Seperti tuli, yang hanya bisa mendengar sunyi. Tak banyak kata-kata yang diketahui, hanya bisa diam memandang diri.
Dyfal membatalkan keinginanya untuk jalan ke mall.
Esok harinya, Dyfal datang untuk mengantar Swara berangkat ke sekolah. Swara lebih banyak terdiam, dan mukannya lebih pucat dari biasanya.
Dyfal hanya diam melihat Swara seperti itu, dirinya juga cukup terkejud dengan perasaan yang Swara ucapkan semalam. Entah itu benar atau tidak.
Diperjalanan, mereka berdua hanya terdiam, tak mau berkata-kata. Dyfal merasa aneh dengan Swara kali ini, dia takut jika Swara malah lebih pendiam dari biasanya. Mungkin diam lebih baik.
Sampai disekolah pun, Swara masih saja betah dengan diam. Bahkan saat diparkiran sekolah, Swara langsung meninggalkan Dyfal, tak seperti biasanya yang saling menyemangati sebelum pelajaran dimulai.
Swara berjalan kekelas dengan tatapan kosong, masih terdiam. Membuat siswa-siswi yang melihatnya juga ikut terdiam memandang sosok Swara. Tak biasanya memang Swara seperti ini, biasanya dia berjalan dengan bersenandung riang.
Swara tak langsung masuk menuju kelas, sesampainya diambang pintu, dia hanya menatap keramaian kelas. Lalu kembali berjalan menuju tangga.
"Eh, Ra. Mau kemana?" Terdengar Hilfi berteriak, ikut dibuat bingung melihat Swara seperti itu. Hilfi hanya memandangi Swara yang berlalu.
"Swara kemana yah? Kok nggak langsung masuk kelas?" Hilfi menghampiri Zara dan Hani, meminta penjelasan.
"Tau ah, mungkin ke toilet kayak kemarin." Hani yang menjawab, lalu kembali melanjutkan obrolanya dengan Zara.
***
Sesampainya Swara di rooftop, dia duduk dibangku yang kemarin. Memandaingi kota Jakarta dipagi hari, matahari mulai muncul dari timur, siap menerangi hari.
Swara hanya bisa melamun, tatapanya kosong, masih diam seribu kata.
Swara menarik nafas, lalu berteriak. "AAAHHHG!!!" Swara berhenti sejenak, kemudian berteriak kembali. "AAAAHHHGG!!!" Swara menunduk.
Dirinya kini sudah mulai tenang, dengan cara berteriak, beban hidup seakan-akan hilang ditelan suara.
Kenapa orang tua gue ngasih nama Swara, kenapa? Kenapa gue harus mendengar suara-suara yang tidak enak didengar? Kenapa bukan seperti nama gue sendiri yang artinya lebih indah dari pada kehidupan gue.
"AAHHHG!!!" Swara kembali berteriak, kini teriakannya bercampur isak tangis.
Gue cinta samal lo Dyf, gue sayang, gue nyaman sama lo. Tapi apakah kenyamanan milik gue itu akan hilang digantikan yang lain? Apa kurangnya aku didalam dirimu, hingga kau akan tinggalkan aku.
Swara menangis sesenggukan, dia sudah tak duduk dibangku, melainkan jongkok di lantai, memeluk kakinya sendiri. Angin kencang membuat rambutnya bergoyang, air matanya terus menetes.
"Lho, Ra. Kamu kenapa?" Seseorang yang suaranya sangat aku kenal, tiba-tiba saja datang dan memelukku dari belakang.
Aku hanya bisa menagis didalam pelukannya. Kak Faiq, ya, entah kenapa dia datang kesini, dia membantuku berdiri.
Kak Faiq mengelus rambutku, aku hanya bisa menangis sesenggukan. Bulir-bulir bening itu terjatuh di seragam abu-abunya.
"Kenapa Ra? Habis ini bel masuk kelas lho." Kak Faiq masih terus mengelus rambutku, membuat kenyamanan tersendiri
Swara menggeleng, aku tak mau masuk kelas. Percuma, toh masa' aku sekolah bawa baju yang udah basah sama air mata.
"Yaudah, tenangin diri dulu." Kami berdua duduk dibangku, tetapi aku masih menangis, malu tahu kalo dilihatin. Swara masih memeluk kak Faiq, sedangkan kak Faiq hanya bisa mengelus rambutku.