Aku mendekati Hilfi dan Rangga yang ditenangkan oleh teman kami yang lain. Sabila memeluk perut Hilfi dari belakang, berusaha menahan Hilfi yang akan menerjang Rangga.
Rangga sebaliknya, dia di tahan oleh Rendra. Tangan kanan Rangga yang membawa tongkat pramuka, berusaha dipukulkannya ke kepala Hilfi. Aku yang melihatnya menghela napas, berusaha mendekati Hilfi yang masih memberontak.
Raeyken yang diam-diam kembali ke tempat semula, menatapku geli. Aku memberi kode padanya agar ikut membantu Rendra yang kesusahan menahan kuda ngamuk. Cepat-cepat Raeyken mengangguk, beranjak merebut tongkat yang dipegang Rangga.
"Lu kira ini pengadilan buat suami istri yang mau pisah apa?! Kalian itu—aduh, besok kita mau pentas, dan kalian berdua ini... duo tokek, buat ramee mulu." Kesalku sambil menjambak rambutku sendiri, Hilfi masih menatap Rangga sinis.
"Siapa sih, yang ngajarin lo nolak jodoh?" dengan santainya Sabila memukul pantat Hilfi, membuat Hilfi langsung menimpuk Sabila dengan salah satu properti kami.
Rendra memijat perlahan lengannya, katanya agak sakit nahan Rangga ngamuk. "Ngapain juga kalian bisa ngamuk lagi? Mau dipanggilin ustadz?" Rendra bersungut-sungut mengembalikan tongkat pramuka itu.
Sabila tertawa lepas, memukul tanah yang sedikit becek, membiarkan tangannya belepotan karena tanah. Hilfi memanyunkan bibirnya, lima senti.
"Mak, mak... nyinyir mulu. Itu jangan sampe bibirnya jadi ndower." Sabila mengusap pipi Hilfi dengan tangan yang belepotan dengan tanah. Hilfi membulatkan matanya, terkejud.
"Cieeee, ada Bu Tara." Celutuk Amanda, teman kami yang tak sengaja lewat dan menertawakan muka Hilfi.
"Heh, Bu Tara. Kapan lo jadi istrinya Tara Budiman?" Sabila terus menggoda Hilfi.
"Maksudnya Amanda bu Tara itu, I-BU TEN-TA-RAA!" Rangga berkata jutek, diam-diam melotot kearah Hilfi yang menatapnya sinis.
Aku menggelengkan kepala, pusing. Raeyken tertawa cekikian melihat Sabila yang menang dalam pertarungan adu mulut. Rendra asyik membacakan ayat kursi. "Noh, setannya biar ilang loh. Coba lidah lo melet, melet-melet. Masa gatau melet sih?!"
Aku duduk di tikar yang sedikit kotor, tak apalah, lagian kemarin malam gerimis. Aku memandangi mereka satu persatu, menunggu mereka capek sendiri dengan apa yang mereka lakukan.
Akhirnya, tak beberapa lama kemudian. Sabila memegangi perutnya, sakit karena kebanyakan ketawa, Rendra lelah berkomat-kamit, toh setannya juga nggak akan pergi dari tubuhnya Rangga. Hilfi kehabisan tenaga, Rangga capek melotot terus.
Aku menyunggingkan senyum kemenangan. "Udah? Capek? Kalian kayak gini aja udah capek yah. Padahal kalian itu ekskul yang populer loh! Nyatanya, ekskul babi gini, dikit-dikit colek-colekan tanah." Ucapku menyindir Sabila dan Hilfi.
"Apan lo! ekskul Cuma habisin duit kas aja bangga." Sela Rangga mewakili klub Voli dan Basket. Aku mengangkat bahuku, acuh.
'Terserah lo mau ngomong apaan. Lagian yang lo bilang juga kenyataan. Dan karena lo pada ribut tadi, gue mau kasih hadiah." Aku tersenyum sumriangah, Hilfi mengangkat sebelah alisnya.
Aku tersenyum jahil, memberikan jeda pada kalimatku. Hilfi dan Rangga dibuat gemas, menatapku jengkel. "Karena kita belum tentuin pemeran tokoh utama pria dan wanitanya... kalian yang bakal jadi pemeranyaaaa. HAAAAAAAH HAHAHA." Tawaku pecah seketika, tak bisa menahan jiwa keiblisan dalam diriku. Sabila menepuk bahu Hilfi, masih dengan tangan yang belepotan. Rendra ikutan tertawa, membuat Rangga dan Hilfi semakin naik darah.
"Hadiah apaan itu tolol? Itu mah, siksaan buat gue. Mana bisa nanti gue digendong ama buaya dekil kayak gini. Idiiih." Protes Hilfi, bergaya seakan-akan jijik dengan Rangga, padahal mungkin jantungnya gak karuan.