54

107 7 0
                                    

Semoga baik-baik saja.

**

Saras mengusap kasar wajahnya mendengar ucapan dosennya. "Terimakasih, Prof. Nanti saya usahakan ke sana."

Saras segera menutup sambungan ponselnya.

"Ah, gimana gue ke Banjarmasin coba?" Keluh Saras. Kabar buruk untuknya, karena dosen pembimbingnya sedang pulang kampung ke Banjarmasin. Kalau ingin mengejar skripsi, ia harus ke Banjarmasin untuk menyusul.

Saras menekan ponselnya untuk menghubungi Pram.

"Kak, Saras ke Banjarmasin, ya?" Tanya Saras saat Pram telah mengangkat sambungan teleponnya.

"Hah? Ngapain? Kamu jangan aneh-aneh, ya?"

"Dosen pembimbing aku pulang kampung. Aku mau nyusul biar skripsinya cepet kelar. Biar bisa wisuda sebelum kakak nikah."

"Kamu mau sama siapa? Kalau ada apa-apa gimana? Banjarmasin itu nggak sedekat Jakarta, bocah!"

"Iya tau. Makanya ini Saras minta izin."

"Nggak usah aja."

"Nggak usah gimana? Aku mau ke Banjarmasin."

"Berani sendiri?"

"Beranilah!"

"Naik pesawat sendiri, lho. Kakak nggak bisa ikut. Masih ada job."

Saras diam. Ia sampai lupa kalau Banjarmasin itu jauh dan jika tidak naik pesawat, ia harus naik kapal berhari-hari.

"Halo? Ras? Nanti kakak bilangin ke Ayah, ya? Siapa tau Ayah punya temen di sana, jadi bisa bantu kamu selama di sana."

"I-iya, kak. Makasih."

Setelah sambungan telepon Pram putus. Saras merenung mengingat ia harus naik pesawat sendiri ke Banjarmasin.

✈✈

Selama hampir satu jam, Saras berselancar di web untuk mencari tips tidak takut naik pesawat. Namun, semua itu masih kurang baginya.

Ia pun memutuskan untuk rehat sejenak. Tiba-tiba ia teringat akan sosok Rayhan yang kini telah menjadi seorang pilot. Mungkin jika ia menjadi penumpang pesawat Rayhan akan membuatnya tenang?

Saras membuka akun instagramnya bersiap untuk menghubungi Rayhan. Jari tangannya ragu untuk mengetikkan pesan atau lebih tepatnya untuk mengirim pesan.

Akhirnya ia pun mengirim pesannya. Setelah itu, ia langsung keluar dari akun instagramnya. Takut dengan respon yang akan diberikan oleh Rayhan.

Hari semakin malam, Saras masih sibuk berkutat dengan skripsi dan tugas-tugasnya. Yang lebih menyebalkan dari skripsinya adalah dosennya yang tidak mau bimbingan lewat telepon.

Saras menyerah. Ia membuka akun instagramnya untuk melihat jawaban Rayhan. Ya, ia meminta nomor telepon Rayhan untuk membicarakan sesuatu yang penting baginya.

Dengan ragu, Saras menekan tombol calling pada nomor Rayhan.

"Halo? Rayhan? Ini Saras." Ucap Saras dengan canggung.

"Halo. Iya, ada apa, Ras?"

"Kamu masih jadi pilot, kan?" Tanya Saras. Ia sadar itu adalah pertanyaan yang sangat bodoh. Secara, tidak mungkin Rayhan sudah pensiun jadi pilot kan?

Terdengar suara tawa Rayhan. "Iya, masih. Kok nanya gitu, ada apa?"

"Anu, itu, Ray. Ah gimana, ya? Emm," Saras bingung harus bicara darimana.

"Kenapa, sih?"

Saras menghela napas bersiap untuk bicara. "Kamu ada jadwal ke Banjarmasin ga? Kalau ada aku bareng dong,"
"Eh, maksdunya itu, aku naik pesawat yang kamu bawa gitu,"

"Em, saya belum tau. Emangnya kenapa?"

"Jadi gini," Saras menjeda kalimatnya. "Dosen pembimbing aku lagi ke Banjarmasin buat studi apa gitu, nah gue eh aku disuruh ke sana buat bimbingan, soalnya beliau nggak mau bimbingan lewat telepon."

"Terus hubungannya sama saya apa?"

"Kamu kan tau aku nggak berani naik pesawat." Keluh Saras. "Ya, mungkin dengan naik pesawat kamu aku lebih tenang karena aku kenal sama pilotnya, ehe." Saras terkekeh menjelaskan permasalahannya.

"Kalau aku nggak ada flight ke sana, kamu mau yang pilotnya temen saya nggak?"

"Eh? Nggak berani. Jangan! Aduh gimana?" Saras mengeluh bingung. "Kalau temen kamu kan sama aja aku nggak kenal." Jelas Saras.

"Tapi, kalau Surabaya-Banjarmasin kayaknya susah, deh."

"Yah." Saras menghela kecewa. "Ya, darimanapun lah. Yang penting sama kamu."
"Maksudnya kamu pilotnya gitu."

"Nanti, kalau kamu ada flight ke sana, kabarin aku, ya?"

"Ya, nanti saya kabari. Asalkan kamu jangan ganti nomor, ya?"

Oke. Saras merasa bahwa Rayhan sedang mengulik masalah yang pernah terjadi dulu kala.

"Ya, makasih, ya? Kalau bisa pesenin tiket sekalian, ya?"

"Kok gitu?"

"Biar nggak kehabisan gitu."

"Oke, oke. Ada lagi?"

"Em, agak aneh emang yang mau aku bilang, tapi daripada aku khawatir terus." Saras menghela pelan. "Nanti, pesawatnya jangan ngebut-ngebut, ya? Jangan tinggi-tinggi juga."

Rayhan terdengar tertawa di ujung sana. "Kamu ini ada-ada aja."

Sunyi muncul di antara mereka. Tak ada yang ingin menutup panggilan, pun tak ada yang ingin berucap lebih jauh.

"Ray, Bunda sama Kak Raisa apa kabar?" Tanya Saras untuk memecahkan keheningan.

"Baik, kok. Kamu nggak tanya kabar aku?"

Saras sedikit canggung mendengar ucapan Rayhan. "Oh, iya, kamu apa kabar?"

"Sedang ada sedikit masalah."

"Kenapa? Mau cerita?"

"Nanti saja. Nanti kalau kita ketemu sebelum terbang."

"Hm, oke. Aku tunggu."
"Udah, ya? Aku tutup. Jangan lupa kabarin aku!"

"Oke. Jangan ganti nomor, ya?"

"See ya,"

Saras menghela lega karena telah menyampaikan keinginannya. Ia berharap semoga semua akan baik-baik saja.

✈✈✈

RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang