Ini pernyataan menyerah yang ke berapa?
**
"Rayhan ke Surabaya, ya, Ras?" Tanya Pram yang baru saja pulang.
Saras terdiam sebentar. "Nggak tau." Elaknya.
"Tadi, kakak lihat seseorang miriiiip banget sama Rayhan di rumah sakit."
"Di rumah sakit? Kenapa?" Tanya Saras mendadak panik.
"Kurang tau, sih, tapi tadi masuk ke IGD. Kayaknya ada yang sakit terus dia nemenin gitu." Jawab Pram.
Saras hanya mengangguk, sambil memikirkan kemungkinan apa yang terjadi pada Rayhan.
"Oh, ya. Kakak mau ngomong sesuatu yang penting banget."
"Apa? Tanggal pernikahan Kak Pram?" Tanya Saras dengan nada tak antusias.
"Mungkin lebih penting dari itu."
"Maksudnya?"
"Setelah nikah, kakak akan kuliah S2 di Singapur."
"S2? Kakak kan udah lulus S2 di UI!" Protes Saras.
Pram mengangguk.
"Apa nggak cukup dengan nilai dan pencapaian kakak?" Tanya Saras dengan nada kesal.
"Biar kakak bisa buat klinik sendiri, Sar."
Saras berdecak kesal. "Terserah!"
Saras bangkit, lalu meninggalkan ruang tamu. "Saras mau pergi."
"Mau ke mana, Ras?" Tanya Pram.
Saras tak menjawab pertanyaan kakaknya, ia langsung keluar rumah sambil menggendong tas besar berisi celo. Kemudian, melangkah menuju motor untuk meninggalkan rumah.Kafe Cemara. Saras menghentikan motornya di sana. Ini ketiga kalinya ia tampil bermain celo untuk menghibur pengunjung kafe. Ia akan datang setiap hari Jum'at sore hingga menjelang pukul 7 malam. Ia memainkan setidaknya dua lagu sekali tampil.
Seperti sekarang, Saras duduk di stan kecil yang sengaja dibuat untuk panggung hiburan. Tangannya lembut menggesekkan bow-nya pada senar celo. Sesekali senyumnya merekah karena merasa puas dengan permainannya sendiri.
Usai memainkan lagu pertama, Saras disambut dengan tepuk tangan meriah. Ia pun bangkit untuk membungkuk memberi hormat tanda terimakasih. Ia tersenyum begitu puas.
Namun, sorot kebahagiaan Saras berubah begitu saja ketika melihat sepasang suami istri baru saja masuk melewati pintu utama kafe. Ada suatu hal yang kembali mengganggu dirinya.
Sepasang suami istri itu menggunakan seragam khas anggota TNI AL dan Jalasenastri. Ibu. Itulah yang saat ini diingat Saras.
Teriakan-teriakan masa kecilnya kembali memekakkan telinganya. Saras menutup telinganya berharap tak lagi mendengar suara teriakan dari memori masa lalunya. Sayangnya, itu masih terus berulang, sampai kepalanya terasa pening.
Saras bertekad untuk tetap menyelesaikan lagunya. Dengan gerakan tangan yang kaku, suara celonya pun tak seindah lagu pertama.
"Saras! Jangan kemari! Kamu-kamu- kamu harus selamat! Saras!"
"Ibu! Ibu! Ibu! Jangan pergi!"
"Kamu ke sana dulu! Ibu nanti menyusulmu!"
"Ibu, tolong! Saras tidak bisa berenang, bu. Tolong!"
Saras mengakhiri lagunya lebih cepat. Setelah itu, ia segera meninggalkan panggung sambil menutup kedua telinganya. Ia terus berjalan keluar dari kafe. Sampai di depan pintu, ia berjongkok, tak mampu lagi berdiri.
"Saras?"
Setelah suara itu, Saras tak lagi mendengar suara apapun.
✈✈
Arifin berusaha untuk menghubungi Pramudya, namun belum juga ada jawaban. Ia tak tau harus bagaimana melihat kondisi Saras yang kini terbaring lemah di brankar.
Arifin duduk di samping Saras yang terbaring lemah dengan selang infus di tangannya.
Tak lama, Saras mulai membuka matanya. "Arifin," panggil Saras.
"Akhirnya lo sadar juga. Lo kenapa, sih?" Tanya Arifin dengan nada khawatir.
"Ibu,"
Arifin diam. Ia hanya mengelus punggung tangan Saras yang terpasang selang infus.
"Ibu meninggal karena gue, Fin." Isak Saras.
Arifin menggenggam tangan Saras. "Ora. Semua itu sudah kehendak Tuhan. Lo nggak boleh nyalahin diri lo sendiri." Ucap Arifin. Lelaki itu tak tau mengapa Saras mendadak mengatakan hal seperti itu, karena setahunya, ibunda Saras sudah lama meninggal.
"Aku telepon Kak Pram dulu, ya?" Tanya Arifin lirih.
Saras mengangguk. Setelahnya, Arifin beranjak keluar dari IGD untuk menghubungi Pram.
Cukup lama Arifin berusaha menghubungi Pramudya mengingat Pram sudah punya jadwal rutin untuk berada di rumah sakit. Hampir satu jam barulah panggilan Arifin disambut oleh Pram.
Usainya, Arifin segera kembali ke IGD untuk menemani Saras sembari meunggu Pram datang.
"Saras, lo kenapa?!" Seru Arifin ketika melihat luka menganga di lengan bawah Saras, darah mengalir keluar dengan perlahan.
Arifin merampas kasar pisau buah di tangan kiri Saras, lalu mendekapnya erat. "Lo kenapa, sih?" Tanya Arifin bingung. Namun, Saras masih mematung, tak memberikan respon apapun.
"Ras?" Panggil Arifin.
"Gue nggak punya hati, ya?" Tanya Saras dengan nada dingin.
"Semua manusia itu punya hati, Ras."
"Tapi, gue biarin Ibu meninggal di hadapan gue tanpa bisa gue tolong, Fin. Masa iya, gue masih punya hati?" Nada suaranya masih dingin, tapi menusuk.
Arifin mendekap Saras lebih erat. Tangannya yang lain berusaha menekan tombol untuk memanggil perawat.
Tak lama, seorang perawat datang untuk mengobati luka sayatan di lengan Saras. Disusul dengan kedatangan Pram yang tergesa-gesa.
"Kamu nggak papa?" Tanya Pram yang melihat perban di tangan kanan Saras.
Saras tak menjawab. Ia masih menatap kosong kakaknya dan membiarkan Arifin terus mendekapnya.
Pram meraih tangan Saras. "Ras, dengar kakak." Ucap Pram sambil berusaha mencuri fokus Saras. "Lihat, kakak." Tambahnya.
"Kamu tidak pernah membunuh siapa pun. Ibu meninggal bukan karena kamu. Bukan kamu. Bukan Saras. Bukan Angreni kecil. Bukan." Tegas Pram.
"Ras, kamu dengar kan?" Tanya Pram memastikan.
Saras mengangguk dengan tatapan kosong.
"Bukan kamu. Bukan Saras. Bukan Angreni kecil." Tegas Pram lagi.
Tak lama setelah itu, Saras menangis kencang. Mengeluh semua tekanan yang ia bebankan sendiri pada dirinya.
Pram menggantikan Arifin untuk mendekap Saras. "Besuk kita mulai terapi untuk menghilangkan trauma kamu, ya?" Bisik Pram.
Saras masih menangis.
✈✈
KAMU SEDANG MEMBACA
Rasa
Teen FictionBagi Rayhan, Saras adalah hujan yang turun di gurun yang panas. Bagi Saras, Rayhan adalah kekhawatiran yang tak ada habisnya. Dua dunia yang berbeda terpaksa disatukan oleh sebuah RASA. Akankah semua mimpi dan harapan mereka bisa terwujud bersama? W...