👦Gibran Fedelin
🌿🌿🌿
Kinara Bautista. Perempuan kecil itu dengan semangat mengeja namanya sendiri di name tag seragam baru berwarna merah putih. Ia sangat senang karena berhasil membaca namanya sendiri berkat di ajari oleh bibi Ijah. Hari pertama masuk ke sekolah, ia di antar oleh Mang Mali, supir pribadinya. Setelah sampai pada tempat tujuan, Kinara turun dari mobil. Mang Mali menawarkan diri untuk mengantar Kinara sampai ke kelas, tetapi Kinara menolak, ia tidak mau merepotkan orang lain.
Setelah meyakinkan Mang Mali bahwa Kinara bisa sendiri, lelaki paruh baya itu berpamitan. Kinara melangkahkan kaki ke dalam gerbang, di sana ia melihat pemandangan sekitar. Gandengan dari seorang ayah yang mengantar anaknya masuk sekolah untuk pertama kali, atau kecupan manis dari dari seorang ibu untuk memberi semangat pada anaknya yang tidak percaya diri, atau mungkin keduanya, sepasang suami istri yang bergantian memeluk anaknya sekadar untuk memberi motivasi.
Sepintas dipikirannya,Kinara merasa berbada. Lalu ia menggeleng. Ia tidak boleh memiliki perasaan semacam ini. Kata bibi Ijah ia harus mandiri.
"Qila, kamu duduk sama Kinara ya," pinta sang guru pada anak kecil berambut kriting saat kelas murid-murid telah di bagi.
Anak kecil berambut kriting itu menggeleng tidak mau.
"Aku nggak mau duduk sama orang yang nggak punya mama," ujarnya dangan sangat polos.
Kinara yang semuda itu, masih berusia 6 tahun tetapi ia sudah tahu bagaimana rasanya di diskiriminasi.
"Kok kamu bisa ngomong gitu?"
"Mama itu kan panutan, mama tempat yang selalu ngajarin kita jadi anak baik. Kalau nggak punya mama, siapa yang ngajarin dia jadi anak baik."
Cara pandang anak kecil tersebut terdengar aneh di telinga orang dewasa, terkadang anak kecil hanya berusaha memahami hal-hal yang terjadi di sekitar meski kadang mereka tidak dapat menyerapnya dengan baik.
"Kamu kenapa mikir Kinara nggak punya mama?"
"Dia memang nggak punya mama Buk, dia aja masuk kelas sendirian. Nggak ada yang peduli sama dia, apalagi kalau bukan karena dia nggak punya mama atau orang tuanya nggak peduli sama dia, mungkin karena dia nakal makanya bisa begitu."
Kinara melihat mata Aqila yang memancarkan kebencian padanya, ia masih bertanya-tanya mengapa anak kecil seperti Aqila bisa berkata sejauh itu, hal-hal yang mungkin hanya dipahami orang dewasa. Kinara mencoba mencerna kata-kata Aqila, jika dipikir lagi kata-kata Aqila mungkin saja benar. Mungkin selama ini Kinara tidak menjadi anak baik, makanya mama tidak peduli.
Bu guru yang Kinara tidak tahu siapa namanya itu tersenyum, menggeleng-geleng, memberi pemahaman pada Aqila. "Qila, nggak gitu sayang. Setiap orang tua itu sayang dan peduli sama anaknya, Kinara juga, dia punya mama dan papa kok. Cuma mama sama papa Kinara lagi ada urusan."
KAMU SEDANG MEMBACA
KinarArga (End)
Teen FictionYang Kinara Bautista lakukan hanya menghabiskan uang papa yang tidak ada habisnya. Ia bisa membeli apapun, kecuali membeli janji mama yang pernah berjanji untuk kembali. Kinara merasa tidak berguna, hingga anak laki-laki bernama Gibran Fedelin membe...