38. Lembur

154 21 1
                                    

Warning! Long chapter
***

Aku masih karyawan baru di sebuah perusahaan. Baru seminggu aku bekerja di sini, tapi bos sudah memberiku banyak pekerjaan. Apa karena aku anak baru? Atau kinerjaku lebih baik dibandingkan senior? Entahlah, tapi karena bos aku jadi harus lembur selama dua hari terakhir.

"Saya nggak mau tahu, pokoknya minggu ini kerjaan sudah harus selesai!" Begitu katanya sebelum pergi meninggalkan kantor hari ini.

Alhasil, aku sendirian. Hanya cahaya dari komputer yang menerangi ruangan. Ditemani musik pop yang mengalun dari ponselku agar suasana tidak terlalu sepi.

Tak.

Musik berhenti. Aku yang ikut bernyanyi juga berhenti.

Baterainya habis? Tidak. Sementara musik akan tetap berputar meski layarnya mati. Lalu siapa yang mematikan? Sepuluh jariku daritadi terus menempel pada keyboard.

Aku melanjutkan lagu. Kali ini malah liriknya berjalan mundur. Kemudian maju, dipercepat. Suaranya seperti chipmunk.

Aku merinding. Kedua tanganku benar-benar tidak menekan tombol pause atau rewind. Aku memutuskan untuk melanjutkan sisa kerjaan di rumah. Sekarang, lebih baik pergi dari sini.

Ting! Pintu lift terbuka.

Ada seorang wanita berparas cantik yang berdiri di pojok. Aku seketika merasa tenang, ternyata bukan aku saja yang lembur.

"Baru mau pulang mas?" Tanya wanita itu.

"Iya mbak, banyak kerjaan jadinya lembur." Jawabku. "Mbak lembur juga ya?"

"Iya. Pak Widodo itu memang gak tanggung kalau ngasih kerjaan." Ia tertawa kecil. "Masih mending kalau dia ngasih saya gaji besar."

Tunggu. Setahuku, Pak Widodo sudah menyerahkan perusahaan pada kawannya, Pak Satria.

"Maksudnya Pak Satria mbak? Pak Widodo kan sudah nggak megang kantor."

"Hah, Satria siapa? Maksud saya Widodo ituloh, yang sukanya kalo kesini ngomel-ngomel, terus ngasih gaji cuma seuprit. Udah gitu dia suka godain yang magang. CEO busuk."

"Mbak?" Aku merasakan suaraku gemetar. "Maaf, CEO nya sekarang Pak Satria."

Wanita itu terdiam sejenak. Kemudian ia tertawa.

"Oh iya! Pak Widodo kan udah saya bunuh! Goblok!" Ia menepuk dahinya keras, kepalanya yang masih menyatu dengan leher tiba-tiba jatuh ke belakang dan darah spontan mewarnai sekeliling.

Aku lantas berteriak. Menggedor pintu lift yang sedari tadi tidak sampai ke lantai dasar. Berulang kali menekan tombol pintu lift, namun pintunya juga tidak terbuka.

Grep! Seseorang memegang pundakku. Mataku memejam, tidak berani menengok. Dalam hati, kuucapkan berbagai doa.

Tangan dingin yang meraba pundakku kini menjalar hingga ke leher. Sial, baunya busuk. Menjalar lagi ke pipi, mencengkram wajahku dan kukunya yang panjang terasa menembus kulit. Aku meringis menahan sakit.

"Bukaa.. matamuu.." Suara rendah menyapa gendang telinga. Aku mencoba untuk tidak terlena, namun godaan setan sepertinya lebih kuat.

Jadilah aku membuka mata.

Sosok wanita dengan mata mencuat, rambut berantakan, wajah retak dan gorokan di lehernya tengah tersenyum lebar padaku, memamerkan giginya yang berlumuran darah sementara tangannya masih bertengger di wajahku.

Posturnya mirip dengan wanita yang sebelumnya menemaniku mengobrol. Sial, ternyata dia hantu!

Aku menendang pintu lift, terbuka dan aku lantas berlari keluar dengan kecepatan tinggi. Namun wanita tadi lebih cepat. Aku melayang di udara, berpapasan dengan rupanya yang mengerikan, lalu terhempas dan pingsan.

***

Aku bangun di rumah sakit. Menurut pak satpam yang sempat kembali ke kantor, ia menemukanku tergeletak di depan resepsionis. Ia lalu memulai sesi tanya jawab begitu aku membuka mata.

"Mas ketemu Mbak Monik ya?"

Aku mengerutkan dahi. Monik? Siapa?

"Hantu yang ketemu di lift, mas."

"Bapak tahu?" Tanyaku kaget. Masih shock jika mengingat-ingat apa yang terjadi sebelumnya.

"Tau mas. Saya pertama kali kerja di sana, sering digangguin kalo pulang malam. Tapi seiring waktu, dia sudah nggak gangguin saya lagi. Dia memang gitu kalau ada karyawan baru. Mas ini, pasti anak baru ya?"

Aku mengangguk mengiyakan. Pak satpam itu melanjutkan ceritanya.

"Mbak Monik itu dulu orangnya baik, cantik. Dia kerja di perusahaan ini demi anaknya, walaupun gaji yang diberikan bos lumayan kecil.

"Suatu hari, dia minta kenaikan gaji. Tapi si bos nggak ngasih. Malah mencaci Mbak Monik, katanya kerja nggak becus. Mbak Monik lalu lembur. Tapi sebenarnya, niat lembur itu juga untuk memikirkan cara supaya Pak Widodo mau menaikkan gajinya.

"Tapi percuma, Pak Widodo nggak memberi kenaikan gaji. Mbak Monik emosi, lalu membunuh Pak Widodo setelah itu dia bunuh diri. Dia gantung diri menggunakan kabel, tepat di lantai 7."

Aku membisu. Prihatin, namun juga merinding. Mbak Monik yang awalnya sabar, ternyata ujung-ujungnya membunuh bosnya sendiri.

"Mbak Monik ini lebih sering gangguin yang cowok." Lanjut pak satpam. "Menurut pendapat para wanita, dia begitu karena dia mau nyari ayah buat anaknya."

"Mbak Monik ini, single parent?" Tanyaku. Pak satpam mengangguk.

Kami lalu terdiam. Aku memejamkan mata sejenak, berdoa semoga Mbak Monik bisa tenang di alam yang seharusnya ia tempati.

Namun doaku seperti tidak dikabulkan ketika pak satpam mengguncang lenganku. Raut wajahnya terlihat khawatir.

"Kenapa pak?"

Beliau tidak menjawab, menunjuk ke arah gorden kamar.

Mbak Monik, gigi berlumuran darahnya menyapa pandanganku.

"Kayaknya dia suka sama mas."

Ghost StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang