.

Oath Petrichor #GrasindoStoryIncTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang