Sore harinya selepas kami menunaikan ibadah. Bang Akfa meminta tolong kepada kami semua. Bang Akfa, Raeyken dan juga Kak Faiq akan berkutat di dapur, sedangkan yang lainya mendekorasi taman belakang.
Sekarang aku dan teman-temanku asyik memberi makan ikan koi besar-besar—baru beli ikan lagi, karena sebelumnya ikannya mati nggak di kasih makan. Ada lima ikan koi besar dengan warna khas nya.
Sedangkan yang cowok menata kursi, meja panjang dan kayu bakar untuk acara nanti malam. Rangga dan Aqda sibuk dengan lomba loncatnya, yang menang pastilah ketua klub basket, Rangga.
Sambil bermain dan mendekorasi taman belakang, sebagian temanku ada yang numpang mandi. Bergantian. Sabila yang entah mandi duluan tadi belum turun dari kamarku.
"Ju! Bila mana? Kok belum turun?" Tanyaku ketika melihat Jua melambaikan tangan kepada Gilang.
Jua mendekat, baru selesai mandi di kamar tamu. "Tadi gue mau minjam sisir rambut lo, disana ada Sabila nyobain makeup lo, tuh." Jawabnya lalu meminta makanan ikan.
Aku ber-oh santai, kembali bermain di kolam. Toh, aku juga jarang pakai makeup, palingan pakain bedak bayi.
Selang beberapa menit, kini giliranku untuk membersihkan diri, paling terakhir paling sabar. Yang cowok mandi di kamar tamu, nggak di bolehin Bang Akfa mandi di kamarnya.
Kamar tamu ada dua, dua-duanya juga ada di lantai bawah. Kamar atas buat kamar keluarga, ayah ibu, Bang Akfa dan kamarku.
Aku memasuki pintu belakang dekat garasi dan dapur. Mampir bentar ke dapur aah, nanti kalo di suruh incip-incip kan rezeki. Kulihat disana Bang Akfa dan Raeyken sedang tertawa terbahak-bahak. Kak Faiq fokus memotong sauran tipis-tipis.
"Buat apa toh, Bang?" tanyaku menghampiri Raeyken dan Bang Akfa yang masih tertawa terbahak-bahak. "Ini udah mau mahgrib lho!" Aku meminum soda yang tadi kutaruh di kulkas.
Bang Akfa dan Raeyken yang menyadari adanya sosok Swara bidadari surga, langsung menoleh. Bang Akfa sedikit terkejud, langsung mengambil potongan sayuran yang sedang di proses kak Faiq.
Aku duduk sebentar di meja makan, mengambil apel yang tersedia dan menggigitnya sedikit. Raeyken ikut mengambil soda dan duduk berhadapan denganku.
Aku yang menyadari hal itu, cepat-cepat bangkit menuju kamarku dilantai dua.
"Mandi duluan Bang!" Aku langsung lompat menuju tangga, Bang Akfa hanya menatapku sekilas.
Kubuka pintu kamarku, sebelumnya aku menghela napas lega. Karena mungkin nggak timbul suasana canggung sama Raeyken.
Kulihat disana ada sosok yang amat kenal, duduk di meja riasku. Sering aku sebut meja camilan—sering menaruh camilan di atas meja rias. Sabila yang sedang memakai pelembab, menyadari keberadaanku. Nyengir kuda. Aku membiarkan Sabila berexperimen.
Selesai membersihkan diri, Sabila tak goyang sedikitpun dari meja rias. Aku geleng-geleng kepala. "Nggak kebawah, Bil? Habis ini jam mulai." Tanyaku sembari meletakkan baju kotor di keranjang.
Sabila mengangguk, menungguku yang sedang memoleh bedak tipis. Lalu kami turun bersama dan kembali ke taman belakang.
Aku menggenakan sweter warna biru langit dan panjang. Sabila menggenakan drees sedarhana yang tampak pas di tubuhnya. Sabila duluan ke taman belakang, aku mampir sebentar di dapur.
Disana hanya ada Raeyken, nggak enak kalo mau putar badan lagi. Jadi aku berpura-pura mengambil soda. Raeyken yang menyadari keberadaanku menoleh. "Nanti kalo sodanya habis, kita beli bareng lagi yah." Raeyken tersenyum. Aku tak menjawab, mencuci tanganku di wastafel.
"Abang gue sama Kak Faiq mana?" tanyaku basa-basi, berusaha melawan kecanggungan yang tiba-tiba dingin menusuk raga.
apa yang sedang dikerjakanya.
Katanya Bang Akfa mau minta bantuan Kak Faiq dan Raeyken membuat masakan Jepang. Mau pamer kali ketemen-temennya. "Woy! Gue pulang dari Jepang nih. Udah gue bikinin masakan Jepang." Aku jadi memikirkan kesombongan Bang Akfa.
Aku mengangguk-angguk, hendak menuju taman belakang. "Eh, Ra! Bantuin ini bentar!" buru-buru Raeyken mencengkeram lenganku, menatapku serius.
Aku balas menatapnya bingung. Apa? Raeylen melepaskan eratanya dari lenganku setelah sadar apa yang barusan ia lakukan. "Eh, ih ini tolong bawain ke taman belakang." Ucapnya sambil memberikan nampan berisi Onigiri.
Dengan langkah hati-hati aku membawanya ke meja yang sudah di tata rapi oleh kawan-kawanku. Beberapa teman Bang Akfa sudah datang, sesama umat sibuk menata piring-piring.
Aku menyerahkan nampan berisi makanan Jepang itu. Banyak sekali makanan khas Jepang, khasIndonesia cuma ikan bakar yang akan kami lakukan di tengah acara nanti. Itu lah gunanya tadi ada yang menyiapkan kayu bakar.
Zbintang gemintang sedang menemani bulan bersinar di atas langit sana. Membuat rasi-rasi bintang yang banyak, indah di tatap. Lampu-lampu menganggantung indah di pohon mangga taman belakang.
Pohonku yang satunya, pohon jambu, berada paling pojok taman, dekat dengan balkon kamaku.
Acar sudah dimulai beberapa menit yang lalu. Banyak sukarelawan dari teman-teman Bang Akfa. Ada yang menyanyi, atau menceritakan kisah mereka dulu.
Sambil asyik mendengarkan celotehan lainya, beberapa sudah ada yang mulai incip-incip makanan. Naden sudah sok akrab dengan teman-teman Bang Akfa, lah ini adeknya nggak ada yang kenal.
Ada Mbak Nilta juga, sedang mengobrol dengan Raeyken yang ternyata baru selesai membersihkan diri. Mbak Nilta pasti ikut, karena udah aku anggap sebagai saudara sendiri.
Sesekali Hilfi nyelutuk, mencari cogan dengan Sabila dan Zhafia. Mereka berseru riang ketika berhasil menemukan satu teman Bang Akfa yang tampan. Lalu mereka menghitung berapa cogan yang berhasil mereka temukan.
Lalu berdebat tentang ketampanan juga. Yang ini paling ganteng lah, ini masih belum seberapa lah.
Aku belum melihat Dyfal sama sekali, aku bahkan tak tahu dia hadir atau tidak. Tapi firasatku membau aroma-aroma iblis disekitar sini. Teman cowokkku sedang duduk di tengah-tengah taman. Cari cecan.
Ah, nggak usah dipikirin dulu. Aku berjalan perlahan menuju pohon jambu. Tempatnya agak sepi dari kerumunan.
Ada bangku tua yang dulu sering aku rebutkan dengan Dyfal. Pohon jambu inilah yang menjadi saksi persahabatan kami, dimana cinta terlahirkan dengan ketidak sengajaan.
Tapi itu dulu, dimana janji-janji masa depan yang semasa kecil kami berdua karang. Di siang bolong, kami memanjat pohon jambu ini, atau mengambil bantal di kamar tamu dan tiduran di rerumputan.
"Jadi keinget masa-masa itu." Aku menghembuskan napas perlahan.
Dulu, Dyfal pernah mengatakan janji yang belum ia kabulkan sekarang. Walau, dia selalu menepatinya dengan terlambat. Tapi ada dua saja, dua janji yang belum ia berikan kepadaku.
Di masa itu...
***