Pagi berganti siang, siang berganti senja, dan sekarang malam. Terlihat rembulan bersinar terang, cahayanya merambat melalui jendela kamar.
Aku tak melakukan aktivitas seperti biasanya, nonton. Malam ini tidak, mbak Nilta tak menghubungiku setelah di Caffe tadi.
Aku berakhir dengan menenangkan diri, tapi air mata ini tak dapat dibendung.
Ya, aku menangis. Entah apa yang membuatku menangis. Aku hanya takut. Takut jika pulau yang telah kami bangun dari dulu hancur.
Aku membutuhkan tanaman bakau untuk mencegah terjadinya Abrasi, yang menghancurkan pulau kami.
***
Upacara sebentar lagi dimulai, kami, teman sesama umat berkumpul. Kecuali Naden yang belum datang.
"Kira-kira Naden kenapa ya, kok bisa telat jam segini?" Gerutu Finda, kami semua menggeleng, tak tahu.
Upacara akhirnya dimulai, kami semua berbaris dengan rapi. Kepala sekolah memberi ceramah, bla bla bla. Dan bla. Ditengah upacara pagi, kepsek, memberikan penghargaan kepada anggota PMR yang mewakili sekolah.
Upacara bubar, kami semua masuk kelas. Kecuali Zara dan Dyana yang sibuk dengan rapat osis.
Sabila memasuki kelas IPA-3, terlihat Naden yang sudah duduk rapi. Sabila mendekat, bertanya kenapa Naden tadi saat upacara tak datang.
"Tumben bolos?" Tanya Sabila Curiga, Zhafia mendekat, mengikuti obrolan.
Naden mendengus, mulai bercerita.
"..., tadi gue gak ada yang anter, yaudah gue terlambat. Tapi sebenarnya bukan itu yang buat gue terlambat...," Naden berhenti berbicara, mengambil nafas.
"...,Tadi gue lihat ada anak cowok yang lompat dari tembok belakang sekolah. Gue teriakin mereka, gue kejar. Eh, malah mereka misuh-misuh, untung gue tahu nama mereka." Jelasnya, Sabila dan Turah mengangguk.
Bel istirahat berbunyi, aku dan teman sesama umat berkumpul di bangku kantin, seperti biasa. Aku melamun.
Zhafia dan Hani beranjak memesankan camilan. kami semua menunggu, kecuali Naden yang berkacak pinggang dari tadi.
"Ih, Gue mau ke ruang BK dulu ya? mau nglaporin anak brengsek itu." Naden beranjak, berlari kecil menuju ruang neraka.
Kami menatap punggung Naden yang mulai menghilang.
Dyana menoleh, bertanya kepada Zhafia dan Sabila, teman sekelas Naden. "Ada masalah apa sama, Naden."
"Lo gak denger, dia tadi kan udah bilang mau laporin anak brengsek." Jawab Sabila
Dyana belum puas dengan jawaban Sabila, menyenggol bahunya. Sabila cuek, malas berbicara.
"Ngelaporin anaknya." Jawab Hilfi. Dyana, Zara dan Jua menoleh, bingung.
"Sembilan bulan yang lalu Naden buat." Jawabku asal, biar mereka nggak rame mulu.
Teman sesama umat tertawa, bahkan Sabila yang mengetahui alasan sebenarnya ikut terbahak. Aku diam, bagiku candaan kali ini tak ada yang harus diketawaain.
***
Dyfal tak menghubungiku dari amsalah kemarin, kali ini aku juga tak pulang bareng Dyfal.
Aku berharap ada cogan yang anterin gue kayak mas Faiq waktu itu. Tapi takmungkin, mana ada cowok yang mau sama cewek kayak gue. Dyfal aja yang sahabatan sama gue dari dulu nggak demen sama gue.
"Na, lo pulang bareng sama siapa? kok mamak lo belum keliatan. Biasanya awal banget datengnya." Tanyaku, menoleh pada Dyana.
Dyana juga belum dijemput. Tetapi dia tak merespon, malah diam menatap HP-nya.
"Hm. Gue bareng sama Hilman." Jawab Dyana santai, aku terkejud.
Tumben banget dia mau pulang sama mahkluk tak berupa.
Dyana menoleh kearahku, "Lo, mau bareng juga. Gak papa kok, kasihan yang lagi bertengkar sama bebeb Dyfal." Ejek Dyana, aku bergumam.
***
Yooo hahaha betah kan baca ini?
Maap kalo banyak typo, plis maap nih gak fokus, kurang minum aqua 😝😝😝
Jan lupa voooottteee!!!