34

104 9 0
                                    

Mungkin lebih baik tidak ada kata pulang.

**

Saras duduk di tepi ranjang sambil menatap layar ponselnya dengan nanar. Ribuan prasangka mengendap di kepalanya. Siapa gadis ini? Siapa yang kini telah berhasil mengusir dirinya di hati Rayhan?

Lewat snapgram di akun Rayhan, semua itu seakan menjadi jawaban telak atas semua ketakutan yang ia punya. Ingin sekali ia berprasangka baik mengira bahwa gadis itu saudaranya. Tapi, ketika ia membuka akun yang ditandai di sana prasangka baik itu menguap begitu saja.

Saras bisa melihat postingan terakhir gadis itu adalah potret tubuh Rayhan yang sedang menikmati air yang begitu jernih, pemandangan yang begitu memikat. Ia bisa melihat sebagian sisi wajah Rayhan yang terlihat begitu manis karena terkena siratan air.

Hatinya kian remuk ketika melihat pesan pada postingan itu. Lovely one ❤. Adakah perempuan yang akan baik-baik saja jika seperti ini?

Saras beralih pada pesan yang masuk beberapa waktu lalu atas nama Rayhan. Ia semakin enggan untuk membukanya, tapi jemarinya telah dibius sang hati untuk mengetahui isinya.

Kini Saras berada dalam kondisi bimbang. Mana yang harus dipercayainya? Semuanya tampak sama-sama nyata untuk dibilang khayalan semata.

To : Rayhan A.
Sepertinya kamu begitu bahagia.
Bila kamu masih enggan pulang, nanti saja. Aku bisa melihat rumah barumu begitu indah.

Jangan menunggu aku, Ray! Apalagi mencariku. Aku pun sepertinya perlu menghilang juga.
Setelah aku lulus nanti, akan kuberi kabar padamu. Karena mustahil mungkin untuk kita bertemu.

✈✈

"Fin, gue harus pulang secepatnya!" Tegas Saras sambil menahan air matanya.

"Berani sendirian?"

"Ya enggaklah! Aku baru berapa hari di Jawa Timur? Tega banget sih!"

"Tapi aku masih ada urusan sama Alya. Ayolah, Ras."

"Kalau ilang gimana?"

"Nggak bakal ada yang nyariin,"

Saras sontak memukul lengan atas Arifin. "Tega banget, sih?"

"Ya daripada berharap banyak."
"Emang kenapa, sih, buru-buru banget. Masih pagi juga." Keluh Arifin.

"Gue udah nggak bawa baju ganti, Arifin!" Tegas Saras dengan nada frustasi.

"Cuman itu?"

"Cuman?" Saras mengeram kesal. "Pokoknya pulang, Fin."

"Jangan kaya bocah!" Arifin pun ikut kesal.

"Fin, aku balik dhisek, yo?" Suara Adit memotong percakapan mereka pagi itu. Adit sudah siap dengan tasnya.

"Lha ngopo, Mas?"

"Ada masalah di Surabaya. Harus segera diselesaikan." Jawab Adit. "Aku udah ngasih tau Alya."

"Mas, sekalian sama Saras, ya? Dia udah ngebet pengen balik ke Surabaya. Nggak papa, kan?"

Saras ingin mengumpat, tapi tak bisa. Sulit rasanya.

"Ya, kalau mau boleh aja. Tapi, sebentar lagi-"

"Iya, aku mau." Potong Saras segera. "Aku ambil tas sebentar." Lanjutnya. Saras langsung berlari menuju kamarnya untuk mengambil tas dan barang-barangnya.

✈✈

Saras duduk di dekat jendela sambil memperhatikan jalanan yang mulai ramai mengingat ini adalah akhir pekan. Tanpa ia sadari, perlahan air matanya jatuh ketika mengingat Rayhan.

Isakannya semakin menjadi ketika setiap kenangan antara mereka kembali teringat.

Adit yang duduk di sebelah Saras, memperhatikan lamat-lamat gadis yang sedang terisak itu. Ia ingin sekali memintanya untuk diam, tapi takut menyakiti hatinya.

"Koe- kamu kenapa?" Tanya Adit takut.

Saras tak menjawab, isakannya justru terdengar semakin kuat.

"Eh, ngomong dong. Jangan nangis gini. Malu." Bujuk Adit.

Tiba-tiba, Saras bergerak mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Ia mengambil sebuah buku sketsa, lalu menyobek halamannya. Ia meremas kertas itu hingga membentuk bulatan kasar. Saras melemparnya ke bangku Adit.

"Kenapa laki-laki gampang banget buat bikin perempuan patah hati?" Tanya Saras di antara isakannya.

Adit ingin bergerak mendekat. Sempat ragu, sampai akhirnya ia mendekat, lalu membiarkan kepala Saras bersandar di bahunya.

"Kenapa, sih, Mas, laki-laki itu suka bikin perempuan patah hati?" Tanya Saras yang kini terdengar tertuju pada Adit.

Adit tak menjawab. Ia takut semakin menyakiti hati Saras.

Perlahan, Saras mulai tenang. Air matanya mulai berhenti mengalir. Ia menjauhkan dirinya dari Adit. "Maaf, Mas." Ucap Saras dengan canggung.

"Maaf juga," jawab Adit. Setelah itu, tak ada lagi pembicaraan di antara mereka hingga sampai di Surabaya.

Adit menatap Saras yang tertidur bersandar di jendela bus. Ia ragu untuk membangunkan Saras, tapi sebentar lagi, bus akan menepi ke terminal.

Adit pun menepuk pelan lengan Saras. Sayangnya tak ada respon. Ia pun mengulanginya dengan lebih keras, Saras hanya menggeliat kecil. "Sa-ras?" Panggil Adit ragu, ia tak yakin itulah namanya.

"Hei, bangun!" Bisik Adit.

Perlahan, Adit bisa melihat Saras mulai membuka mata dan akhirnya terbangun. "Udah sampai, Mas?" Tanya Saras.

"Sebentar lagi."

✈✈

Saras baru saja turun dari angkot, lalu melangkah menuju rumah neneknya. Ia pulang sendiri karena Adit tak menawarkan untuk mengantarnya pulang.

"Lho, Saras? Kok sudah balik duluan?" Tanya Nirbita yang menyambut kepulangan Saras.

"Iya, bulek. Saras nggak bawa baju banyak."

"Oh, iya. Ada paket dari kakakmu. Bulek taruh di kamarmu tadi."

"Terimakasih, bulek. Kalau gitu, Saras masuk dulu."

Saras pun melangkah masuk ke kamarnya untuk melihat apa yang dikirim Pram untuknya.

Sebuah kardus yang berukuran cukup besar tergeletak di atas ranjangnya. Saras pun melepas tasnya untuk segera membuka isi paket tersebut.

Cello kesayangannya adalah isi dari paket tersebut. Ia nyaris lupa bahwa selama ini ia pernah jatuh cinta pada alat musik itu, hingga mengorbankan banyak waktunya untuk bermain cello.

Saras meraih bow dari dalam kardus. Ia sangat rindu. Sangat rindu menggesek menggunakan alat itu. Di ujung bow itu ada sebuah note yang ditempel, ia pun meraihnya.

Kakak tau, jiwamu bukan menggambar ataupun melukis. Jiwamu yang tertinggal di Jakarta, sudah kakak antar untukmu. Jangan berhenti bermain cello. Setidaknya demi kakak.

✈✈

Ketika jarak saling menghancurkan...
🌼🌼

RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang