46. MANTAN.

444 38 0
                                    

Sebelum membaca jangan lupa untuk tekan tombol bintang nya dulu.

Jangan lupa follow aku.

Don't be a silent reader.

Selamat Membaca.

-----

Mantan.

Satu kata yang membuat siapapun pasti langsung melihat masa lalu. Masa masa yang telah berlalu dan sudah terjadi. Banyak orang lebih memilih melupakan masa lalu nya, tetapi ada juga yang tetap mengingat nya.

Sebenarnya masa lalu itu tak perlu dilupakan, karena tanpa adanya masa lalu, tidak akan ada masa sekarang apalagi masa depan. Masa lalu hanya perlu dijadikan sebagai kenangan dan sebuah pelajaran untuk ke depannya.

Setiap orang pasti memiliki masa lalu, entah itu masa lalu yang menyenangkan ataupun menyakitkan. Lalu bagaimana dengan mantan? Apakah itu masa lalu yang menyenangkan atau menyakitkan? Pasti menyakitkan sih, karena jika tidak ada rasa sakit itu, maka tidak ada kata mantan.

Tetapi, mantan itu tak perlu dimusuhi, semua bisa menjadi teman, termasuk mantan sendiri. Seburuk apapun mantan, dia tetap orang yang pernah kita sayang dan mengisi hati kita di masa lalu.

Tetapi tidak ada juga yang namanya mantan terindah, karena jika indah lalu kenapa harus jadi mantan?

-----

Di puncak, malam hari 🌌 .

Hafi mengeratkan jaket yang ia kenakan itu, dinginnya angin malam seolah menusuk kulitnya. Cowok itu memang sengaja melimpir dari teman-temannya, karena ia berniat menghubungi pacarnya, Nabila.

Nabila. Berdering.

Lalu tidak menunggu waktu lama, panggilan itu dijawab oleh Nabila.

“Halo Bil.” Ucap Hafi.

Halo Fi, kamu baik-baik aja, Fi?” tanya Nabila dari sebrang sana.

“Saya baik-baik aja kok, kenapa emangnya?”

Gapapa, soalnya kamu offline daritadi.”

“Oh itu, maaf ya saya baru sempat buka hp, soalnya ya biasalah ngumpul-ngumpul sama semuanya, jadi gak sempet megang hp.”

Iya gapapa kok, yang penting kamu baik-baik aja. Btw Fi, kamu udah liat yang aku kirimin ke kamu kan?”

Hafi mengangguk walaupun itu tak bisa dilihat oleh Nabila “Saya udah duga sih kalau kamu bakal menang.”

Ya engga juga sih, soalnya kan siangannya banyak banget, lagipula Nabila gak dapet juara pertama.”

“Buat saya, kamu tetap yang jadi pemenangnya. Apalagi pemenang hati saya.”

Dih dasar gombal.”

Hafi tertawa kecil “Gapapa sama pacar sendiri ini.”

Iya iya.

“Kamu gak tidur? Kan abis lomba, capek”

Belum ngantuk, kamu sendiri sekarang lagi ngapain?”

“Lagi duduk aja.”

Sama dong, aku juga.”

“Gak nanya tuh.”

Kurang ajar emang.”

“Hehehehe, oh iya Bil, besok saya pulang pagi, jadi sorenya saya bisa jemput kamu. Nanti pas pulang sekolah, kita makan dulu yuk, sebagai ganti hari ini saya gak bisa nonton kamu lomba. Gimana?”

Hmm yaudah aku sih terserah aja. Besok juga gak ada apa apa kok di sekolah.”

“Oke bagus deh, yaudah kamu tidur gih, saya mau ke dalam nih, lama lama dingin banget di sini.”

Loh emangnya kamu lagi dimana?”

“Di teras. Udah dulu ya Bil, jangan tidur malem-malem. Assalamualaikum.”

Iya, wa’alaikumussalam.”

Setelah sambungan telepon berakhir, Hafi pun beranjak masuk ke dalam penginapan, tetapi di ambang pintu masuk, ia bertemu dengan Milla.

“Lagi ngapain Fi?” tanya Milla.

“Abis telpon pacar saya, terus sekarang mau masuk.” Jawab Hafi.

“Ohh abis teleponan, gak mau di sini dulu ngobrol-ngobrol, gitu?” tawar Milla.

“Mau ngobrolin apaan? Masa lalu? Gak minat.” Tukas Hafi.

“Ya enggak gitu juga, apa gitu, kita juga kan udah lama gak ketemu.” Ucap Milla.

Hafi tampak menimang sejenak lalu menganggukkan kepala sebagai tanda bahwa ia setuju untuk mengobrol ringan dengan sang mantan itu.

“Hmm.. Fi, kalau gue ngomongnya 'aku kamu' aja boleh gak, soalnya kayak gak enak aja gitu, lo ngomongnya 'saya kamu', terus gue nya, 'lo gue'.” Ujar Milla.

“Sabeb aja, gak terlalu penting juga panggilan apapun.” Balas Hafi.

Btw kamu udah lama Fi pacaran sama pacar kamu yang sekarang?” tanya Milla yang membuka obrolan di antara mereka.

“Udah jalan setengah tahun.” Jawab Hafi.

“Ohh udah lama juga ya ternyata.”

Hafi hanya mengangguk singkat. “Kamu sendiri gimana, lagi ada?”

“Enggak, baru aja putus.” Jawab Milla.

“Kenapa? Ketauan selingkuh lagi?” sindir Hafi.

“Fi.. kenapa sih harus dibahas lagi. Aku minta maaf, aku tau aku salah banget dulu, cuma kan gak semua orang bisa ngejalanin hubungan jarak jauh, Fi.” Ujar Milla.

“Apapun alasannya, yang namanya selingkuh itu, gak bisa dibilang bener, Mil.”

“Iya, aku tau. Aku juga udah ngaku kan kalau aku salah, aku minta maaf.”

“Ya untuk saya sih, saya udah maafin kamu, tapi cuma ngingetin aja, biar jadi pelajaran.”

“Iya Fi, aku ngerti kok.”

Lalu keduanya sama-sama terdiam. Milla yang memang mengenakan kaos lengan pendek itu pun mengusap-usap lengan atasnya akibat dinginnya malam yang semakin menusuk kulit.

Hafi melirik Milla yang terus mengusap-usap lengan atasnya itu, dengan rasa tak tega, Hafi pun melepaskan jaket yang ia kenakan dan menyampirkannya di tubuh Milla. Perlakuan Hafi itu membuat Milla sontak terkejut dan tentu muncul rasa bahagia itu di dalam hatinya.

“Pake aja, Mil. Kamu kedinginan banget itu.” Ujar Hafi.

“Kamu gapapa emang gak pake jaket?” tanya Milla.

“Santai aja, saya kuat kali cuma dingin gini doang.” Balas Hafi.

“Makasih ya Fi.”

“Iya sama-sama”

Setelahnya keduanya pun larut dalam obrolan mereka yang random itu.
Hingga tanpa sadar waktu terus berjalan, dan semakin larut malam.

“Mil, udah malem, masuk aja yuk, makin dingin nih.” Ujar Hafi.

“Iya Fi.” Balas Milla sembari ingin melepas jaket Hafi di tubuhnya tetapi langsung ditahan oleh Hafi.

“Pake aja dulu, saya tau kamu masih kedinginan.” Ucapnya.

“Gapapa beneran?”

“Iya gapapa. Yaudah yuk masuk.”

Kedua insan itu akhirnya masuk ke dalam penginapan mereka. Obrolan mereka menjadi saksi atas apa yang akan terjadi kepada keduanya nanti. Apakah benar-benar tak ada rasa yang tersisa antara keduanya?

-----

Keesokan harinya, sesuai dengan yang telah dibicarakan semalam melalui telepon, Hafi yang baru saja sampai di Jakarta tadi pagi, kini sudah bersama Nabila yang memang ia jemput saat pulang sekolah.

Dan mereka tengah berada di sebuah restoran cepat saji di dekat sekolah Nabila yang dimana juga berdekatan dengan rumah Hafi.

Namun ada yang berbeda dengan kedua insan itu, mereka tak seperti biasa yang selalu sibuk mengobrol satu sama lain saat bertemu. Tetapi, sejak duduk di kursi restoran, hingga makanan pun sedia di depan mata, keduanya lebih banyak terdiam.

HAFI & NABILA [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang