Yang Berbalik Arah

596 81 2
                                    

🎶Happier —Olivia Rodrigo

🎶Happier —Olivia Rodrigo

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🌿🌿🌿

Sesi pembagian hadiah dan sesi foto bersama Gibran dan Leo di atas panggung telah berakhir. Buru-buru Kinara turun dari panggung. Ia tidak mengubris teman-temannya yang berlarian memanggil namanya untuk mengucapkan selamat dan berfoto bersama. Wira sempat bertanya Kinara mau kemana, Kinara hanya beralasan ia kebelet ingin ke toilet, serta pria itu dan Rosa juga berpamitan kembali ke kantor karena urusan pekerjaan. Kinara berlarian tanpa arah sampai kakinya teratuk tembok sehingga kini gadis itu berlari dengan langkah pincang. Perasaannya bercampur aduk, sehurusnya ini menjadi momen paling bahagia di dalam hidupnya. Sebab selama bertahun-tahun ia berani untuk mengalahkan ketakutan dan ambisi berlebihan yang seolah membunuhnya pelan-pelan. Tetapi ketika hari itu datang, hati kecil Kinara seperti obat nyamuk yang semakin lama membuat tubuhnya terbakar dengan rasa takut yang menjalar.

Orang-orang mulai bubar dari tribun penonton, mereka turun untuk berfoto bersama dengan teman-teman sekolahnya. Terutama dengan para pemenang seperti juara dua yang diraih oleh SMA Taruna Jaya dan juara tiga di raih oleh SMA Pelita. Sementara tim hore dari SMA Harapan Bangsa hanya berfoto bersama Leo. Kinara tidak sempat untuk merayakan kemenangan, dan Gibran malah menyusul gadis itu yang terlihat kalut sejak tadi. Kinara menggigit jari telunjuk yang hampir berdarah, tapi rasa sakit itu tersamarkan oleh rasa khawatir.

"Kinara," Gibran memanggilnya.

Kinara tetap pada aktivitas semula. Ia menyapu pandangan ke segala penjuru, berjalan ke sana ke kemari, dan mengamati kursi penonton dari sudut ke sudut. Orang-orang yang tidak ia kenal berlalu lalang, memandangnya karena mengetahui Kinara sebagai pemenang dalam lomba cerdas cermat matematika itu.

"Nar, Kinar!" panggil Gibran lagi.

Namun Kinara tidak ingin fokusnya terbagi.

Tuhan, bukankah harapan diciptakan dengan tujuan membuat manusia-manusia tidak jatuh pada lubang keputusasaaan? Bukankah selama manusia punya harapan, pasti ada jalan? Tuhan, saya ini bukan manusia kuat seperti yang digambarkan pada lirik lagu penyanyi yang bernama Tulus. Saya cuma sebongkah tanah yang kau beri nyawa. Cuma segumpal darah mengalir di dalam raga yang diberi jiwa. Yang mana sedikit goresan pisau bisa membuat kulitnya terluka. Sebagaimana itulah saya manusia yang dipenuhi kelemahan, yang tidak pernah siap untuk menghadapi kehilangan. Maka Tuhan, berilah saya sebekal kenyataan yang isinya bukan kehilangan.

"Nar!" Gibran menarik lengan Kinara.

Terdengar nafas Kinara memburu. Jantungnya seolah meraton. Ia tetap menoleh ke kiri dan kanan karena belum menemukan apa yang ia cari.

"Kinara tenang!" nada Gibran meninggi hingga Kinara akhirnya menatapnya.

"Mama Kak, Mama ..." ujarnya ingin memberi penjelasan dengan suara yang hampir samar.

"Gue ... gue liat Mama. Gue ... nggak mungkin salah liat Kak. Itu pasti Mama."

Gibran tahu apa yang sekarang Kinara hadapi. Ketakutan apa yang singgah di dalam dadanya. Gibran sudah mengenal Kinara dari kecil. Gadis itu telah menceritakan perihal kepergian mamanya dari lama sejak ia masih 6 tahun. Melihat kepanikan yang menyerang Kinara sekarang, tentu ikut membuat Gibran khawatir.

KinarArga (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang