Bertemu lagi.
**
Siang itu, matahari bersinar terik, menambah penatnya kota Surabaya. Saras mengumpat kesal karena kemacetan di sekitar lampu merah.
Di tengah suasana riuh jalanan, ponsel Saras berdering nyaring di saku jaketnya. Ia pun segera meraihnya, dilihatnya nama Rayhan di panggilan masuk itu. Ia pun menepi.
"Halo?" Ucap Saras saat mengangkat panggilan.
"..."
"Gimana, Ray? Ga denger sumpah bising banget," keluh Saras.
"..."
"Nanti aja, ya? Aku baru perjalanan pulang. Nanti aku telepon balik," tanpa menunggu persetujuan Rayhan, Saras langsung mematikan sambungan teleponnya. Ia bergegas menyalakan motornya untuk pulang.
✈✈
Perjalanan yang seharusnya lima belas menit menjadi hampir tiga puluh menit. Saras langsung mengambil minuman dingin di kulkas untuk menghilangkan dahaga. Ia pun merangsek ke sofa ruang tamu
Tangan kirinya sibuk mengotak-atik ponsel untuk menghubungi nomor Rayhan, tapi tak segera panggilan itu diangkat.
"Eh?" Saras berseru terkejut. "Gue ada jadwal!" Serunya. Ia langsung bangkit untuk mandi dan bersiap menuju kafe biasanya ia bermain celo.
Saras harus kembali berkutat dengan ramainya Surabaya hari ini. Setelah cukup penat dengan ramainya kota, Saras pun akhirnya sampai di Kafe Cemara.
Karena belum terlambat, Saras mengecek ponselnya barang kali Rayhan memberi kabar. Dan benar, Rayhan memberi kabar bahwa lelaki itu sudah di Surabaya dan meminta untuk bertemu. Tanpa ragu, Saras mengirimkan alamat kafe Cemara pada Rayhan.
Usai menjawab pesan, tiba-tiba jantung Saras berdegup tak menentu. Mungkinkah ini untuk pertama kalinya Rayhan akan melihatnya tampil solo bermain celo? Akankah keinginan yang dipendamnya sejak SMA itu akan terwujud hari ini.
"Ras, mau tampil sekarang?" Tanya Mbak Ayu, pemilik kafe Cemara.
"Harus sekarang, ya, mbak?" Tanya Saras gugup.
"Kenapa, sih? Tumben kelihatan gugup banget."
"Ah, nggak papa kok, Mbak. Cuman agak capek aja soalnya jalanan ramai banget."
Ayu tersenyum. "Bagus, deh. Kamu bisa mulai sekarang."
Saras mengangguk. Ia pun melangkah ke podium untuk menyiapkan celonya.
Diam-diam, Saras berdoa agar Rayhan datang sebelum ia selesai bermain celo. Setidaknya biar lelaki itu sedikit mendengar permainannya. Ia pun sengaja memainkan lagu-lagu romantis hari ini.
Sepertinya semesta merestui doa Saras, di penghujung lagu pertama, Rayhan datang dengan seorang lelaki yang tak dikenalnya. Saras tersenyum simpul melihat lelaki yang diam-diam masih dicintainya.
Usai memainkan celo, Saras melangkah menuju meja Rayhan. Sebenarnya, Saras agak canggung karena ada rekan Rayhan di sana.
"Maaf, lama." Ucap Saras canggung.
"Nggak papa." Jawab Rayhan. "Kenalkan dia Radit." Ucap Rayhan.
Saras menatap rekan Rayhan itu. Ia menjabat tangannya untuk berkenalan.
"Ternyata cantik juga Saras yang selama ini lo omongin." Ucap Radit.
"Huh?" Saras terkejut. "Rayhan ngomongin apa?"
"Nggak ih!" Sangkal Rayhan sambil menyikut Radit.
"Iya bener. Gue kenal dia kan pas dia masih pacaran sama lo. Ya biasalah galaunya laki-laki."
Saras tertawa kecil.
"Tuh, kan. Senyum dikit aja sakit. Kalau lo nggak mau buat gue aja," goda Radit.
Rayhan kembali menyikut Radit seakan kesal dengan kelakuan temannya itu.
"Mau bicara apa, Ray?" Tanya Saras.
"Rayhan mau balikan." Sambar Radit.
"Woy!" Rayhan mendorong Radit dengan kesal. "Banyak omong lo!" Keluh Rayhan.
"Bunda apa kabar?"
"Baru berapa hari yang lalu kamu nanyain kabar bunda, sekarang tanya lagi?"
Saras diam. Ya menurutnya, hanya itu topik pembicaraannya.
"Saras bingung tu mau bicara apa," sela Radit.
"Mendingan lo pergi aja, deh!" Kekesalan Rayhan memuncak sekarang.
"Santuy. Gue diem, deh." Radit menyerah.
"Mau bicara apa, Ray?" Ulang Saras.
Rayhan menghela pelan. "Saya udah dapet jadwal ke Banjarmasin. Tapi, nggak dalam waktu yang dekat. Paling nggak tiga lagi, nggak papa?"
"Tiga hari? Itu cepet, Ray!" Keluh Saras.
"Ya, maksudnya gitu. Nggak papa?"
Saras mendadak panik. Ia tidak tau apakah bisa siap naik pesawat dalam waktu tiga hari.
"Ras?"
"Aduh, gimana, ya? Aku takut."
"Takut gimana?" Tanya Rayhan bingung.
"Takut nggak siap."
"Makanya disiapin dari sekarang."
Saras mengangguk pelan.
"Nanti, kalau ada kabar lagi saya hubungi lagi, ya?"
Saras mengangguk. "Jangan mepet-mepet, ya? Takutnya kehabisan tiket."
Kini giliran Rayhan mengangguk.
"Udah selesai? Pulang, yuk!" Ajak Radit.
"Kalau gitu aku duluan, ya?" Pamit Saras.
"Eh, tunggu!" Cegah Radit. "Dianterin Rayhan aja."
Rayhan memukul lengan Radit.
"Nggak usah. Aku bawa motor, kok."
"Biar Rayhan yang bonceng. Nanti aku ikutin dari belakang, gimana?" Tawar Radit tak gentar.
"Nggak usah. Ngerepotin."
"Kita nggak repot, kok. Kita kan juga mau jalan-jalan di Surabaya, ya, ga?" Radit menyikut lengan Rayhan.
Rayhan terpaksa mengangguk. "Biar saya antar. Udah malem juga."
Malam itu, Saras kembali duduk di jok belakang motor yang ditunggangi Rayhan. Rasanya semua itu sudah sangat lama, dan ini sangat menyenangkan baginya.
Sampai di rumah Saras, tak ada percakapan di antara mereka. Mungkin saling canggung satu sama lain atau mungkin saling mengulang kenangan yang pernah terjadi beberapa tahun lalu?
"Mau mampir dulu?" Tawar Saras.
"Bo-"
"Nggak usah." Potong Rayhan segera. "Kamu istirahat saja. Kita pulang dulu." Pamit Rayhan.
Saras tersenyum. "Terimakasih, ya. Kalian hati-hati."
Setelah itu, Rayhan dan Radit meninggalkan rumah Saras. Dan Saras hanya tersenyum malu mengingat kejadian tadi. Mungkin ini takdir yang telah disiapkan semesta untuknya.
✈✈✈
Menuju akhirkah ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Rasa
Teen FictionBagi Rayhan, Saras adalah hujan yang turun di gurun yang panas. Bagi Saras, Rayhan adalah kekhawatiran yang tak ada habisnya. Dua dunia yang berbeda terpaksa disatukan oleh sebuah RASA. Akankah semua mimpi dan harapan mereka bisa terwujud bersama? W...