50. Hana : Dosa yang berpahala

3 1 0
                                    

"Aku berangkat, ya, Ma," kataku sambil mengecup keningnya yang kian mengerut sebab di makan umur.

"Hati-hati." Mama mengikutiku sampai teras.

Gerimis mampir lagi pagi ini. Mama menyuruhku untut memakai jaket, karena biasanya saat gerimis membuat flu dan demam.

Seperti biasa, tetanggaku yang gendut itu tengah berada di halaman rumahnya bersiap-siap untuk lari pagi. Semakin hari semakin rajin beraktifis. Itu jauh lebih baik dibanding duduk di kursi malas setiap hari; Mama yang bilang begitu. Katanya dia terlalu capai tidak bergerak.

Kupampang sederet gigi putih padanya. Senyumnya mengembang di ujung-ujung bibirnya. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya dan diriku. Senyum pun sudah cukup memberi sapa.

Saat hampir sampai rumah Teo, dia di trotoar dengan sepedah. Entah itu sepedahnya atau bukan. Dia tak lagi tengah menuntun sepeda ontel kesayangannya lagi, melainkam sepeda gunung berwarna hijau.

Dia langsung menunggangi sepedah saat aku tepat di sampingnya. Seragamnya juga berselimut jaket.

"Berangkat," kataku. 

Kami menggayuh sepedah melintasi jalan setapak yang kian ramai. Teo tak menyanggah duluan dengan obrolan menuju sekolah seperti biasanya. Tatapannya terus ke depan. Dia tak melirikku sedikit pun.

"Habis pulang sekolah, jadi ke Yudi enggak?" Aku yang memulai pertanyaan.

"Jadi."

Dia diam lagi.

Aneh sikapnya. Seharusnya 'kan aku yang marah padanya sebab dia sudah mulai bercumbu dengan Mia, namun setelah mendengar ucapan Mama semalam, aku merasa lebih baik. Bahwa tak ada pengkhianatan di antara persahabatan.

"Oh ya, Han ...." Dia menggaruk tengkuknya.

Aku memiringkan kepalaku. Suara ban mobil yang mengelus aspal terdengar nyaring saat lewat di samping kami.

"Engga jadi deh." Dia menatapku.

Aku menaikan sebelah alis. "Kenapa?"

"Penasaran, ya?" Teo terkekeh.

"Apaan, sih? Bikin penasaran tau enggak."

"UN kapan, Han?"

Jujur, sikapnya pagi ini agak aneh. Tumben dia khawatir dengan pelajaran.

"Pertengahan April kalo engga salah." Kurang lebih tanggal 10 kalau engga salah. Aku tak berani menyebut tanggalnya pada Teo, sebab aku takut salah ingat.

"Kalau Teo kapan, Han?"

"Awal maret kayaknya mah."

"Btw, tumben nanya beginian. Biasa elu bodo amat-an."

"Emang kalau gua pengin tau engga boleh. Jangan-jangan elu mikir gua aneh gara-gara nanya begini."

"Tau aja." Aku tertawa, Teo pun demikian.

"Eh, itu Maya." Aku menunjuknya menggunakan bibir. Maya tengah menunggu kami di perampatan sambil mengamati semua orang yang lewat.

Maya berdiri dari sebuah bangku panjang yang sengaja diletakan olah seseorang di sana. Karena sebelumnya banyak orang yang berdiri di trotoar untuk menunggu seseorang, sehingga menghalangi para pejalan kaki. Perampatan itu adalah lokasi yang startegis untuk pertemuan. Tak ada bua yang melintas di tempatku ini. Memang tak disediakan jalurnya. Kalau mau lihat bus, harus naik ke bukit terlebih dahulu. Sebab di sana ada jalur tol.

"Kenapa lagi, May? jelek banget mukanya," tanya Teo menyambut Maya. Sebenarnya itu kalimat yang salah untuk menyapa Maya. Sekarang dia malah memelototi Teo.
"Ayo berangkat, May," ajakku.

Maya mulai menggayuh sepedahnya.

Sampai di sekolah kami pisah, kecuali aku dan Mia karena kita memang satu kelas.

Mia tak banyak bicara juga, dia memilih untuk mengerjakan tugas-tugas sekolah dibanding memilih mengobrol denganku. Padahal biasanya Mia yang mengajakku ngobrol.

"Tumben rajin, Mi."

Ia menatapku, lalu kembali menyalin materi dari papan tulis di bukunya. "Biar dapet nilai bagus. Udah mendekati UN, harus rajin belajar."

Mengapa Mia jadi serajin ini, dan kalau diingat saat berangkat sekolah, Teo pun bertanya mengenai hal yang biasanya tak digubris olehnya. Apa mereka memang janjian untuk merubah nilai mereka?

"Oh ya, Han. Tadi Teo nanya-nanya tentang UN juga. Dia mau benerin nilai yang anjloknya."

"Oh Teo. Iya, kita janjian."

"Hah?" Aku mengerutkan dahi.

Mata Mia terbelalak. "Gua ngomong apa tadi?" Seperti takut akan sesuatu.

"Lu bilang kalau elu janjian sama Teo buat giat belajar."

Alisku terangkat semakin tinggi. Sepertinya dugaanku benar. Ada yang mereka sembunyikan.

Mia menggeletakan pulpennya. "Iya ...." ia meremas jemarinya.

"Sering chat-an, ya, lu?"

"Sekali." Ia tak berkedip. Bukankan itu tanda orang yang tengah berbohong.

"Jujur aja, Mi. Gua udah kenal elu dari lama. Kebohongan lu udah enggak mempan."

Mia masih meremas jemarinya. Apa dia benar suka dengan Teo. Ah, kontrol pikiran, Hana. Ingat-ingat kembali kata-kata Mama.

"Iya. Gua sering chat-an sama dia. Sorry, ya, Han. Gua engga ijin ke elu."

Aku menaikan alis. "Lah, kok izin ke gua?"

"'Kan elu pacarnya." Mia terkekeh.

Pacar dari mana? Bahkan waktu di ruang BK, Teo tak mengakuiku sebagai teman masa kecilnya.

"Jadi gua sama Teo sering chat-an ngomomgin elu."

Aku terperangah.

"Iya. Sorry, ya, Teo. Gua ingkar janji." Dia menatap langit-langit kelas, seperti meminta ampun.

"Masa, sih, Mi?"

Ia menangguk.

"Emang ngomongin gua tentang apa aja?" Aku semakin penasaran. Siapa sangka yang aku takut, malah berakhir sangat melegakan.

"Stop. Gua engga mau jadi orang munafik. Gua udah janji sama Teo untuk engga boleh bilang apa-apa ke elu."

"Kalau munafik demi kebaikan, engga papa kok. Ayolah, kasih tau ke gua."

"Gua engga mau jadi orang munafik." Mia meremas rambutnya.

"Please, Mi. Demi kebaikan gua juga."

Mia menatapku agak judes, sedangkan kubalik tatap dengan pengharapan.

"Oke. Oke. Gua ceritain."

Hatiku langsung bergejolak. "Jadi ... mulai dari mana ceritanya?"

"Kita mulai dari ...."

Mia bercerita sambil menyebar dosa kebaikan padaku. Entah ini dosa atau pahala yang tengah kami lakukan. Yang jelas, Mia mau bercerita.

☆ ☆ ☆

Pahala apa dosa, ya, Pak ustadzzz?

Oath Petrichor #GrasindoStoryIncTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang