50. Tanpa Hafi (Tanpa Kita)

484 35 0
                                    

Jangan lupa untuk tekan tombol bintang nya dulu.

Jangan lupa follow aku.

Don't be a silent reader.

Selamat Membaca.

-----

Move On.

Bukan hanya tentang bagaimana melupakan tetapi bagimana mencoba untuk mengikhlaskan sesuatu yang tak bisa lagi dimiliki dan tak bisa lagi untuk bersama.

Kejadian dimana yang mengharuskan Nabila untuk mengikhlaskan semuanya, mulai dari ikhlas atas sikap Hafi yang berubah, ikhlas akan Hafi yang meninggalkannya, ikhlas akan Hafi yang memilih untuk bersama dengan mantannya kembali, serta ikhlas jika ia tidak berhubungan apapun lagi dengan cowok yang masih ia sayangi itu.

Tidak dipungkiri, jika ditanya hal tersulit apa yang pernah Nabila jalani dalam hidupnya hingga saat ini. Jawabannya adalah melupakan perasaannya kepada Hafi. Padahal cowok itu telah banyak menyakitinya, tetapi hati Nabila masih saja seolah tidak mengizinkan perasaan itu pergi.

Tepat di hari ini, sudah terhitung dua bulan baik Nabila maupun Hafi menjalankan hidup baru mereka, yaitu kehidupan tanpa ada hubungan antara keduanya. Bahkan mereka sekarang bagaikan kedua insan yang tak pernah bertemu bahkan saling kenal satu sama lain.

Keduanya pun menjalankan kehidupan mereka masing-masing dengan kegiatan nya masing-masing.

“Jadi bagaimana Nabila, kamu bersedia mengambil beasiswa ini?”

Pertanyaan itu datang dari seorang guru yang berperan sebagai wali kelas Nabila di sekolahnya. Wanita berhijab biru itu biasa dipanggil Bu Sri.

Kini Nabila sudah memasuki masa masa akhir sebagai murid semester lima, dan mulai bulan depan ia akan menjalankan berbagai ujian mau tidak mau, suka tidak suka, harus ia hadapi dan ia jalankan.

Nabila tampak berpikir untuk menjawab pertanyaan itu. “Saya gak bisa ninggalin keluarga saya, Bu.”

“Bukankah ini kesempatan yang sangat besar untuk kamu dan dengan mengambil beasiswa ini, kamu akan membanggakan keluarga kamu. Bukan begitu?” balas Bu Sri.

“Iya Ibu benar, baik Bu, nanti saya akan berbicara dengan keluarga saya dulu,” ucap Nabila.

Bu Sri tersenyum lega, setidaknya muridnya ini tidak kekeh menolak beasiswa yang didapatnya. “Baiklah kalau gitu, besok kamu bisa langsung menemui Ibu dan memberikan jawabannya. Ibu dan pihak sekolah sangat berharap kamu akan mengambil keputusan terbaik yaitu menerima beasiswa itu.”

“Insya Allah Bu, kalau begitu saya permisi balik ke kelas dulu ya, Bu. Assalamualaikum,” pamit Nabila.

“Iya silahkan, wa’alaikumussalam,” balas salam dari Bu Sri.

-----

“Terus gimana Bil, lo nolak gitu?”

“Emangnya gak sayang Bil?”

Setibanya Nabila di kelasnya, ia langsung menceritakan tentang beasiswa yang ia dapatkan dari sebuah universitas negeri kepada para sahabatnya.

“Gue belum ngambil keputusan untuk nolak sih, cuma gue mikir aja, Padang itu kan jauh, dan Mama sama Mbah gue juga gak mungkin bisa sering ke sana ngunjungin gue karena biaya nya pasti mahal banget kan,” jawab Nabila.

“Iya sih Bil, tapi kan ini kesempatan emas Bil. Lo itu dapet beasiswa Bil, please dong Bil, beasiswa itu impian semua orang. Kapan lagi lo bisa kuliah tanpa mengeluarkan uang sedikit pun, bahkan lo yang dapat uang?” ujar Salsa.

“Iya Sal lo bener, ini kesempatan emas buat gue, tapi kan lo tau sebenarnya tujuan gue setelah lulus ini tuh kerja, biar gue bisa ngurangin beban keluarga gue. Gue niat gap year ,” balas Nabila.

“Ngapain harus gap year , kalau pintu masuk kampus tuh udah ada di depan mata lo, Bil,” balas Salsa.

Nabila terdiam mendengar ucapan Salsa itu, semua yang dikatakan sahabatnya itu benar. Ini adalah kesempatannya, dan mungkin ini memang jalan dari Allah untuknya meraih impiannya selama ini.

“Lo mau meraih impian lo kan, Bil?” tanya Ira yang langsung diangguki oleh Nabila.

“Sebuah impian itu diraih dengan penuh pengorbanan, Bil. Dan mungkin meninggalkan keluarga lo itu menjadi salah satu pengorbanan lo untuk meraih impian lo ke depannya nanti,” lanjutnya.

Ira benar, pikir Nabila.

“Pokoknya lo bicarain dulu semuanya sama nyokap dan Mbah lu Bil, jangan salah ambil keputusan. Kita semua akan selalu dukung lu, inget itu,” ujar Ziya.

“Iya makasih ya, gue akan ngasih keputusan yang terbaik besok,” balas Nabila.

“Dan satu lagi, Bil,” ucap Ziya.

“Apa?” tanya Nabila.

“Buktiin ke Hafi, dia boleh aja nyakitin dan ninggalin lo karena lo yang mau mengejar impian lo, tetapi buat dia menyesal dengan lo berhasil menggapai impian lo itu,” jawabnya.

Buat Hafi menyesal? Batin Nabila.

Nabila menggelengkan kepalanya pertanda tak setuju dengan ucapan Ziya. “Dia udah memilih untuk meninggalkan gue dan semua ini gue lakuin bukan untuk membuat Hafi nyesel atau apapun itu, tetapi karena ini adalah impian gue dari awal. Lagipula mau gue nantinya sukses atau enggak, tapi kalau dia nya emang gak ada perasaan apa apa sama gue, dia gak akan sepeduli itu untuk tau semua tentang gue.”

“Jangan bilang lo masih sayang sama dia, Bil?” tebak Aulia.

“Dari awal pun gue udah bilang sama kalian, Hafi itu udah punya tempat sendiri di hati gue. Susah untuk menghapus hal itu, tapi kalian gak usah khawatir, walaupun gue masih sayang sama dia, gue akan tetap fokus pada tujuan gue. Gue cuma mau perasaan ini ada begitu aja, gak harus dipaksakan untuk menghilang, biarin semuanya berjalan hingga waktu yang menjawab nanti,” jawab Nabila.

Dua bulan tanpa Hafi tidak membuat Nabila patah semangat untuk mengejar impiannya. Mungkin memang di beberapa waktu ia merasa rindu dengan cowok itu, tetapi tidak ada yang bisa dilakukannya.

HAFI & NABILA [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang