38. Hana dan Teo

4 1 0
                                    

Malam ini aku menonton acara televisi bersama Mama dan Ibu Siti. Kata Mama, Ibu Siti sudah datang sejak tadi siang. Tak ada habisnya mereka tertawa seru. Tampaknya, Ibu Siti adalah orang yang murah senyum, mirip dengan Mama.

Mereka membahas tentang masa dulu saat aku di dapur untuk mencuci piring. Mulanya suasana dalam ceritanya begitu hangat di dengar olehku. Tentang persahabatan antara, Ibu Siti, Kedua orang tuanya Teo, Mama, dan Ayahku. Sampai di titik cerita bahwa Mama harus rela melepaskan Ayah. Ibu Siti bilang, "Persahabatan tak selamanya persahabatan. Kebahagiaan tak selamanya menyenangkan. Tapi, kalau ingat bahwa sahabat ibarat benang rajutan, aku kadang menangis malam hari." Aku tak begitu paham maksudnya. Tapi, aku dengar isak Ibu Siti yang cukup keras.

Aku tak berniat duduk di sofa ruang televisi itu dalam keadaan seperti ini. Aku mengambil air dingin dari dalam kulkas. Rasanya haus sekali.

"Nanti kita ketemu ber-5 lagi, kok, Sit." Hibur Mama.

Ibu Siti terkekeh. "Kok, aku ke bawa emosi, ya, nginget mereka." Ia tertawa. Namun isaknya masih terdengar.

"Kangen Rudhi," kata Ibu Siti.

Rudhi adalah nama Ayahku.

"Udahlah. Bahas yang lain aja, Sit," kata Ibuku untuk segera mengganti topik.

"Ternyata enggak cuma aku yang kangen. Kamu juga kangen, kan, Din."

Mama selalu ingin bertemu dengan Ayah. Jangankan Mama, kadang aku juga demikian, tapi juga aku benci padanya. Kadang, aku tak tahu harus apa untuk melawan antara 'benci' dan 'rindu'.

Ya, begitu ....

*****


Hujan turun malam ini. Mataku menatap layar TV dengan mata terkatup-katup. Aku menguap lalu mengusap wajah. Melihat Ibu di sampingku sedang menangis gara-gara menonton sinetron. Memang dasarnya ibu-ibu, ketika hatinya disentuh sedikit, air matanya langsung mengucur.

Aku hampir saja tersandung saat ingin berdiri, gara-gara kaki Yasir yang berselonjor dengan leluasa. Ia tidak menggubrisku yang setengah sadar jalan, terhuyung-huyung menuju kamar tidur. Sesekali aku menguap sambil membopong guling. Rasanya ngantuk sekali.

Tak lama mataku melotot, mendengar ponselku berdering di meja belajar. Siapa malam-malam begini menelponku. Ganggu orang saja.  Aku mengangkat telpon, namun sudah tidak berdering. Nomor tanpa nama itu membuatku sedikit penasaran. Ah, mungkin nomor nyasar. Aku meletakan ponselku kembali. Sempat aku menunggu panggilan berikutnya. Namun nihil. Aku langsung mendaratkan tubuhku di kasur. Tubuhku miring ke kanan. Rasanya kalau miring ke arah sebaliknya tidurku jadi tidak pulas.
Aku memejamkan mata.

Denting jam dinding yang berisik, ingin aku pecahkan sekarang. Tapi ... tubuhku malas untuk bergerak. Aku membalikan tubuhku ke kiri. Tepatnya menghadap tembok. Saat aku membuka mata, ada kertas yang dilipat di atas kasur.

Aku memicingkan mata. Rasanya aku tidak membuka-buka buku hari ini. Ya, karena setiap hari aku tidak pernah belajar. Aku meraihnya. Lalu membukanya.

Danau di gurun pasir hanyalah bagian dari fatamorgana. Daratan di laut lepas hanyalah bagian dari cerita dongeng.

Hati yang bimbang akan menyesatkan perasaan seseorang layaknya ilusi semata.

Orang bilang 'cinta itu buta tidak dapat di lihat tetapi bisa dirasakan'

Kamu tidak akan pernah tahu, ada apakah di samudra sana. Kamu juga tidak akan tahu fatamorgana jika tidak berusaha mendekatinya.

Tempat apa pun itu, pasti menunggu orang yang tepat dan percaya bahwa 'aku memang benar ada'


Aku membaca ulang, lalu duduk di bibir kasur. Kalau diresapi tiap baitnya, ya, bagus. Aku tak paham betul dengan puisi.

Aku ingin berteriak memanggil Ibu setelah membaca surat ini. Mengatakan, "Ibu, ini kertas punya Ibu?" Tapi terlalu malas untuk berteriak. Jadi, aku sumpatkan dikolong kasur.

Atau mungkin dari Hana? Aku mengumpulkan kesadaran. Kubolak-balik kertas itu. Tapi, tak ada tanda-tanda Hana, tanda lope yang biasanya di tempel di suratnya. Dan surat ini dikirim tanpa amplop.

Aku membaringkan tubuhku lagi. Menatap kertas itu. Mungkinkah ini dari Hana? aku senyum sebentar sambil menarik nafas panjang. Kemudian, aku selipkan ketas itu diaaku bajuku.

Aku harap, semoga hanya aku, hujan dan penulis surat yang mengetahui surat ini.

☆ ☆ ☆

Nah Itu puisi yang ada dideksripsi cerita Oath Petrichor :)

Oath Petrichor #GrasindoStoryIncTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang