Jika mengikuti ekstrakurikuler sudah menjadi alur jika adik kelas di kemudian hari akan menggantikan posisi kakak kelasnya.
Termasuk dalam ekstra band SMA Jayapura, para pendatang baru dari kelas 10 diberikan tugas untuk membentuk kelompok dan menampilkan sebuah lagu sebagai seleksi.
Winda masih berdiri di belakang keyboard. Menekan satu tuts ke tuts yang lain, mencatat berbagai harmoni dalam secarik kertas. Sehingga saat latihan besok ia sudah mengerti nada apa yang harus ia mainkan.
"Dek, nggak pulang?" Tanya seorang kakak kelas. "Kan udah boleh bubar."
"Iya kak, sebentar."
"Yaudah, kalo gitu kamu kunci pintu, bisa? Cuma tinggal nekan gemboknya di pintu."
"Oke kak, hati-hati pulangnya." Winda melambaikan tangan pada seorang perempuan yang merupakan seniornya.
Kembali berkutat dengan alat musik yang lihai ia mainkan, Winda akhirnya merasa lapar. Waktu sudah menunjukkan pukul 6 sore, dan ia tidak menyadari bahwa saat ini sudah maghrib.
Namun karena tubuhnya memberi kode untuk melakukan panggilan alam, ia memutuskan untuk pergi ke toilet terlebih dahulu.
Begitu kembali lagi ke ruang musik untuk mengunci pintu, telinganya samar-samar mendengar suara tuts piano yang dimainkan.
Winda memutar otak, siapa yang masih ada di sekolah jam segini dan siapa dia yang jago memainkan keyboard?
Winda melongok ke dalam. Seorang perempuan, mengenakan seragam yang sama dengannya.
Perempuan itu menengok ke arahnya. Ia tersenyum, manis sekali. Kemudian ia berdiri, menyapa Winda.
"Hai, kok belum pulang?"
"Ini mau pulang kok, kak." Ucap Winda, berasumsi bahwa gadis ini adalah kakak kelasnya. "Kakak belum pulang juga?"
"Habis rapat organisasi, dek. Aku kira belum pada pulang karena pintunya nggak dikunci. Oh iya, namaku Ivana."
"Winda." Mereka saling berjabat tangan.
"Kamu kalau mau pulang gapapa, nanti kukunciin pintunya. Aku masih mau disini." Lanjutnya.
"Berani kak? Udah maghrib loh." Balas Winda meragukan.
Kakak itu tertawa. "Hahaha, santai! Nggak ada apa-apa!"
"Yaudah kak, makasih ya. Duluan." Winda dan kakak tadi saling melambaikan tangan.
Esoknya, seluruh anak ekstra band dipanggil oleh sang ketua.
"Siapa yang pulang terakhir kemarin?" Tanyanya dengan suara yang tidak bisa dibilang santai. Namun tidak ada yang menjawab.
"Dua orang terakhir yang pulang?"
"Sa-saya kak." Winda mengangkat tangannya takut-takut.
"Kamu lupa ngunci pintu atau apa? Nanti kalau ada alat musik yang dicuri gimana?"
"Kemarin yang ngunci bukan saya kak."
"Terus siapa? Kemarin kamu pulang sama siapa?"
"Ada kakak kelas lagi, namanya Kak Ivana."
"Ivana?" Lelaki siswa tingkat akhir itu mengerutkan dahi.
"Iya. Orangnya tinggi, rambutnya dikepang, terus kayaknya dia main keyboard kak."
"Ivana, yang seangkatan kita?" Sang ketua menatap teman satu tingkatnya.
"Dia.. bukannya udah meninggal ya?"
Winda melebarkan mata, tidak terkecuali anak-anak lain. Para kakak kelas terlihat tegang.
Seorang anak lelaki lain kemudian menyahut. "Tahun lalu, di ruang musik. Kepalanya dipukul pake gitar listrik sampe ancur sama pacarnya, karena nggak mau minjemin uang sejuta."
Sekelebat bayangan lewat di belakang sang ketua, yang berhadapan dengan Winda. Gadis anak sekolah itu melihatnya.
Perempuan yang melayang, dengan seragam sekolah penuh darah, dan wajah yang tidak terbentuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ghost Stories
HorrorSelf-made creepy stories. Language : Bahasa *** Tenang aja, selama lu gak bisa ngeliat, gak bakalan ada sosok gaib yang ikut baca cerita ini di belakang lu. Tapi hati-hati aja, mungkin lu gak bakal berani meremin mata waktu keramas.