🎶Line Without a Hook By Ricky Montgomery
🌿🌿🌿
Tatkala gadis itu membuka mata. Ia melihat tubuhnya sendiri dengan tatapan sendu. Bumi sangat cepat berevolusi, manusia terlalu cepat berubah, dan waktu berlalu begitu cepat tanpa dihitung. Baru kemarin rasanya ia menutup mata, terlelap sebagai anak kecil yang tidak punya pemikiran selain memikirkan permainan apa yang akan ia mainkan esok hari. Ia mau bermain lompat tali, bukan melompati hari-hari yang menyimpan makna. Bayang-banyang masa lampau terus berputar di benaknya seperti vidio kualitas HD.
Perasaan seseorang ternyata memang seperti main dadu dengan alas bergambar ular tangga. Bidak adalah perasaan kita, dadu sebagai takdirnya, artinya ia tidak pernah bisa diterka-terka. Bidak hanya bisa melangkah apabila pemain dadu mendapat angka keberuntungan. Angka 6 yang merupakan angka paling tinggi belum menjamin naik level, bisa saja angka paling rendah membuatnya naik tangga. Ular dan tangga itu bermusuhan. Tangga selalu menaikkan seseorang sedangkan ular malah menjatuhkan seseorang. Ketika pemain dadu hanya satu langkah menuju finish, menuju kemenangan, menuju kebahagiaan, dadunya berkhianat membuatnya harus menginjaki kepala ular, sehingga semua perjuangan yang ia lakukan harus kembali ke titik rendah. Yang artinya semua hanya berdasarkan predestinasi. Akan tetapi gadis itu hanya tidak mengerti mengapa perasaannya tidak pernah menaiki tangga untuk mencapai titik kemenangannya, titik kebahagiaannya?
"Kinara, minum dulu."
Gibran memberikan gadis itu sebotol air putih dalam tumbler berwarna hijau. Kinara meneguknya dalam diam. Arloji di tangannya sudah menunjukkan pukul 16.15 WIB dan mereka berdua masih berada di area sekolah. Mereka duduk berdampingan di depan kolam renang. Gibran hanya membiarkan Kinara tenang selama beberapa menit setelah menggandengnya keluar dari rooftop. Gadis itu memilin jari, tidak paham dan bingung. Pada saat bersama Arga ketakutannya melebur. Ia pikir panic attack itu sudah hilang namun realitanya berkata lain. Mungkin ketika bersama Arga, Kinara hanya sedang beruntung.
"Kinara, lo baik-baik aja?"
Kinara menoleh, memaksakan senyumnya.
"Kata lo kejujuran adalah awal yang baik, tapi lo sendiri menerapkan kebohongan."
Mata Gibran tertuju pada tangan Kinara yang tidak berhenti tremor. Laki-laki itu menggenggamnya.
"Kinara, apa lo bahagia?"
Kinara tidak menjawab, bagimana caranya ia bisa menjawab jika ia bahkan tidak tahu bentuk bahagia seperti apa. Ia melihat dirinya sendiri di mata Gibran, seolah mencari sesuatu di sana.
"Kenapa Kinara? Kenapa masih jadi Kinara yang dulu? Kinara yang penuh ketakutan, Kinara yang tidak pernah jujur dengan perasaannya sendiri, Kinara selalu menyimpan bebannya sendirian, Kinara yang tidak pernah bercerita."
Mata Kinara memerah, menahan tangis.
"Kenapa nggak nangis? Kenapa ditahan? Nangis bukan berarti lo lemah, rasa sakit kalo terus disimpan terus bakal jadi jarum yang akan menusuk lo setiap saat, harusnya lo berusaha keluarin rasa sakit itu, walaupun susah tapi paling nggak lo coba dulu. Semua orang butuh nangis Nar, bukan berarti kita cengeng, tapi kita butuh tempat untuk melampiaskan kemarahan, untuk mengekspresikan kesedihan, untuk tetap bertahan. Gimana caranya kita memanifestasikan kebahagiaan kalo hak untuk nangis aja nggak pernah disuarakan."
KAMU SEDANG MEMBACA
KinarArga (End)
Teen FictionYang Kinara Bautista lakukan hanya menghabiskan uang papa yang tidak ada habisnya. Ia bisa membeli apapun, kecuali membeli janji mama yang pernah berjanji untuk kembali. Kinara merasa tidak berguna, hingga anak laki-laki bernama Gibran Fedelin membe...