🎶Crazier —Arthur Miguel
🌿🌿🌿
Gibran memperhatikan adiknya yang berdiam diri memperhatikan dirinya sendiri dibalik cermin. Gadis itu memandang wajahnya dengan tatapan kosong, tidak ada apa pun lagi di matanya. Di matanya yang biasanya menyimpan banyak rasa, sekarang tidak terpancar lagi dari bola mata abu-abunya. Aza meraih sisir lalu menyisir rambutnya dengan perlahan. Kemudian ketika rambutnya perlahan demi perlahan mulai berguguran ia menangis kencang dan melempar sisirnya dengan wajah ketakutan.
Gibran spontan memeluknya. Ia mengelus pundak adiknya.
"Gapapa Za, gapapa... "
"Igib... rambut Aza... "
Meski dari awal sudah tahu rontok rambutnya akibat kemo terapi yang tengah ia jalani, tetapi ia tidak pernah terbayang sebelumnya bahwa rontoknya akan sebanyak itu. Sebagai perempuan yang selalu berambut panjang, ia sungguh ketakutan bahwa ia benar-benar kehilangan rambutnya.
"Nggak mau kayak gini Igib, Aza benci kayak gini. Aza jadi jelek, Aza nggak cantik lagi... " Gadis itu terus merengek layaknya bayi yang susah sekali menghentikannya menangis.
"Enggak Aza, Aza selalu jadi yang terbaik, always. Nggak boleh ngomong kayak gitu."
Setelah membiarkan Aza menangis selama beberapa menit, Gibran membantu Aza untuk duduk dan membiarkan ia bersandar di sandaran kasurnya. Perempuan itu masih menangis segugukan. Sejak kemarin, ia tidak berhenti menangis, di tambah lagi rasa sakit dari penyakitnya yang tidak berhenti menyerang tubuhnya. Bahkan Aza tidak bisa menjelaskan sesakit apa rasa sakitnya sampai ia rasanya ingin mengakhiri hidup saja.
"Minum dulu," ucap Gibran dan Aza menurut.
Aza terdiam kembali. Ia merasakan nyeri yang luar biasa di lehernya. Ia benci situasi seperti ini, padahal ia sudah menerapkan kemoterapi, sudah mengikuti saran dokter untuk minum obat-obat pahit yang diberikan serta menjaga pola makannya, tetapi tetap saja rasa sakit itu semakin hari semakin bertambah. Penglihatan matanya sekarang sudah kabur, ia tidak dapat melihat dengan jelas, tetapi ia tidak mengatakan itu kepada dokter bahkan keluarganya, seolah-olah ia semakin membiarkan dirinya merasakan rasa sakit itu semakin dalam. Tubuhnya juga terasa lemah, kondisinya makin hari makin memburuk, hal tersebut ditandai dengan titik hitam di bagian putih matanya, serta bagian bawah kukunya menghitam tanpa sebab.
"Udah ya Za, kita rawat inap aja di rumah sakit ya." Bujukan yang tiada hentinya dilakukan oleh Gibran namun lagi-lagi di tolak oleh Aza.
"Nggak mau nginep di sana, takut... "
"Kan ada Bunda, Ayah, sama Igib. Kami nggak akan biarin Aza sedirian. Kami akan selalu nemenin Aza. Pengobatan di rumah sakit lebih memadai Za, meski kamar kamu udah kayak rumah sakit. Tapi tetap aja beda, di sana dokter bisa 24 jam. Kalau ada apa-apa bisa langsung di tanganin secepatnya. Kalau kamu kayak gini terus kapan sembuhnya Za."
KAMU SEDANG MEMBACA
KinarArga (End)
Fiksi RemajaYang Kinara Bautista lakukan hanya menghabiskan uang papa yang tidak ada habisnya. Ia bisa membeli apapun, kecuali membeli janji mama yang pernah berjanji untuk kembali. Kinara merasa tidak berguna, hingga anak laki-laki bernama Gibran Fedelin membe...