Sudah setengah jam mereka bertiga menunggu di dalam mobil. Sudah setengah jam yang lalu, mobil milik Kak Faiq berhenti di depan rumah Swara.
Aku tak banyak bicara, hanya ingin menenagkan diri sebelum masuk rumah. Apa lagi, Bang Akfa sudah menjejakkan kaki di rumah. Aku hanya ingin, Abangnya tak tahu masalahnya kali ini.
Cepat-cepat Swara menghilangkan bekas mata sembabnya. Tapi tak bisa. Raeyken sudah banyak membantu, dengan berceloteh, membuat Swara sesekali tertawa. Lupa sejenak dengan masalahnya tadi.
Kak Faiq turun, di ikuti Rayken dan Swara. Perlahan mengetuk pintu. Pintu terbuka, menampakkan Bang Akfa yang sedang makan sate. Tapi agak berbeda dengan sate yang biasanya.
Dengan santainya, Bang Akfa menggigit sate itu. Menyender kan tubuhnya di pintu. Menatap kami bertiga satu persatu.
Raeyken menelan ludah. "Bukan kah itu, Yakitori?" Tanya Raeyken tiba-tiba. Bang Akfa sedikit terkejud, lalu berdiri tegak menatap Raeyken.
"Kau seperti orang Jepang. Hah? Wow, kau orang Jepang? Mari masuk." Bang Akfa menggandeng tangan Rayken, dengan semangat Raeyken memasuki rumahku.
Bang Akfa mempersilahkan mereka duduk. Sedangkan aku berganti pakaian yang lebih santai di kamar.
Lama sekali Swara berganti, dengan malas, tetap berganti pakaian. Lalu membuka Handphone, sesama umat sedang menggosip kan kejadian ku dan Dyfal di kafe tadi.
"Hoey. Ra, ini loh, temenya nunggu." Bang Akfa memanggil, membuat ku cepat-cepat turun menuju ruang tengah.
Swara melotot. Raeyken dan Bang Akfa asyik membahas tentang sate itu. Kak Faiq dengan santainya, memindah kan canel TV. Segera Swara turun dan berdehem pelan.
"Nah, duduk dulu, Ra." Bang Akfa menepuk-nepuk sofa kosong. Swara menurut, duduk di antara Raeyken dan Kak Faiq. Memandang makanan sate itu.
Ku ambil satu tusuk sate, mengamatinya. "Oi, itu bukan sate loh, Ra. Yakitori, sate ala Jepang." Dengan gayanya, Bang Akfa dan Raeyken memperkenal kan makanan Jepang itu.
Mengangguk-angguk, lalu mencicipi segigit sate Jepang itu. "Hem, daging ayam?" Tanyaku tanpa basa-basi.
Raeyken mengangguk. "Yakitori, sate ala Jepang. Dengan daging, hati ayam dan beraneka sayuran yang di tusuk. Dan di olah seperti sate pada umumnya." Jelas Raeyken seperti bintang iklan.
Swara sekali lagi mengangguk-angguk. Lalu tertawa, dan malam itu, kebahagiaan tanpa Dyfal mulai muncul. Walau belum terbiasa.
"Lo kok nggak bilang-bilang sih, dek. Kalo punya temen keturunan Jepang?" Bang Akfa menyenggol lenganku, membuat Swara tersedak. Karena sedikit terkejud dengan ucapan Bang Akfa dan di senggol.
"Hah! Keturunan Jepang?" Swara menatap Kak Faiq dan Raeyken bergantian. Kak Faiq tak peduli, terus memandang layar TV.
Raeyken tanpak gaya, matanya mengerjap-ngerjap beberapa kali. Aku memandang nya aneh.
Bang Akfa ikut memandang Raeyken. "Itu kebiasaan orang Jepang? Tapi waktu gue dulu kuliah di Jepang, nggak ada kok orang kayak gitu." Ucap Bang Akfa bingung.
Raeyken meghentikan tingkah lakunya, berdehem pelan. Lalu Kak Faiq mulai menjelaskan.
"Bokapnya Raeyken orang Jepang, nyokapnya, orang Indonesia. Neneknya, orang jerman asli. Kakenya, orang indonesia. Raeyken anak tunggal." Jelas Kak Faiq.
Sekali lagi, aku mengangguk-angguk, berusaha mencerna kalimat Kak Faiq barusan. Raeyken tersenyum ke arah ku. Bang Akfa menatapku penuh selidik.
"Lo kelas berapa sekarang?" Tanya Bang Akfa ke Raeyken, membuatnya kembali menatap Bang Akfa.
"Eh, naik kelas dua belas." Jelas Raeyken. "Gue sekolah di samping perumahan ini kok." Lanjtnya. Bang Akfa yang mendengar itu, beralih menatapku. Sekali lagi Swara sedikit terkejud dengan apa yang di ucapkan Raeyken.
Aha, Swara punya ide!
"Lo kuliah di Jepang, Ken?" Tanyaku langsung ke pokok. Raeyken mengangguk mantap. "Kak Faiq juga, kan?" Beralih menatap Kak Faiq, menyunggingkan senyuman.
Sebagai jawaban, Kak Faiq menatapku lamat-lamat. Lalu mengangguk. "Bang, nanti gue kuliah di Jepang, kan?" menyenggol Bang Akfa. Lalu mengambil piring yakitori, karena terus di habiskan Bang Akfa.
"Maunya bunda sama ayah kan gitu, dek. Tapi nggak maksa sih."
Swara mengepalkan tangannya. Kembali menanyakan banyak hal kepada tiga cowok di rumahnya itu. Tapi terhenti sebentar karena pertanyaan dari Bang Akfa, yang sulit untuk di jelaskan.
"Kapan kak Faiq berangkatnya?" Sekali lagi Swara bertanya, mengepalkan tangannya, antusias.
"Um, sekitar tiga minggu lagi. Liburan akhir semester nanti." Jawab Kak Faiq dengan nada bingung. Bingung dengan antusias ku, juga karena pertanyaan-pertanyaan tentang Jepang.
"Mau ke Universi—"
"Loh, dek. Pipi kiri kamu kok merah?" Tanya Bang Akfa tiba-tiba. Sontak, Swara mengelus pipi kirinya, Raeyken tersedak lagi. Kak Faiq buru-buru duduk dengan tegak.
"Hehe, tadi kejedot. Eh, iya kejedot doang kok, nggak di tampar—" Duh kan, keceplosan bilang tampar-tampar gitu. Mana ekspresi Bang Akfa nggak enak di lihat.
"Kejedot apaan?" Tanya Bang Akfa tak puas. Menatap kami bertiga heran, menatap satu persatu.
"Kaca, kaca mobil waktu mau sandaran di jendela tadi." Swara nyengir, Raeyken menghela napas. Kak Faiq kembali duduk dengan santai, lalu mengambil satu tusuk yakitori.
"Nggak. Kalo gitu, pasti bekasnya nggak merah banget. Pasti langsung ilang merahnya." Bang Akfa geleng-geleng. Wajah-wajah mulai santai tadi, kembali menjadi tegang.
"Tampar. Itu pasti tamparan kan, dek?" Bang Akfa berdiri, mulutnya mengeras. Giginya bergemelutuk di dalam.
"SIAPA YANG NAMPAR ADEK GUE?!" Tanya Bang Akfa diantara kedua cowok yang duduk di sebelah Swara.
Raeyken menatap langit-langit ruangan, Kak Faiq menunduk. Swara masih mengelus pipi kirinya, berharap bekas merahnya segera menghilang. Tadi sempat lupa nggak di hilangin di mobil, mana Dyfal namparnya sampek PLAAK!
"Dyfal." Akhirnya Raeyken yang menjawab. Kak Faiq menatap Raetken tak percaya, begitu juga dengan Swara. Terkejud, juga semakin tegang.
Bang Akfa terdiam, menatap kami semua tak percaya. Tapi dari raut wajah Raeyken saat mengatakanya, tak ada tanda kebohongan. Juga Swara yang masih diam mengelus pipinya.
"Dyfal? Emang kenapa dia nampar Swara sampai merah gitu? Wah wah wah, apa kalian berdua menjalin hubungan yang spesial dan putus." Bang Akfa tertawa sarkatis. Bertepuk tangan, membuat suasana mencekam.
Bang Akfa sudah mulai tenang. Tapi mukanya masih mengeras, marah.
"Tadi waktu gantian Dyfal tampil, aku nggak lihat bang. Aku malah lihat sunset sama Kak Faiq, terus Dyfal marah-marah gara-gara aku nggak lihat dia tampil, di tampar di depan umum bang." Jelasku. Bang Akfa mendengarkan dengan seksama. Kak Faiq dan Raeyken terus menghela napas berat.
Semuanya terdiam. Ini waktu yang pas untukku menjelaskan rencana-rencana baru. Menjemput Janji-janji kehidupan yang lebih baik. Harapan-harapan yang lebih pantas terkabulkan.
"Untuk sementara waktu, kita diem aja Bang. Nggak usah buat keributan, apa lagi pakai kekerasan. Gue sebenarnya juga agak kesel, marah sama Dyfal. Tadi itu tamparan pertama Dyfal ke gue loh, Bang."
"Udah ah, cepet. Apa rencana lo?" Tanya Bang Akfa mulai melunak.
Swara menghembuskan napas tertahan, resah. Kak Faiq, Raeyken dan Bang Akfa sudah siap mendengarkan. Semoga rencana-rencana ini berjalan dengan baik.
"Keberangkatan ke Jepang di percepat." Ucap Swara mulai menjelaskan rencananya.
BRAK! KLONTANG!
***
Rencananya kira-kira apa yaaaaa?
Hemm, vote kuy
KAMU SEDANG MEMBACA
s w a r a
Любовные романыMembagi cerita tentang pengorbanan hal kecil bernama 'cinta'