Hilfi dengan sigap mengambil benda tebal itu.
Album foto lamaku. Buku bersampul biru itu adalah kenangan masa kecilku dengan Dyfal. Banyak sekali foto masa kecil kita di situ.
Sabila turun, duduk di sebelah Hilfi. Penasaran dengan isi album foto itu. Walau album foto yang sudah usang, isinya masih bagus, aku menjaga album foto itu dengan baik.
"Ooh, album foto toh." Hilfi membuka halaman pertama. Menemukan foto masa kecilku, Sabila tertawa melihat fotoku.
"Gila, kecilnya imut gini gedenya masyaAllah." Sabila geleng-geleng kepala.
Aku menatap mereka datar, tapi ya, mau gimana lagi sama sahabat sendiri. Apalagi mereka sahabatku sejak SMP. Bahkan Sabila sama aku aja waktu masih di kandungan udah saling kenal.
Aku tersenyum melihat mereka yang tertawa. Membiarkan mereka tahu arti album foto itu.
Sampai di halaman tengah, Hilfi mengambil foto itu satu persatu. Bukan hanya melihatnya dari balik plastik album itu. Aku membiarkanya.
"Ini diambil kapan, Ra—wuuih, dibaliknya ada tulisan nih." Hilfi menyodorkan foto itu ke Sabila, menyuruhnya membaca tulisanku waktu masih kecil dulu.
"Ifal bakal jadi yang terkeren dan super." –sekarang hari senin.
Seketika mereka berdua terdiam, aku kembali ke tempatku semula. Melihat bintang gemintang lewat jendela kecil ini. Sambil mengenang masa kecil kami.
Perlahan-lahan Sabila mengembalikan foto itu ke tempat semula. Hilfi meneguk ludah. "Oh, anak cowok disebelah lo ini, Dyfal." Hilfi kembali mengambil foto, membalik dan membacanya bersama Sabila.
"Ifal bakal jadi yang terkeren dan super." –ini hari minggu kata bunda.
Foto itu, aku ingat sekali. Saat aku dan Dyfal belajar bermain sepeda. Agar kami bisa berangkat ke sekolah naik sepeda sendiri berdua.
Kembali Sabila mengembalikan foto itu ke tempat semula. Hilfi mengambil foto selanjutnya.
"Ifal bakal jadi yang terkeren dan super." –selepas pulang sekolah.
Itu disaat kami pulang sekolah dan membeli es krim untuk dimakan di taman belakang. Bunda memotret wajah kami yang belepotan.
Sabila tak meletakkan kembali foto itu, mengamati wajah kami yang terlihat lucu. Tapi suasana seperti ini yang membuat mereka terdiam dan membacanya dalam hati.
Hilfi langsung mengambil foto selanjutnya.
"Ifal bakal jadi yang terkeren dan super." –makan sushi buatan mama Ifal.
Itu dimana tante Dilla meminta pendapat kami soal bakat memasak makanan Jepangnya kepada kami.
"Ifal bakal jadi yang terkeren dan super." –petak umpet.
Saat bermain petak umpet dengan Bang Akfa. Kami bersembunyi di balik rumput bergoyang. Bang Akfa yang membawa kamera jadul mencari kami, dan memotret ekspresi kaget kami.
"Ifal bakal jadi yang terkeren dan super." –jalan pagi.
Dyfal yang menahan tangisnya saat kami bertiga melakukan jogging pagi di depan rumah. Bang Akfa memotretnya sambil panik menenangkan Dyfal.
"Ifal baru saja memeberikanku cinta." –janji kami.
Kalau yang ini, setelah Dyfal mengatakan janji itu. Aku meminta Bang Akfa memotret ku yang sedang memanjat pohon jambu. Dyfal sudah pulang karena hari sudah mulai sore.
Bang Akfa bolak-balik bertanya. "Buat apaan sih? Jatoh kapok loh."
Itu foto terakhir untuk album ini. Hilfi menata kembali foto-foto itu pada tempatnya, di bantu oleh Sabila.
Aku masih terdiam menatap langit. Soda yang sangat menggiurkan untuk diminum saat ini, kubiarkan digenggaman.
Hilfi meletakkan kembali album foto itu diatas meja belajar. Sabila kembali duduk di kasur.
"Ra, kenapa kebanyakan tulisan foto itu terkeren dan super?" Hilfi bertanya, aku menatapnya sekilas. Lalu kembali menatap langit.
"Saat kuingat lagi ketika kita berjalan bersama. Aku merasa bisa kembali ke kala itu. Kala kita menatap langit di bawah pohon jambu." Ucapku sambil tak lepas memandang langit.
Hilfi tak bertanya lebih jelas lagi, emmutuskan untuk tidur. Begitu juga dengan Sabila, katanya besok dia mau bangun pagi-pagi.
Aku masih terjaga, menatap kedua sahabatku. Kuharap, kallian mengerti. Ucapku dalam hati, entah sebagai pengertian apa. Aku kembali menatap langit, walau aku mendongak menatap langita, tapi pikiranku tak di atas sana. Aku menatap ke atas, tapi aku juga menatap ke belakang. Masa lalu.
Mataku memanas, tak kuasa menahan cairan bening yang akan keluar.
Aku mengangkat kakiku, memeluk lutut dan terisak. Membiarkan perasaan mengganjal itu ikut keluar.
Hilfi dan sabila ternyata belum terlelap. Mereka hanya menarik selimut dan berpura-pura tertidur.
Sampai tengah malampun, aku tetap tertunduk, menangis. Sampai tengah malampun Hilfi dan Sabila belum tertidur.
***