52. Hana : Jangan ingkar padaku, Teo

6 1 0
                                    

Hari demi hari berganti. Bunga-bunga yang menggantung di atap rumahku, kian rimbun. Hari ini, Ayah berkunjung ke rumah kami. Dia membereskan segala kerusakan rumah ini. Tak mungkin 'kan aku memperbaiki genting kamar tamu yang bocor. Sepanjang Ayah mengerjakan semuanya, aku tak ada di rumah. Sebab setiap minggu adalah jadwal khusus ke kafe Cup bersama teman-temanku. Aku tahu itu tak sopan---pergi tanpa pamit pada Ayah---aku hanya belum bisa memaafkannya saja. Hanya itu. Lagi pula, Aku sudah bilang pada Ibu.

"UN besok, loh. Lu lu pada udah siapa belum?" tanya Maya dengan menunjuk-nunjuk kami.

Di meja nomor 9, kami duduk berlima. Walaupun sesekali Mia membantu melayani pelanggan. Ia tahu Paman Westreen tak suka kalau Mia ikut sibuk saat ia tak diberi amanat olehnya, tapi mau bagaimana lagi? Mia orang yang cekatan dan tahu diri. Dia akan membantu kalau memang dirinya dibutuhkan.

"Siap dong!" jawab Mia.

Kami sudah memesan cokelat panas dan kue kering beraneka rasa. Aku yang memesan menu ini. Sebelumnya Maya ingin kue kering cokelat, semantara Yudi mau kue kering rasa keju, makannya aku usul untuk memesan kue kering aneka rasa. Teo tak memasan apa-apa. Dia menatap jendela besar kafe sedari tadi.

"Yo, diem mulu. Mikirin apaan si lu?" Yudi menepuk pipi Teo.

Teo berdecak.

"Enggak," jawabnya singkat.

"Liat tuh. Lagi badmood dia." Maya menimpuknya dengan choco chip dari kue kering.

"Abis lulus, kalian udah pada punya rencana belum mau ke mana?" Aku hanya ingin tahu saja.

Teo menoleh padaku.

"Kuliah, mungkin." Teo menjawab.

"Kuliah." Maya mengangguk.

Aku menatap Mia.

"Pulkam ke Amerika kalik." Ia meluruskan pundaknya.

"Please, jangan tinggalin kita, Mi,"  kataku memohon.

"Engga tau si. Liat aja nanti."

"Em, Yo." Sedari tadi dia menatapku. Jujur, aku agak tersipu. "Kalau elu?"

Matanya tak lepas dari tatapanku. "Liat aja nanti." Ia tersenyum.

"Akhirnya ngomong juga lu, Yo." Yudi merangkulnya. Dengan cepat Teo melepasnya.

"Kalian mau jalan-jalan engga?" Aku tak tahu dia bertanya pada siapa. Tatapannya  tak mau lepas dari tatapanku.

Maya dan Yudi ricuh seketika karena sebentar lagi mereka akan diajak jalan-jalan dengan mobilnya Teo.

"Tapi ...." Ia menatap kami semua. "Pake sepedah."

Sontak aku tertegun. Yang aku takutkan bukan capai sebab menggoes, tapi pengalam bersama Mia waktu menerjang badai membuatku agak ciut.

* * *

S

ekarang sudah jam 10 pagi, mungkin hujan akan datang sore. Mungkin ....

Perjalanan kami menuju puncak terasa menyenangkan. Entah mengapa, berat menggayuh sepeda kali ini tak begitu terasa. Mungkin, sebab teman-temanku yang membakar tawa kami sepanjang perjalanan. Terlebih lagi kalau mendengar tawa Maya dan Mia. Tak kuat aku menahan untuk tidak tertawa.

"Ke alun-alun enggak, nih?" tanya Teo.

"Aku sih, Yes," jawab Mia.

"Lumayan jauh loh."

Tiba-tiba Maya langsung turun cepat menuruni bukit. Ya, jalan setelah pasar adalah tol dan jalan kecil yang lumayan sepi. Jadi tak ada takut-takutnya kami menerjang jalanan yang punya jalan curam. Awalnya memang mengerikan, secara, aku tak pernah melintasi jalan ini. Batas jalan terjauh bagiku hanya sampai pasar saja.

Sama sekali aku tak menggayuh pedal sepedaku. Ban ini rasanya bener-benar menggelinding mulus. Jujur, aku berteriak ketakutan. Dan ternyata itu mengundang tawa Yudi dan Teo. Anak cowok memang jahat.

Sampai akhirnya kami tiba di landasan yang punya jalan lurus dan tak punya curam.


Mataku disuguhkan oleh sesuatu yang sepi namun ramai oleh suatu benda-benda besar.

"Baru pertama kali liat, ya, Han?" tanya Teo. Aku tak menoleh padanya sedikit pun, sebab mataku terlalu fokus manatap takjub.

Tempat ini sangat luas dan tertata rapi. Terlalu banyak tempat yang menawan, sampai aku bingung mau ke mana terlebih dahulu.

"Han?"

Aku hanya mengangguk-angguk. Mataku sibuk menatap suatu kereta yang punya jalur berputar-putar di udara. Entah aku yang terlalu norak, sampai-sampai aku terheran-heran. Biasanya aku hanya bisa melihat roler coster itu di tv-tv dan instagram, sekarang aku bisa lihat langsung dengan kedua mataku.

"Tempat ini cuma dibuka pas hari minggu aja, Han. Tepatnya malem minggu puncaknya. Kalau sekarang mah udah tutup."

Aku menoleh pada Teo. "Pasti rame banget, ya."

Teo mengangguk-angguk sambil memasukan sebelah lengannya ke saku celana.

"Kalau mau nanti kita bareng-bareng ke sini. Mau enggak?"

Aku mengacungkan jari kelingking. "Janji?"

Teo sempat menatapku lama. Ia menyilangkan jari kelingkingnya pada kelingkingku. Lalu tersenyum.

Angin berembus tepat sekitar jam 3 siang. Mereka sanksinya bahwa ada yang tengah berjanji padaku.

☆ ☆ ☆

Aye aye

Oath Petrichor #GrasindoStoryIncTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang