43. malu

23 6 5
                                    

Kami bertiga jalan bersisian. Rencananya kami akan makan siang di kafe depan gedung.

Sedari tadi, aku terdiam, hanya mendengarkan obrolan kak Faiq dengan sepupunya. Masalahnya adalah, Dyfal juga mengikuti lomba main gitar itu. Main solo maksudnya.

Tak lama, kami bertiga sampai di kafe, Raeyken yang memilih tempat duduk. Duduk di bangku dekat jendela, yah kan, ketahuan kalo seleranya sama kayak Swara.

Raeyken duduk berhadapan denganku, kak Faiq duduk di sebelah Kaiken. Kak Faiq memanggil pelayan, saat pelayan menatap wajah Kaiken, langsung memerah wajahnya.

"Ya, ada yang bisa saya bantu?" Tawar pelayan itu. Kak Faiq tersenyum dan menyebutkan pesananya.

Cih, orang tugasnya jadi pelayan aja, sok cantik. Ini nih, yang cantik udah ada di depan mata.

"Kau, ingin apa?" Raeyken mengulurkan buku menu. Aku tersenyum dan menerimannya.

"Orange squash, dan..., wafel." Swara tersenyum miring ke pelayan itu. Lebih tepatnya senyuman iblis.

"Eh?" Kaiken menatapku bingung. Aku menoleh, juga menatap Kaiken bingung.

"Iya?" Tanyaku balik.

Raeyken menunjuk ku, membuat jari telunjuk ku juga menunjuk diriku sendiri. Salah tingkah, tatapanya..., aseem seger banget ih.

"Waw." Kaiken tersenyum, tangannya sudah tak menunjuk ku lagi. Malu-malu Swara menunduk.

Kak Faiq sudah berusaha untuk menahan tawanya. Raeyken menatap Swara bingung. Sedangkan yang di tatap hanya menunduk, menyembunyikan rona merah di wajahnya.

"Waw, gue suka sama lukisan itu." Kaiken kembali menunjuk ku—lebih tepatnya menunjuk lukisan dibelakang ku.

Eh? Swara menoleh ke belakanag, dan benar saja. Ada lukisa cantik disana, terpampang indah bak ratu kecantikan. Swara menoleh, mendapati kak Faiq yang berusaha menahan tawa, juga tatapan kagum Kaiken, yang bukan untukku.

"Maaf." Seorang pelayan mengantarkan pesanan kami tadi. Raeyken tersenyum ke arah pelayan yang sama, membuat pelayan itu cepat-cepat menaruh hidangan di atas meja.

Swara menatap hidangan itu dengan mata berkedip beberapa kali.

Tunggu, kak Faiq cuman pesan kopi americano, Kaiken..., es teh?

"Nggak pesan makanan kalian?" Tanyaku sembari menyeruput orange squash. Menatap kak Faiq dan Kaiken bergantian.

Kak Faiq cekikian. Kaiken menggeleng pelan dan tersenyum, membuat Swara juga ikut tersenyum.

"Lukisanya bagus." Raeyken ikut-ikutan menahan tawa, berusaha mengalihkan pembicaraan. Swara yang tak tahu apa-apa, hanya mengernyit, bingung.

"Hahaha!" Tawa kak Faiq pecah, beberapa pengunjung kafe menoleh ke meja makan kami. Raeyken menundukkan kepalanya, berusaha menahan tawanya, agar kami tak jadi pusat perhatian.

Swara menaruh garpu yang dipeganya. Menatap kesal dua orang di depannya ini. "Apaan sih, bingung tahu nggak aku." Ucap Swara kesal.

"Gilaaa, itu ada dua cogan sama satu cewek!"

"Mana ceweknya jelek lagi."

"Ih, ogah banget makan siang sama cewek kayak dia yah? Udah cowok yang itu ketawanya royal banget."

"Gue like sama yang nunduk itu, rambutnya kayak di anime tahu nggak."

"Rambut yang cewek kayak gimbal, ih. Kok doyan yah yang cowok?"

Banyak pengunjung lain yang membicarakan kami, dua cowok yang ada di depan Swara, mana bisa denger. Malah ketawa gak jelas kayak gitu.

Swara menoleh ke belakang, menadapati dua meja pengunjung yang sedang menatap kami. Swara menatap mereka buas, apaan lo? ngomong seenak udel aja. Swara gimbal? Heh, gini-gini juga kaya! Dasar rakyat miskin, nggosip ae.

"Maaf, aku balik ke gedung duluan." Swara beranjak, lalu berjalan meninggalkan dua cowok yang sekarang terdiam. Kak Faiq menghentikan tawanya, Raeyken menatap bingung Swara.

Kuping ih, nanti pulang mau beli kuping baru ah. Najis denger crocotan orang-orang kayak gitu. Mana kak Faiq sama Kaiken orang nya nggak jelas...

Swara berjalan menyebrangi jalanan yang sedikit ramai. Sambil menunggu jalanan agak sepi, Swara menatap gedung-gedung yang lain. Matanya membulat saat melihat beberapa poster besar di sebuah gedung.

MEET & GREET DENGAN PENULIS NOVEL TERNAMA, GYOMINOW!

Cepat-cepat Swara tak jadi menuju gedung perlombaan. Dirinya berlari kecil menuju gedung yang mirip seperti hotel.

Pukul 13.02, tiga belas menit lagi perlombaan yang Jua ikuti akan di mulai. Tapi untuk kali ini saja, Swara merasa tak peduli. Sekarang gue harus dapet tanda tangan penulis novel itu. Swara, Jua, Hani dan Zara sangat menyukai karya-karya Gyominow.

Udah, jangan bohong lagi..., kalo suka sama aku ngaku yah. Iya iyaa aku tahu kok, jangan malu-malu. Yeh khan, ngaku lo bangsat!

Swara berjalan menuju ruang acara, setelah membeli tiket. Swara tersenyum menatap keramaina di dalam ruangan.

Lalu Swara berjalan di antrian paling belakang—karena Swara penggemar terakhir yang datang.

"Swara?!" Tiba-tiba saja seseorang mengagetkan ku. Membuatku menoleh ke asal suara.

"Anjeng! Jua?" Semua orang yang ada di dalam ruangan menoleh, Gyominow menghentikan tangannya untuk memberi tanda tangan kepada penggemar barisan depan.

Jua menunduk, karena kami semua sedang menjadi pusat perhatian.

"Pembawa sial tahu nggak lo." Bisik Swara sinis, kepada Jua.

***

Udah, jangan bohong lagi..., kalo suka sama aku ngaku yah. Iya iyaa aku tahu kok, jangan malu-malu. Yeh khan, ngaku lo bangsat!

btw tuh maap banget klo ada typo:00

s w a r aTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang