50

106 6 0
                                    

Restu.

**

Rumah itu terlalu sepi untuk Saras. Ia sedang menatap kosong layar laptopnya yang sejak tadi disiapkannya untuk menyiapkan skripsi. Sesekali ia menghela karena teringat tentang Adit yang kini sudah tak bisa ditemuinya.

Tak berselang lama, suara pintu diketuk membuat Saras harus bangkit dari duduknya guna menerima tamunya. Ia melangkah tanpa semangat.

"Hai, Ras." Sapaan hangat itu membuat Saras tertegun. "Kamu sendirian?" Tanya Anita dengan lembut.

Dengan ragu, Saras mengangguk. "Kak Pram belum pulang." Jawab Saras. "Masuk, mbak!"

Saras segera merapikan buku-bukunya yang berceceran di meja ruang tamu. "Maaf, berantakan." Ucap Saras dengan canggung.

"Nggak papa. Kamu lagi skripsi, ya?" Tanya Anita. Saras mengangguk sambil tersenyum kecil.

Usai menata bukunya, Saras menyiapkan secangkir teh hangat untuk Anita, sebelum duduk menjamunya. "Ada perlu apa, Mbak?" Tanya Saras.

Anita tersenyum, meletakkan sebuah tas yang dibawanya ke meja. Wanita itu pun menatap Saras dengan teduh. "Mbak tau hubungan kamu dengan Adit sejak sebelum Mbak tunangan sama Pram, kakakmu." Mulai Anita.

Saras tak bisa berkata apapun. Ia hanya menatap wajah Anita yang begitu mirip dengan Adit.

"Mbak sengaja tidak bilang ke Pramudya tentang kalian, itu semua karena keinginan Adit sendiri. Sebenarnya, saya dan Pram tidak saling cinta, kami hanya mencoba untuk saling mengerti dan mengenal dengan baik. Andai orang tua kita tau tentang hubungan kalian, pasti kalian yang akan ditunangkan."

"Mbak tau kenapa Mas Adit ngelarang Mbak Anita buat bilang ke Kak Pram?"

Anita mengangguk. "Saya ini janda, meski usiaku masih begitu muda. Suami saya meninggal hampir tiga tahun lalu, saat usia pernikahan kami baru dua bulan. Dan saya ini pasien kakakmu."

"Pernikahan ini dimulai karena keinginan orang tua saya. Mereka khawatir jika saya terlalu larut dengan kematian suami saya. Jadi, mereka ingin saya menikah dengan Pram.

"Ya, Pram memang mudah sekali membuat orang jatuh cinta padanya. Dia terlalu ramah pada setiap orang. Masih muda, berprestasi, dan punya kepribadian baik. Bahkan tak jarang saya mendengar pasiennya selalu nyaman saat bersama dia."

Anita menghela napas. "Karena itu, Adit turut ingin mengusahakan kebahagiaan saya. Bahkan termasuk mengorbankan hubungannya denganmu." Tambah Anita.

"Mbak nggak bisa ngelakuin apa-apa buat Adit sekarang. Mbak cuman bisa ngasih tas ini ke kamu," ucap Anita sambil memukul kecil tas yang tadi diletakannya di meja.

"Memangnya ini apa, Mbak?"

"Sesuatu dari Adit yang belum bisa diberikan ke kamu."

Saras menatap tas itu. Ia takut jika isinya akan membuatnya semakin merasa sakit.

"Mbak pulang dulu, ya? Makasih kamu sudah mendengar cerita saya."

"Mbak, tunggu!"

Saras bergerak mendekati Anita yang sudah berdiri di depan pintu. Ia pun memeluk Anita dengan hangat. Cukup lama ia diam dalam pelukan wanita itu. "Maaf Saras sempat tidak menyukai Mbak Anita." Bisiknya.

✈✈

Saras tak bisa menahan air matanya ketika melihat sketsa yang ada dalam tas Adit. Sketsa itu adalah sketsa diri Rayhan, mirip dengan sketsa yang dibuatnya untuk Rayhan. Ia ingat saat pulang dari Malang, ia melempar lembar sketsanya pada Adit.

RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang