"Halo, gimana Fin?"
"Fotoin catetan bahasa indonesia dong, kemaren kan gue nggak masuk."
"Gue lagi nggak di rumah. Ayah gue di rumah sakit jadi gue nemenin dia. Besok aja di sekolah gimana?"
"Yaudah deh. Ayah lo emang kenapa?"
"Jantungnya kumat."
"Waduh, semoga cepet sembuh ya."
"Iya, makasih."
"Btw, lo di rumah sakit mana? Khusus jantung apa rumah sakit umum?"
"Rumah sakit jantung deket rumah gue."
"Rumah Sakit Jantung Kencana? Serius?"
"Emang napa?"
"Ih, disitu kan banyak setannya."
"Jangan ngaco lo Fin, udah malem ini mana gue di kantin sendirian."
"Balik Fri, cepetan!"
"Kenapa sih emangnya?"
"Aduh lo gatau? Di koridor itu kalo malem-malem ada yang jalan sendirian bakalan dilendotin!"
"Dilendotin siapa?"
"Jadi dulu ada korban meninggal di rumah sakit itu. Jantungnya kumat tapi karena dia orang gak mampu jadi pihak rumah sakit nunda dia karena ada orang kaya yang waktu itu juga kumat. Pas mereka selesai, pasien itu udah meninggal. Jadinya dia gentayangan, ngelendotin orang buat dimintain tolong."
"Ngaco Fina, lo jangan nakutin gue dong!"
"Lo takut ya? Cewek tomboi kaya Friza takut nih? Hahaha."
"Sialan, lo nipu gue? Kurang ajar."
"Nggak Fri, serius. Balik ke kamar lo. Keburu lampunya dimatiin sama resepsionis."
Aku kesal, kuputus panggilan dan melihat jam di layar ponsel. Segera bangkit dan membayar ketika menyadari bahwa sudah pukul 9, dan lampu koridor akan dimatikan pukul 9.
Kuharap aku belum terlambat.
Rumah sakit ini memiliki jam khusus bagi para pasien untuk beristirahat. Pada pukul 9, lampu di setiap koridor akan dimatikan sehingga para pasien tidak ada yang berkeliaran.
Kamarku terletak di lantai dasar, namun cukup menakutkan juga karena letaknya berada di ujung. Mau tidak mau aku harus melewati koridor yang panjang.
Aku berlari sampai ke koridor tersebut. Terlambat, keadaan di sana sudah gelap. Lututku terasa lemas, perkataan teman sebangkuku itu rupanya sudah memengaruhi pikiranku.
Mencoba berani, sambil mengucap sejumlah doa aku menyusuri koridor dengan berbekal cahaya senter dari ponsel.
Langkahku terasa berat, kucoba untuk tidak menyorotkan lampu kemanapun dan fokus berjalan sambil sesekali menengok nomor ruangan.
Hawanya benar-benar tidak enak, namun sejauh ini aku tidak merasakan ada yang aneh dengan punggungku.
Hingga akhirnya aku tiba di kamar, syukurlah.
Aku membuka pintu kamar, cahaya menyelimuti ruangan dan ayahku masih terjaga, menonton berita di televisi.
Aku tersenyum padanya, namun ketika ia melihatku matanya melotot dan ia melempar bantal padaku.
"Ayah! Ngapain-"
"TURUN KAU DARI PUNGGUNG ANAKKU!" Serunya kencang, dan tiba-tiba aku merasakan seseorang melepas genggamannya dari pundakku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ghost Stories
HorrorSelf-made creepy stories. Language : Bahasa *** Tenang aja, selama lu gak bisa ngeliat, gak bakalan ada sosok gaib yang ikut baca cerita ini di belakang lu. Tapi hati-hati aja, mungkin lu gak bakal berani meremin mata waktu keramas.