"Move on itu bukan tentang melupakan tapi mengikhlaskan."
Itulah kalimat yang terus berputar di pikiran ku saat ini.
Terhitung sudah satu bulan belakangan ini aku menjauh dari Hafi. Menjauh dalam arti aku tidak pernah lagi berkomunikasi dengannya. Sebenarnya bukan kata menjauh yang tepat untuk mendeskripsikan tentang hubungan ku dengan Hafi saat ini. Tapi.. berjauhan. Itulah kata yang tepat untuk hubungan ku dengan Hafi saat ini.
Awalnya memang sangat sulit untuk menerima semua ini. Aku sudah terlanjur terbiasa dengan hubungan ku bersama Hafi. Yang biasanya kami selalu bertukar pesan di malam hari, yang biasanya Hafi sering menjahili atau bercanda gurau dengan ku di kelas. Dan kini semua itu hanya kenangan. Benar kata orang jika waktu akan terasa sangat cepat saat kita bahagia dan sebaliknya waktu akan terasa lama sekali jika kita sedang dalam keadaan sedih. Bukankah itu tidak adil?
Aku ingin sekali menyalahkan takdir dan nasib pada hidup ku ini. Tapi itu dulu, sebelum aku sadar jika semua yang terjadi pasti akan ada maksud yang Allah sisipkan untuk kita. Tinggal kita mencari tau nya lalu kita akan mengerti mengapa semua ini terjadi. Dan sekarang aku dalam proses mencari sisipan hikmah itu. Doakan aku ya, semoga dapat cepat menemukan hikmah di balik semua ini.
"Bil Lo gak mintain uang amal?" tanya Putri kepadaku.
Aku tergelak mendengar pertanyaan itu. Aku lupa jika harus melaksanakan tugas rutin ku ini di hari Jumat. Yaitu menagih uang amal kepada murid murid kelasku.
Aku menoleh ke arah Putri "Iya gue lupa. Yaudah gue tagihin dulu deh."
"Yaudah sana."
Aku buru buru berkeliling kelas untuk menagihkan uang amal dari teman teman kelasku ini. Mumpung kali ini guru ku sedang tidak masuk maka aku ada waktu menagihnya sebelum jam istirahat berbunyi. Bukan apa-apa, tapi jika aku menagih setelah istirahat maka ada saja alasan untuk murid murid ini tidak memberi uang amal.
Yah Bil uang gue udah abis tadi buat jajan.
Lo telat sih Bil nagihnya. Uang gue udah jadi makanan di dalam perut nih.
Bil Lo tega apa kalo nanti gue pulang jalan kaki. Bener bener sisa dua ribu nih buat naik angkot.
Enggak dulu deh Bil. Lain kali ya.
Dan lainnya masih banyak lagi.
Ya seperti itulah alasan alasan yang dikeluarkan oleh teman teman kelasku jika aku menagih uang amal setelah istirahat. Sebenarnya tidak menjamin juga jika menagih sebelum istirahat itu semua murid akan membayar amal. Tapi setidaknya tidak ada yang bisa menyalahkanku karena telat menagihnya.
"Semuanya. Siapin uang amal nya ya." ucapku.
Aku melihat beberapa murid yang mulai mencari cari uang yang akan mereka keluaran untuk amal. Tapi ada juga yang acuh, merasa seolah olah mereka tidak dengar apa yang aku katakan. Contohnya adalah Hafi dkk.
Huft. Cobaan cobaan.
Aku melenguh pasrah dalam hati. Inilah yang aku tidak suka saat menagih uang amal atau pun yang lainnya. Yaitu berurusan dengan Hafi dan teman temannya.
"Ada kembaliannya gak Bil?"
"Uangnya berapa?"
"Sepuluh ribu. Kembali tujuh ribu, ada gak?"
Aku melihat kantung amal yang ku pegang lalu merogoh selembar uang lima ribuan satu dan uang dua ribuan satu. Aku memberikannya kepada teman ku seperti barter dia memberikan uang sepuluh ribu kepadaku yang ku langsung masukkan ke dalam kantung amal.
KAMU SEDANG MEMBACA
HAFI & NABILA [REVISI]
Teen Fiction• Based on true story • Don't copy my story, please be creative. Happy reading. ------ Aku hanya seorang perempuan yang menyayangimu dalam diam,dalam pandangan,dan dalam doa. ---- Dia Hafi, laki-laki yang membuat hati ku jatuh dengan sikapnya yang t...