61. Pulang Kampung

86 21 1
                                    

"Diaz jadi pulang ma?" Tanya Diza seraya memasukkan lagi potongan mangga ke dalam mulut anaknya.

"Iya, kemaren udah telpon. Tahun ini dia lebaran sama kita."

"Akhirnya. Dua tahun lebaran sepi juga kalau dia nggak ada."

Diaz dan Diza, sepasang anak kembar yang kini sudah merantau jauh dari orangtuanya. Namun tahun sebelumnya Diaz tidak merayakan lebaran bersama karena mengemban tugas negara sebagai seorang polisi. Sedangkan Diza yang sudah berkeluarga melakukan tradisi lebaran warga Indonesia, pulang kampung.

Diaz yang bekerja di luar provinsi memberi kabar bahwa ia akan datang sekitar sore hari.

Namun sampai maghrib ini sosoknya tidak juga datang dan menyapa keluarganya.

"Yaz, dimana? Macet ya?" Tanya Diza ketika panggilannya tersambung dengan Diaz.

"Iya nih, tadi aja sampe ketahan dua jam di jalan tol. Bener-bener padet, mungkin sampenya pas malem."

"Yaudah, semoga lancar ya. Telpon lagi kalo udah deket."

"Iya Diz, yaudah ya." Panggilan ditutup. Diza pasrah, menunggu lagi kedatangan saudaranya. Ia memutuskan untuk menidurkan anaknya terlebih dahulu karena jam sudah menunjukkan pukul 8 malam.

"Sarah, ayo tidur nak." Ajak sang mama, bocah yang masih duduk di bangku TK itu menyanggupi.

Tengah malam, Diza terbangun. Didapatinya sosok Sarah tengah mengguncang tubuhnya dengan wajah yang masih mengantuk. Sepertinya Diza ikut ketiduran jam 8 tadi.

"Kenapa nak?" Tanya Diza.

"Mau pipis ma. Temenin."

"Yuk." Diza bangkit, menggandeng tangan Sarah menuju toilet yang letaknya jauh dari rumah.

Di rumah mereka yang tergolong kecil, toilet dengan rumahnya memiliki lahan yang terpisah. Karena rumahnya terletak di ujung, maka toilet mereka agak menjorok lagi ke dalam kebun. Terdapat sebuah jalan kecil menuju ke sana yang penerangannya minim, sehingga untuk berjalan ke sana perlu berhati-hati.

Diza memimpin jalan. Ia baru saja hendak memasuki kawasan kebun yang gelap ketika matanya menangkap siluet pria yang berdiri di tengah jalan.

Sosok tinggi, tegap yang sedikit berotot. Rambutnya agak botak dan samar-samar, ia melihat seragam polisi yang melekat pada tubuh lelaki itu.

"Diaz?" Nama itu sontak terlintas di otak Diza. "Udah sampe? Kapan?"

Sosok itu tidak merespon.

"Yaz?" Diza mencoba mendekat.

Plok!

Diza menoleh kaget pada sosok yang menepuk bahunya. Sosok familiar yang sudah lama tidak ia lihat kini berada di depannya. Ini Diaz, terus yang tadi?

Diza menoleh lagi ke depan, siluet itu sudah tidak ada. Ia mengerutkan dahi heran, jelas-jelas tadi ia melihat Diaz di dalam kebun.

"Mau kemana?" Lelaki itu bertanya.

"Eh iya, mau nganterin Sarah." Diza buru-buru menuju toilet. Diaz mengikutinya di belakang. Setelah mereka selesai, Sarah kembali tidur dan Diza mengobrol dengan Diaz di ruang tamu.

"Baru sampe Yaz?"

"Iya Diz, macet parah. Oh iya, tadi kamu ngapain manggil-manggil nggak jelas?"

"Itu Yaz, tadi pas aku mau nganterin Sarah kaya ada yang berdiri di tengah jalan. Aku kira itu kamu soalnya posturnya persis. Tapi pas aku mau samperin malah kamu di belakang aku."

"Hayoo, itu siapa.."

"Hus, apaan sih!" Diza menepuk pelan bahu adiknya. Dia tidak suka jika setiap peristiwanya disangkutpautkan dengan yang namanya 'makhluk halus.'

"Bercanda Diz." Diaz melepas jaket yang ia kenakan. Diza melihatnya, Diaz hanya mengenakan sebuah kaus oblong dengan celana panjang.

"Loh, kamu nggak pake seragam?" Tanyanya.

"Masa aku mudik pake seragam Diz? Ya pake baju bebas lah." Balas Diaz.

"Serius?"

"Iya, emang kenapa?"

"Tadi aku lihat orang di tengah jalan itu pake baju polisi."

"Baju seragam itu ya buat kerja." Keduanya tenggelam dalam hening, sebelum Diaz bersuara kembali.

"Eh, kamu inget gak Pak Herman yang dulu tinggalnya di deket kebun situ? Dia kan dulu juga polisi, sebelum akhirnya dia meninggal karena diracunin anaknya yang gila warisan."

Ghost StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang