42. Baikan bukan Balikan

565 33 0
                                    

Sebelum membaca, jangan lupa tekan tombol bintangnya.

Jangan lupa follow aku.

Don't be a silent reader.

Selamat Membaca.

-----

Lampu ruang operasi telah berubah menjadi merah, itu pertanda proses operasi pengeluaran janin Siska telah selesai dilakukan.

Tak lama kemudian, dokter yang menangani Siska pun keluar dari ruang operasi dengan masker hijau yang masih menutupi setengah wajahnya.

“Dok, bagaimana dengan keadaan anak saya, Dok?” Tanya Mama Siska yang terlihat sangat cemas dengan keadaan anaknya.

Keluarga Siska yang terdiri dari Mama dan Papa nya sudah datang sejak satu jam yang lalu.

Sang dokter melepas masker di wajahnya “Operasi pengeluaran janinnya berjalan dengan lancar, Bu. Keadaan anak Ibu juga baik baik saja, hanya saat ini ia belum sadarkan diri akibat pengaruh obat bius. Tetapi, anak Ibu akan segera sadar setelah pengaruh obat bius dalam tubuhnya sudah habis.”

“Alhamdulillah ya Allah.” Ucap syukur Papa Siska.

“Setelah ini, pasien akan dipindahkan ke ruang perawatan. Kalau begitu, saya permisi dulu, Pak, Bu.” Ucap dokter.

“Iya, Dok. Terima kasih.” Ucap Papa Siska.

Tak lama setelah dokter pergi, pintu ruang operasi kembali terbuka. Dan terlihat Siska yang terbaring di atas ranjang, digiring pelan pelan oleh dua suster untuk dipindahkan ke ruang rawat inap.

-----

“Nak Hafi, Nabila, apa tidak sebaiknya kalian pulang dulu. Besok kalian bisa kembali lagi ke sini setelah Siska sudah sadar.” Ucap Mama Siska.

“Iya, sebaiknya kalian pulang, ini sudah malam.” Timpal Papa Siska.

“Iya, Tante, Om, kami akan pulang sekarang. Besok kami akan kembali ke sini lagi setelah Siska sadar.” Ucap Hafi.

“Sekali lagi, Tante dan Om mengucapkan banyak terima kasih kepada kalian, karena kalian sudah menolong anak saya.” Ujar Mama Siska.

“Iya, sama sama Tante,Om. Siska itu teman kami, jadi sudah menjadi kewajiban untuk kami menolong Siska.” Balas Nabila.

“Kalau begitu, saya dan Nabila pamit ya, Tante, Om. Assalamualaikum.” Pamit Hafi.

“Wa’alaikumussalam.”

Di tempat parkir.

“Kamu kenapa sih, Fi, dari tadi ngeliatin aku gitu banget?” Tanya Nabila.

“Gapapa, saya lagi bahagia aja.” Jawab Hafi sambil menyerahkan helm kepada Nabila.

Nabila menerima uluran helm itu dan memasangnya “Bahagia kenapa?”

“Bahagia karena punya pacar kayak kamu.” Ucap Hafi.

“Pacar? Sejak kapan ya kita balikan?” sindir Nabila.

Raut wajah Hafi yang tadi terlihat bahagia pun seketika berubah setelah mendengar ucapan Nabila.

“Naik, cepetan Bil. Udah malem.” Hafi mengalihkan pembicaraan mereka.

Nabila tersenyum geli melihat respon Hafi. Perempuan itu sengaja menyindir Hafi seperti tadi.

-----

Perjalanan selama hampir setengah jam itu diwarnai dengan kebisuan di antara kedua insan itu. Hafi dan Nabila tidak ada yang membuka percakapan di antara mereka selama perjalanan hingga mereka sampai di rumah Nabila.

“Tumben Fi kamu diem aja dari tadi?” Tanya Nabila setelah turun dari motor Hafi.

“Pikir aja sendiri.” Jawab Hafi singkat.

Nabila terkekeh mendengar jawaban Hafi.

“Kamu marah nih sama Nabila?”

“Engga. B aja.”

“Seriusan?”

“Apaansih Bil, gak jelas kamu.”

“Masa? Beneran nih ga marah?”

“Engga.”

“Gak kesel?”

“Engga, Bil.”

“Gak mau balikan?”

“Eng—“

“Oh yaudah kalau enggak mau. Nabila masuk aja deh.”

“Eh eh, tunggu dulu.” Hafi menahan lengan Nabila, padahal cewek itu belum beranjak sedikit pun dari tempatnya.

“Apa lagi? Kan katanya gak mau balikan, yaudah.”

“Bukan. Bukan gitu maksud saya. Lagian kamu mancing-mancing sih.”

“Dih, enggak tuh. Kamu aja kali yang beneran gak mau balikan sama Nabila.”

“Saya bukan gak mau balikan sama kamu, tapi saya gak pernah merasa putus dari kamu. Waktu itu, kan kamu mutusin secara sepihak, tapi saya gak pernah setuju atau mengiyakan keputusan kamu itu. Jadi, ya menurut saya, kita gak pernah putus.”

“Kok gitu? Tapi menurut Nabila kita udah putus.”

“Tapi menurut saya, kita gak putus.”

“Putus, Fi.”

“Engga, Bil.”

“Ihh, kok kamu gak ngalah aja sih. Lagian kan kamu bisa ngajakin Nabila balikan, nembak Nabila lagi misalnya?”

Nabila spontan menutup mulutnya.

“Eh, eh. Gak gitu, gak gitu. Maksud Nabila tuh----“

Hafi tertawa melihat Nabila yang terlihat malu akibat keceplosan seperti tadi. “Oh, jadi ada yang pengen banget ditembak ulang nih?”

“Ihh gak gitu, Fi.” Sanggah Nabila.

“Masa sih?” ledek Hafi.

“Auah males sama Hafi.” Kesal Nabila.

“Ciee kesel.”

Hafi semakin gencar menggoda Nabila.

“Hafi, udah ih, jangan diledekin mulu. Malu tau.” Ucap Nabila.

“Ya abisnya kamu lucu. Gini, Bil. Bukannya saya gak mau nembak kamu lagi, tapi menurut saya kita gak pernah putus. Dan ini pun jadi pelajaran untuk kita berdua, agar kedepannya kita bisa lebih terbuka satu sama lain, dan jangan menyelesaikan masalah dengan kata putus. Kita juga harus saling percaya.”

Nabila tersenyum mendengar ucapan Hafi. “Belajar darimana tuh bisa ngomong begitu?”

“Tuh kan, saya serius salah, saya bercanda salah juga.”

“Hahahaha, enggak gitu sayang.”

“Ciee manggil sayang. Jadi kita baikan ya? Bukan balikan.”

“Iya iya, kita BAIKAN BUKAN BALIKAN.”

“Makasih ya Bil, kamu udah mau percaya sama saya.”

“Iya sama sama, Fi.”

Dan malam itu, keduanya pun kembali pada hubungan yang sebenarnya.

-----

Esok harinya sesuai dengan kesepakatan kemarin, bahwa hari ini Hafi dan Nabila akan kembali menjenguk Siska di rumah sakit.

“Assalamualaikum.”

Ucapan salam dari Hafi dan Nabila membuat penghuni di dalam kamar rawat inap bernomor 327 itu menoleh secara serempak menatap si pengucap salam.

“Wa’alaikumussalam.”

Jawaban salam serempak pun terdengar dari Siska dan kedua orang tuanya.

“Eh Hafi, Nabila. Sini nak masuk, dari tadi kami sudah nungguin kalian datang.” Ucap Mama Siska.

“Maaf ya, Tante, Om, kami baru datang, tadi soalnya saya dan Nabila ada urusan sebentar.” Ujar  Hafi sembari menyalami Mama dan Papa Siska, yang juga diikuti oleh Nabila.

“Iya gapapa, yasudah karena kalian sudah datang, Tante sama Om akan keluar untuk mengurus administrasi pengobatan Siska. Tante juga yakin ada yang mau kalian bicarakan, Tante dan Om sudah mendengar semuanya dari Siska, dan kami juga turut minta maaf kepada kalian.” Ucap panjang Mama Siska.

“Iya Tante, gapapa kok, kami juga sudah baik baik aja.” Balas Hafi.

“Kalian memang anak yang baik, kalau begitu Om dan Tante keluar ya, Nak.” Ucap Papa Siska.

“Iya Om, Tante.” Balas Hafi.

Lalu kedua orang tua Siska pun keluar dari kamar.

“Gimana keadaan kamu, Sis?” Tanya Hafi.

“Udah baikan kok, Fi.” Jawab Siska.

“Syukurlah kalau gitu.”

“Fi, Bil, aku benar benar mau minta maaf ke kalian. Aku udah merusak hubungan kalian kemarin, terutama sama kamu Bil, aku udah berbohong perihal anak yang aku kandung, dan membuat kamu marahan sama Hafi. Aku benar benar minta maaf, aku menyesal udah ngelakuin hal itu, gak sepatutnya aku berbuat kayak gitu. Dan dengan keadaan aku sekarang, aku berpikir bahwa ini balasan untuk aku karena sudah berbohong dan merusak hubungan kalian, aku---- aku kehilangan anak aku.”  Siska tak mampu menahan air matanya.

Nabila yang melihat Siska menangis pun langsung mendekati perempuan itu dan memeluknya. Bagaimanapun Nabila juga perempuan, dan menjadi seorang ibu adalah impian semua wanita di dunia ini.

“Kamu yang sabar ya, Sis. Allah melakukan ini semua pasti karena dia sayang sama kamu dan anak kamu, mungkin ini memang takdir terbaik yang Allah berikan kepada kamu. Dan soal kemarin, aku dan Hafi udah maafin kamu, aku bisa ngerti kenapa kamu melakukan itu walaupun harus kamu tau, itu salah. Kamu perempuan yang kuat Sis, kalau aku ada di posisi kamu, mungkin aku gak bisa sekuat kamu.” Ujar panjang Nabila.

Nabila perlahan melepas pelukannya. Ia menghapus air mata yang turun di pipi Siska.

“Kamu gak boleh nangis lagi, nanti anak kamu di sana ikut sedih kalau liat mama nya nangis kayak gini. Semoga semua ini bisa jadi pelajaran untuk kamu ke depannya, ya.”

“Iya, Bil. Makasih ya kamu udah mau maafin aku.”

“Iya sama sama, lagipula gak ada alasan untuk aku gak maafin kamu.”

“Setelah ini kamu akan tetap di sini atau gimana Sis?” Tanya Hafi.

“Aku akan balik ke Bandung, Fi. Mama dan Papa aku juga sudah menerima keadaan aku sekarang, mereka juga sudah maafin aku.” Jawab Siska.

“Ohhh, baguslah kalau gitu. Jadi, kamu gak perlu tinggal sendiri lagi.” Balas Hafi.

“Iya, Fi. Sekali lagi aku berterima kasih ya sama kalian karena kalian udah nolongin aku, aku gak tau lagi kalau kemarin gak ada kalian, mungkin aku udah ikut sama anak aku.”

Hussh. Sis, kamu gak boleh ngomong gitu. Masa depan kamu masih panjang, dan masih ada kedua orang tua kamu yang perlu kamu bahagiain.” Ucap Nabila.

“Iya, Bil. Oh iya btw kalian udah beneran balikan kan?” Tanya Siska.

“Kita gak balikan, Sis.” Jawab Nabila.

“Loh kenapa?”

“Ya karena, saya dan Nabila gak pernah putus. Jadi buat apa balikan?”jawab Hafi.

“Iya, Sis, aku sama Hafi udah baik baik aja kok sekarang.” Timpal Nabila.

“Ohhh begitu. Syukurlah kalau gitu, aku seneng dengernya. Aku doain semoga kalian langgeng ya.” Ucap Siska.

“Aamiin.” Jawaban serempak itu terdengar dari mulut kedua insan yang saling merangkul itu.

-----

To be continued...

-----




HAFI & NABILA [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang