2. Hana : Awan belum puas menangis

71 14 20
                                    

Sore ini hujan kembali turun, menimpa rerumputan yang dapat aku lirik dari luar jendela kelas. Rumput liar di taman, berusaha merusak tanaman lain. Di dalam pot bunga menampung air hujan hingga penuh. Akar bunganya tidak dapat menyerap air dengan cepat.

Dering bel sekolah berbunyi membuyarkan lamunanku. Sejujurnya aku tidak melamun, hanya membiarkan otakku kosong. Sama saja sih dengan melamun.

Kutumpuk buku-buku di meja lalu dimasukan ke dalam tasku yang menganga. Ada gantungan boneka kecil, warnanya putih. Menggantung di salah satu resleting, ada matanya juga punya bibir dengan senyum lebar. Itu sofenir undangan tahun lalu, pemberian dari teman Mama yang menikah.

Aku keluar kelas. Berdiri di koridor depan kelas bersama Mia- sahabatku. Bahkan di satu-satunya temanku di SMA ini. Mia punya kulit cokelat mengkilap, bukan kusam. Pokoknya kulitnya mulus. Resmi aku nobatkan sebagai teman terbaikku.

Mendengar masa kecilnya dulu ketika ia di London, bikin aku iba. Sejujurnya ia paling kesal kalau aku memancingnya untuk membuka masa lalu yang Mia lewati. Ia malas untuk bercerita. Terlebih lagi ia jarang bicara. Berpendapat selagi ia pengin. Kalau tidak, ya, dia diam.

"Han, ke kantin dulu nggak?" tanya Mia. Sejenak ia menggaruk rambut kribonya. Mengembang sampai bisa dijadikan sarang burung.

"Ayolah, Han. lagipula masih hujan," ajaknya lagi. Entah kenapa kalau Mia sedang bicara mulutnya selalu maju tak normal, bibir bawahnya lebih tebal dari kebanyakan orang.

"Engga! keburu sore entar ada yang ngikutin," jawabku sambil membuka payung merah, lalu memperbaiki posisi tas selempang berwarna hitam. Setengah dari payungku di timpa rintik hujan.

"Emang siapa sih yang mau ngintilin elu? cowok aja nggak ada yang mau nempel sama elu, Han," tambahnya lagi.  

"Sok tau, lihat aja kalau nanti gua punya pacar. Siap-siap mingkem."

Demi menjaga kecantikan. Tiap malam, aku rajin cuci muka. Itu sudah kuanggap kewajiban. Walaupun tidak ada ayat yang melandasinya. Sebelum berangkat sekolah aku tidak pernah memakai make up. Apalagi di rumah. Pakai bedak wajah saja jarang. Menurutku natural lebih penting. Masih SMA tidak pantas berdandan menor.

Aku terlahir memiliki bibir merah alami. Ditambah dengan senyum indahku. Berderet gigi putih yang super rapih menjadikan aku tampil percaya diri, tidak malu-malu saat berbicara ataupun menutup mulut saat gelak tawaku menggema. Seperti ikan-iklan pasta gigi di televisi, mungkin aku cocok menjadi bintang iklannya.

"Ayo, lah. Jangan banyak mikir entar malah semakin sore, lagian masih hujan," ajak Mia lagi.

Aku menatap langit, masih menyisakan tetes hujan rintik di segala arah. "Oke, gua ikut."

Aku berjalan menggenggam gagang payung. Kepalaku ternaungi payung merah, payung bersejarah. Teman seperjuanganku ini telah lama aku anggap sebagai titisan bekal masa depan yang akan membantuku setiap saat. Beruntungnya diriku.

Tak lama kami tiba di kantin. Beberapa kursi basah terguyur air hujan. Kalau sore kantin hampir kosong melompong. Yang masih buka hanya warung Ibu Niah---penjual soto super mantab. Racikanya membuat lidah bergoyang.

"Kita cuma pesan doang, kan?" Aku mendaratakan pantatku di kursi kantin setelah Mia memesan satu soto. Biasanya bangku ini sering jadi tongkrongan cowok-cowok OSIS. Sayangnya mereka semua bukan tipe cowok yang aku cari. Pernah, ketua osis sekolahku. Aku ulangi, ketua Osis sekolah, pernah menembakku. Dalam detik yang sama langsungku tolak cintanya. Itu pengalaman yang super absurd, bisa-bisanya dia ngelirik gadis dengan kecantikan standar seperti aku. Sudah cukup, sudah cukup memutar ulang CD bobrok di otakku ini.

"Enggaklah, sekalian makan di sini." Kami duduk berhadapan.

"Lama dong."  

"Gua makannya cepet, kok," kata Mia sambil mengibas tangan diudara.

"Paling dua puluh lima menit."

Sumpah? hanya dua puluh lima menit. Sama saja membuang waktu. Seharusnya aku membawa laptop tadi. Selagi Mia makan, aku akan menonton Drakor.

"Beliin gua juga ya!" pintaku memelas. Aku yakin raut wajahku terlihat sangat memelas. Sedihnya jadi diriku. Gara-gara pemungutan pajak uang kas. Lenyap sudah uang sakuku hari ini.

Mia merogoh saku bajunya. Dikeluarkan benda-benda teror dari sakunya. Penghapus, pengserut, tip X. Aku kira bakal ada selembar uang yang ia keluarkan.

"Enggak ada duit lagi, Han," ujarnya cengengesan.

Mana mungkin aku mengutang demi makan soto Ibu Niah. Itu bukan hal baik. Kalau tidak punya uang jangan memaksa. Takutnya malah terbebani dengan utang.

Bukan jadi masalah kalau tidak makan soto saat ini. Toh, bila sampai di rumah nanti aku makan. Pasti Mama sudah siapkan makan malam yang lezat. Lebih lezat masakan Mama ketibang makan soto Ibu Niah. Walaupun aromanya soto Ibu Niah sangat menggoda. Mia meniup soto di mangkuknya, hidungku penuh aroma soto.

Mia melahap satu suap soto ke dalam mulutnya. Aku memperhatikannya. Jadi pengin.
Mia menggeser mangkuk soto itu tepat di depanku. Ia berpindah duduk, tepat di kananku.

"Gua kasihan liat elu, Han. Silahkan dicicipi. Atau mau barengan?"

"Aduh." Kok, malah jadi begini.

"Enggak, Mi. Kayaknya elu laper banget," elakku. Lidahku mengecap rasa. Padahal sotonya belum masuk ke dalam mulutku.
"Alah, kebanyakan ngelak. Tinggal telen aja, Han." Mia mengangkat satu suap soto tepat di depan mulutku. Ia pengin menyuapi aku. Terpaksa mulutku langsung menganga. 

Rasanya pecah di mulut. Pokonya soto Ibu Niah itu tiada tara. Kalau diluhat, sih. Sotonya mirip soto-soto biasanya. Tidak ada yang spesial di mata pembeli. Tapi saat lidah pelanggan menyentuh kuah soto Ibu Niah. Barulah, soto ini punya pandangan berbeda di mata pembeli.

Kami melahap soto secara bergiliran. Mia bagaikan rakyat miskin yang kelaparan. Ia menjilat mangkuk soto. Sudah aku bilang, Mia tampak sangat lapar. Padahal tadi siang kami beli nasi goreng. Memang dasarnya perut karet.

Hujan masih turun, sangat pelan. Tidak ada angin yang berhembus. Aku alihkan pandanganku, menatap langit sore. Walaupun tidak ada jingga dipermukaan langit. Rasanya jingga jarang muncul di langit kota Bogor.

Sempat aku berfikir, apakah awan tidak cukup puas menurunkan tangisannya hampir setiap hari?

☆☆☆

Ada yang penasaran sama sotonya Ibu Niah? :v

Oath Petrichor #GrasindoStoryIncTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang