50. Tengkorak Hidup

123 20 3
                                    

Warning! Long chapter
***

Hari ini mata kuliahku full berada di laboratorium. Sebagai mahasiswa kedokteran, sudah biasa bagiku untuk bolak-balik dari ruang kelas ke laboratorium.

"Eh, Riko." Aku menoleh ke belakang dan mendapati sosok teman sekelasku, Diana. "Boleh tuker tempat nggak? Serem di pojok sini."

Aku menerawang tempat di sekitar daerahnya. Memang seram sih, apalagi di sampingnya ada seperangkat tengkorak dan rangka manusia. Baiklah, sepertinya aku juga harus mengalah pada perempuan sebagai seorang lelaki.

Aku pun menempati posisi Diana, menatap si tengkorak sebagai salam pertemuan.

"Lu nyeremin, tau gak." Aku iseng menoyor kepalanya, menyebabkan posisinya sedikit bergeser dari tempatnya semula. Setelah itu, dosen masuk dan pelajaran dimulai.

***

Selepas kuliah, aku masih berdiam diri di tempatku. Masih ada kerja kelompok yang dari kemarin belum sempat kukerjakan bersama yang lain.

Kelompok kami yang berjumlah 5 orang berkumpul mengelilingi mejaku. Ada Yudha, Diana, Karin, Hana, dan aku, Riko. Sementara yang cewek-cewek mengedit tugas, aku dan Yudha hanya diam memandang si patung dengan datar.

"Eh, kalian percaya gak sih, tengkorak ini bisa hidup di malam hari?" Celetuk Yudha.

"Emang ada cerita begituan?" Tanya Hana.

"Banyak elah di sosmed, viral malah. Ada tengkorak yang gerak-gerak sendiri waktu nggak ada siapapun di lab. Terus torso manusia yang itu," Yudha menunjuk sebuah torso manusia yang lengkap dengan organnya untuk pembelajaran. "Ususnya ada yang bercecer sampe ke lantai."

"Halah, itu mah cuma bohongan. Mungkin yang ngirim video cuma mau terkenal sampe bikin rekaman CCTV palsu."

"Bayangin coba, kita di sini dan tengkoraknya gerak sendiri." Yudha tersenyum licik.

"Apaan si Yud, jangan gitu dong! Lagian udah maghrib ini!" Sentak Karin.

"Makanya, buruan selesain nih tugas." Diana menyadarkan kami untuk kembali mengerjakan tugas.

Tiba-tiba, aku merasa pundakku disentuh. Aku menoleh pada Karin yang duduk di sampingku. "Kenapa, Rin?"

"Hah?" Cewek itu terlihat bingung.

"Barusan lu megang gue, kan?"

"Enggak kok, orang gue daritadi nulis. Ya kan, Di?" Karin meminta kesaksian pada Diana, yang disahut anggukan dari yang bersangkutan. "Emangnya siapa yang-- AAAAAAWWWW!!!"

Kami semua terperanjat mendapati Karin yang menjerit. Aku menatap ke atas kepalanya. Ada sebuah tangan tanpa daging yang menjambak ubun-ubunnya, menariknya dengan keras. Tak heran hal itu dapat membuat Karin menjerit. Aku mengalihkan pandangan pada lengan yang menyatu dengan jari-jari yang hanya merupakan serangkaian tulang tadi. Dan aku langsung terjatuh dari kursi.

Pelakunya adalah si tengkorak.

"AAAAAAAAAAAAAA!!!" Hana dan Diana menjerit dan berlari ke tempat lain. Sementara aku dan Yudha spontan menolong Karin.

"TOLONGIN GUE!!" Karin histeris.

"Ini juga lagi ditolongin!" Yudha dengan keras memukul lengan si tengkorak, menjadikan jari-jari tangannya terpisah dengan lengan dan jatuh ke tanah.

Hal yang selanjutnya terjadi membuat ketakutan kami bertambah. Pintu lab tiba-tiba saja tertutup, Hana yang menggedornya tetap saja tidak bergeming. Angin kencang datang, berhembus memasuki ruangan.

Tengkorak itu hidup. Ia berjalan sempoyongan dari etalase kaca yang merangkapnya. Dan ketika tubuhnya sudah berdiri normal, ia mengejar kami semua. Tidak ada pilihan lain selain menghindar darinya karena seluruh akses keluar terkunci.

Tidak hanya tengkorak yang ikut hidup senja itu, torso manusia pun ikut meramaikan keadaan. Ia berjalan walau tanpa kaki dan tangan yang lengkap. Satu di antara mereka bahkan ada yang merayap.

Mereka menangkap Yudha dengan usunya yang panjang. Usus itu menjerat kaki dan tangan Yudha sehingga ia tidak bisa bergerak. Benda kenyal nan panjang itu mulai naik ke atas. Mereka menjerat leher Yudha dan membuatnya tidak bisa bernapas!

Yudha akhirnya mati. Hana, Diana dan Karin menangis. Sepertinya, aku akan diliputi perasaan menyesal seumur hidupku. Karena saat ekor mata Yudha melirikku untuk meminta pertolongan, entah kenapa aku tidak bisa bergerak mendekatinya.

PRANG! Suara barang pecah itu mengalihkan perhatianku lagi. Asalnya dari dalam ruangan penyimpanan yang terbuka. Aku mencoba mengingat apa yang kira-kira menyebabkan suara pecahan itu. Pasti sesuatu yang berada di dalam toples. Ah... iya.

Aku baru ingat. Kampus kami memiliki janin beku.

"KYAAAAAAA!!!" Diana menjerit histeris. Sosok janin beku yang sangat kecil dan kuning, dengan tali pusar yang masih mengelewer, mendarat di atas kepalanya. Diana melompat-lompat, sesekali mengusek kepalanya agar janin hidup itu pergi.

"PERGI!!" Diana yang jijik langsung melempar janin itu ke sembarang arah. Ia masih melompat-lompat karena shock, dan keteledorannya itu membuat ia terantuk dinding lab dan pingsan. Atau mati karena kepalanya mengeluarkan darah segar.

Selanjutnya, giliran Karin. Janin beku yang dilempar Diana mendarat di kepala Karin. Gadis itu langsung heboh tak kira-kira. Namun ia tidak diberi kesempatan melawan.

Janin beku yang masih kecil dan menjijikkan itu menangis seperti bayi pada umumnya. Suara tangisannya membuat seisi ruangan merasa menderita. Termasuk diriku yang menutup telinga saking sakitnya suara tangisan yang berkumpul di rongga telingaku. Darah mulai keluar dari telinga Karin. Ia menangis kencang sebagai tanda minta tolong.

Aku tidak boleh membiarkan diriku terdiam seperti aku gagal menyelamatkan Yudha.

Kuraih penggaris panjang yang terletak di meja dosen. Sambil berusaha menahan rasa sakit di telinga, aku mendekati Karin. Rasa bersalah segera menyelimuti diriku ketika aku memukul Janin tersebut hingga menubruk dinding dan tidak berdaya. Bagaimana tidak, ia sudah dibuang orangtuanya dan diserahkan pada pihak berwajib. Sekarang, aku menyakitinya yang jelas-jelas tidak berdosa. Tanpa kusadari, aku menangis.

Aku menjatuhkan penggaris dan berlari, melewati mayat-mayat temanku. Aku tidak tega, bahkan aku meminta maaf saat menabrak lengan Hana yang ikut mati setelah melawan tengkorak.

Aku mendobrak pintu sekuat yang kubisa. Pintu lab terbuka, dan aku langsung berlari sekencang-kencangnya. Aku benar-benar menangis sekarang. Sungguh pengecut diriku, yang hanya bisa melihat teman-temanku berjuang sendiri mempertahankan nyawa tanpa membantu mereka.

Napasku sesak dan aku berkeringat banyak. Air mataku mengering di sudut mata walau peluhku menghiasi wajahku. Namun aku merasa bebas. Aku selamat.

Sampai suara retakan tulang terdengar di telingaku.

Ghost StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang