Maaf.
**
Pagi ini, Saras sengaja datang untuk menjadi pasien Pram. Ia yakin akan sangat perlu bantuan psikologis sebelum melakukan penerbangan ke Banjarmasin.
Usai menemui Pram, Saras langsung menuju rumah dinas Ayahnya guna memastikan rekan ayahnya yang akan menjemputnya nanti.
Hari ini adalah hari terpanik bagi Saras. Ia harus bisa meredam ketakutannya untuk penerbangan hari esok. Menurut kabar yang Saras terima, Rayhan akan akan terbang dari Semarang ke Surabaya untuk melanjutkan penerbangan ke Banjarmasin.
✈✈
Pagi ini, Saras menatap ke luar jendela kamarnya. Hujan masih turun cukup lebat di Surabaya. Ia berharap-harap cemas supaya penerbangannya nanti akan berjalan lancar.
"Ras, nanti dianter Anita, ya." Ucap Pram dari ambang pintu kamar Saras.
Saras hanya mengangguk.
Pram melangkah mendekati Saras. "Nggak usah takut. Berdoa aja semoga nggak terjadi apa-apa." Bisik Pram. "Jangan lupa minum obatnya, ya?"
Saras mengangguk lagi.
"Kakak berangkat, ya. Jangan lupa doa!"
Saras tak menjawab. Pram pun berlalu untuk berangkat bekerja.
Pukul delapan, Saras dan Anita berangkat ke bandara Djuanda. Anita berusaha mencairkan suasana, tapi Saras terlalu tegang menghadapi penerbangannya. Apalagi, hujan belum juga reda.
"Nggak usah tegang gitu dong, Ras." Ucap Anita saat mobilnya mulai memasuki area parkir bandara.
"Waktu kecelakaan itu, hujan juga turun deras kaya gini, Mbak. Aku khawatir."
Anita tersenyum, "Banyakin doa aja, Ras."
Tapi, itu semua tak berhasil menenangkan Saras. Ia ingin pulang dan membatalkan penerbangannya. Jujur, ia sangat takut.
"Ras, mau turun nggak?" Tanya Anita.
"I-iya, mbak," Saras pun bergerak untuk keluar dari mobil.
✈✈
Usai check-in Saras duduk di ruang tunggu. Matanya menatap beberapa pesawat yang siap untuk lepas landas. Dilihatnya pula kesibukan di tengah landasan udara itu.
Tatapan matanya beralih pada arloji yang melingkar di tangan kirinya. Masih kurang lebih satu jam lagi, dan hujan pun belum menunjukkan akan berhenti.
Waktu berjalan begitu cepat bagi Saras. Tiba-tiba terdengar suara yang menginformasikan bahwa pesawatnya akan ditunda dalam waktu yang tidak diketahui karena cuaca buruk. Itu bukan menenangkan, tapi malah membuat Saras semakin khawatir.
"Saras,"
Saras terperanjat ketika mendengar seseorang memanggil namanya.
"Ray, kenapa pesawatnya delay?" Tanya Saras memastikan.
"Cuaca buruk. Nggak papa. Nggak usah khawatir." Jawab Rayhan.
"Aku nggak jadi berangkat aja, ya?"
"Kok gitu?"
"Aku takut, Ray. Aku takut kalau itu terjadi lagi-"
"Nggak usah mikir begituan." Potong Rayhan. "Kamu berdoa aja, ya? Saya pasti akan berusaha yang terbaik."
"Tapi, Ray-"
"Udah. Nggak papa." Rayhan menyentuh bahu Saras untuk menenangkannya.
Sunyi sejenak di antara mereka.
"Ray, Farida tau kalau aku ikut pesawat kamu?"
Rayhan sempat tersentak mendengar pertanyaan Saras. "Maybe yes, maybe no."
"Kok gitu?"
Rayhan tersenyum kecil, lalu meraih tangan Saras. "Farida udah meninggal, Ras." Jawab Rayhan dengan suara sedikit berbisik.
Saras terkejut. "Sori."
"Nggak papa."
Saras masih diam. Ia menyesal menanyakan hal itu pada Rayhan.
"Ras, sekarang, saya mau tanya sama kamu." Ucap Rayhan dengan serius. Saras pun ikut menyimak dengan serius.
"Masih adakah saya di hatimu?" Tanya Rayhan.
Saras tak berucap.
"Bisa kamu nerima saya lagi?"
"Maksud-nya?" Tanya Saras gugup. "Kamu mau balikan?"
Rayhan tersenyum, lalu mengangguk.
Saras tak bisa menyembunyikan rona merah di wajahnya. Tapi, ia pun tak bisa menerima Rayhan begitu saja, sekalipun masih ada rasa yang kuat untuk sosok Rayhan dalam hatinya.
"Saya percaya kamu masih punya rasa untuk saya." Ucap Rayhan.
"Tau darimana?"
"Kamu masih pakai kalung yang saya berikan,"
Saras otomatis menunduk melihat ke arah lehernya. Benar. Tanpa sadar, ia masih mengenakan kalung pemberian Rayhan. Ia pun makin salah tingkah.
"Jadi, gimana?"
"Aku nggak bisa jawab sekarang, Ray." Jawab Saras. Raut wajah Rayhan berubah kecewa. "Mungkin aku akan jawab setelah sampai di Banjarmasin nanti."
"Oke." Simpul Rayhan. "Kamu jangan kebanyakan khawatir, ya? Saya pergi dulu."
Saras mengangguk. Membiarkan Rayhan pergi.
✈✈
Pukul sebelas, pesawat komersial dari Surabaya menuju Banjarmasin itu lepas landas. Hujan telah berhenti meskipun awan masih berwarna gelap.
Sedangkan Saras, ia tak bisa menenangkan dirinya. Ia terus menatap ke luar jendela di mana awan-awan gelap ada di sekitarnya. Ia merasakan sesekali getaran-getaran kasar di badan pesawat. Ia pun merasa semakin tak nyaman.
Tangan Saras berkeringat dingin. Tubuhnya bergetar pelan. Kepalanya pusing. Ia terlalu ketakutan.
Sayangnya tak sampai di situ saja. Keadaan di dalam pesawat semakin mencekam. Goyangan-goyangan hebat mulai dirasakan. Kini, panik bukan hanya milik Saras, tapi semua penumpang dan awak pesawat.
Tak berselang lama, Saras melihat Rayhan keluar dari kokpit. Ia menjelaskan apa yang terjadi pada pesawat. Dan saat itu ketakutan semakin mencekam di dalam pesawat. Rayhan pun kembali berucap untuk menenangkan penumpang.
Diam-diam, Saras menangis. Ia tak mau kejadian serupa terjadi padanya. Ia takut semuanya terjadi lagi.
Saat Rayhan usai menjelaskan. Ia diam-diam menatap Saras, lalu berusaha tersenyum. "Maaf," bisiknya pelan. Rayhan pun melangkah kembali ke kokpit, ia tak tega melihat Saras yang menangis ketakutan.
11.10 Pesawat hilang kontak.
11.15 Pesawat jatuh di wilayah pesisir laut Kalimantan.
✈✈✈
Maaf :")
KAMU SEDANG MEMBACA
Rasa
Teen FictionBagi Rayhan, Saras adalah hujan yang turun di gurun yang panas. Bagi Saras, Rayhan adalah kekhawatiran yang tak ada habisnya. Dua dunia yang berbeda terpaksa disatukan oleh sebuah RASA. Akankah semua mimpi dan harapan mereka bisa terwujud bersama? W...